Kekerasan terhadap perempuan telah dibahas dalam pertemuan Biro Pemberantasan Obat Terlarang dan Kejahatan Terorganisir (UNODC) di Wina, Jumat (18/04) lalu. Demikian, seperti dilaporkan Radio Deutsche Welle.
Dalam Tajuknya, Deutche Welle melaporkan, martabat mereka diinjak-injak, mereka dipukul, diperkosa dan dipaksa menjual diri atau bahkan dibunuh. Kemungkinan seorang perempuan mengalami tindak kekerasan lebih besar daripada kemungkinan terserang penyakit kanker atau mengalami kecelakaan lalu-lintas. Kebanyakan pelaku tindak kekerasan adalah anggota keluarga korban. Tapi, bagaimana para perempuan dapat berlindung dari keluarganya sendiri?
Rumah perempuan, terapi bersama, undang-undang perlindungan perempuan, penyuluhan, pelatihan oleh polisi dan vonis bagi para pelaku - semua itu terbukti efektif di sebagian negara Eropa Barat dalam menangani kasus yang akut atau sebagai kebijakan pencegahan. Tapi, dapatkah konsep ini diberlakukan di negara lain?
Perempuan di Afghanistan, Kongo dan Liberia hanya dapat bermimpi mendapat perlindungan seperti itu. Situasi perempuan di kawasan konflik atau bekas konflik benar-benar mengenaskan. Kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dibahas sehingga para pelaku bisa bebas berkeliaran. Sedangkan para korban mengalami trauma dan berulang kali menjadi sasaran kekerasan.
Harapan bagi para korban mungkin muncul bila jaksa Kongo di Pengadilan Kriminal Internasional juga mengusut kasus pemerkosaan massal yang dilakukan tentara dalam penyelidikannya. Hukuman bagi para pelaku akan memberikan satu isyarat kuat pada masyarakat, bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan dan pelanggaran berat HAM.
Pembangunan dan tertib hukum terutama dibutuhkan para perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia. Dulu, mereka berasal dari Eropa Timur dan Tengah. Perempuan Rusia dan Rumania dibawa ke Jerman, di sana mereka dipaksa melacurkan diri. Tapi sekarang lebih banyak perempuan Afrika Barat yang datang ke Eropa.
Dan pelakunya bukan jaringan penjahat internasional yang ingin meraup keuntungan, tapi anggota keluarga yang menjual saudara, sepupu atau bahkan anak perempuannya ke pasar jodoh Eropa. Pengantin malang diperlakukan seperti barang dagangan untuk memperbaiki kehidupan keluarga di negeri asalnya. Sebagian benar menikah, sebagian lagi menjadi pelacur. Tapi situasi ketergantungan mereka menyebabkan perempuan yang dijual ke Eropa tetap menjadi korban kekerasan.
Seharusnya tidak ada toleransi bagi kekerasan terhadap perempuan - baik itu dalam masyarakat Eropa maupun negara dunia lainnya. Hanya perempuan yang hidupnya tidak terancam penindasan dan kekerasan dapat membantu meningkatkan taraf hidup keluarga dan membangun negaranya. Dan menyeret para pelaku ke pengadilan adalah salah satu cara untuk memcapai tujuan tersebut. Vand
Dalam Tajuknya, Deutche Welle melaporkan, martabat mereka diinjak-injak, mereka dipukul, diperkosa dan dipaksa menjual diri atau bahkan dibunuh. Kemungkinan seorang perempuan mengalami tindak kekerasan lebih besar daripada kemungkinan terserang penyakit kanker atau mengalami kecelakaan lalu-lintas. Kebanyakan pelaku tindak kekerasan adalah anggota keluarga korban. Tapi, bagaimana para perempuan dapat berlindung dari keluarganya sendiri?
Rumah perempuan, terapi bersama, undang-undang perlindungan perempuan, penyuluhan, pelatihan oleh polisi dan vonis bagi para pelaku - semua itu terbukti efektif di sebagian negara Eropa Barat dalam menangani kasus yang akut atau sebagai kebijakan pencegahan. Tapi, dapatkah konsep ini diberlakukan di negara lain?
Perempuan di Afghanistan, Kongo dan Liberia hanya dapat bermimpi mendapat perlindungan seperti itu. Situasi perempuan di kawasan konflik atau bekas konflik benar-benar mengenaskan. Kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dibahas sehingga para pelaku bisa bebas berkeliaran. Sedangkan para korban mengalami trauma dan berulang kali menjadi sasaran kekerasan.
Harapan bagi para korban mungkin muncul bila jaksa Kongo di Pengadilan Kriminal Internasional juga mengusut kasus pemerkosaan massal yang dilakukan tentara dalam penyelidikannya. Hukuman bagi para pelaku akan memberikan satu isyarat kuat pada masyarakat, bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kejahatan dan pelanggaran berat HAM.
Pembangunan dan tertib hukum terutama dibutuhkan para perempuan yang menjadi korban perdagangan manusia. Dulu, mereka berasal dari Eropa Timur dan Tengah. Perempuan Rusia dan Rumania dibawa ke Jerman, di sana mereka dipaksa melacurkan diri. Tapi sekarang lebih banyak perempuan Afrika Barat yang datang ke Eropa.
Dan pelakunya bukan jaringan penjahat internasional yang ingin meraup keuntungan, tapi anggota keluarga yang menjual saudara, sepupu atau bahkan anak perempuannya ke pasar jodoh Eropa. Pengantin malang diperlakukan seperti barang dagangan untuk memperbaiki kehidupan keluarga di negeri asalnya. Sebagian benar menikah, sebagian lagi menjadi pelacur. Tapi situasi ketergantungan mereka menyebabkan perempuan yang dijual ke Eropa tetap menjadi korban kekerasan.
Seharusnya tidak ada toleransi bagi kekerasan terhadap perempuan - baik itu dalam masyarakat Eropa maupun negara dunia lainnya. Hanya perempuan yang hidupnya tidak terancam penindasan dan kekerasan dapat membantu meningkatkan taraf hidup keluarga dan membangun negaranya. Dan menyeret para pelaku ke pengadilan adalah salah satu cara untuk memcapai tujuan tersebut. Vand
No comments:
Post a Comment