Belum lama ini dua kepala negara Amerika Serikat (AS) dan Rusia bertemu dan mengadakan pembicaraan resmi. Pertemuan itu berlangsung di saat kedua presiden sedang bersiap-siap meninggalkan singgasana kekuasaan. Bedanya, di Rusia partai yang didukung Vladimir Putin menang dan berarti kekuasaan masih berada di genggaman kubu yang saat ini berkuasa di negara itu, sementara di AS posisi partai pendukung Bush (Republik) bagai di ujung tanduk.
Putin -yang sudah dua periode menjabat sebagai presiden- memang bakal menyerahkan kursi kepresidenan kepada Medvedev, orang kepercayaannya, dan bergeser menjadi Perdana Menteri. Namun, ia tetap memegang kekuasaan dan pengaruhnya di kalangan atas tetap besar.
Bagaimana halnya dengan Bush? Presiden bergaya koboi Texas itu bakal tenggelam. Ketidakpuasan umum warga AS terhadap kebijakannya selama memerintah telah berimbas kepada partainya, Republik. Ketidak puasan itu muncul akibat kinerja buruk Bush yang menjerumuskan AS ke dalam krisis ekonomi dan perang tak berkesudahan di Irak dan Afganistan. Karena itu tak mengherankan jika partai Republik tidak terlalu optimis untuk memenangi pemilihan umum November 2008 dan melanjutkan penguasaannya atas Gedung Putih.
Dilihat dari sisi ekonomi, perekonomian Rusia belakangan ini semakin hari semakin membaik dan meningkat. Sedangkan AS saat ini sedang dililit oleh kesulitan ekonomi dan menurunkannya nilai tukar mata uang dolar.
Selama memerintah, Putin telah mengukir banyak prestasi baik di dalam negeri maupun di kancah internasional. Saat Vladimir Putin naik ke kursi kepresidenan tahun 1999, angka inflasi di Rusia mencapai sekitar 37 persen dengan utang luar negeri sebesar 165 milyar Dolar. Selain itu, Rusia juga dirundung masalah korupsi, kemiskinan dan kebobrokan di sana sini. Selama beberapa tahun memerintah, Putin berhasil menekan angka inflasi di negara itu ke level yang cukup baik dan membayar banyak utang luar negeri. Selain itu, di bawah kepemimpinannya, Rusia berhasil menguatkan cadangan emasnya sampai senilai 300 milyar USD.
Lain halnya dengan AS. Di bawah kepemimpinan George W Bush yang melenggang masuk Gedung Putih sejak Januari 2001, negeri Paman Sam itu dililit banyak masalah. Kebijakan keliru yang diambil oleh Bush dengan partai Republik dan kubu neo konservatifnya telah menenggelamkan AS ke dalam jurang keterpurukan ekonomi dan sosial. Jika Putin di Rusia berhasil mengurangi utang luar negeri dan mendongkrak pamor negaranya di tingkat dunia, Bush justeru menciptakan masalah serius bagi perekonomian negara dan rakyatnya. Langkah dan kebijakan kelirunya juga telah merusak citra AS di dunia. Bangsa-bangsa di dunia secara umum meyakini pudarnya superioritas AS dan naiknya pamor Rusia.
Persaingan antara AS dan Rusia yang terkadang juga diwarnai friksi antara keduanya bukan lah hal yang remeh dan mudah dilewatkan begitu saja, sehingga dengan menyelesaikannya, hubungan kedua negara akan membaik. Memang untuk saat ini, apapun yang terjadi, antara kedua negara tidak akan terjadi lagi perang dingin yang pernah ada antara dua negara super power, AS dan Uni Soviet.
Sebagai negara yang mewarisi Uni Soviet, Rusia memang merasa pernah terlibat dalam perang dingin melawan AS. Saat itu perang tersebut terjadi antara dua kutub ideologi timur yang komunis dan barat yang kapitalis. Kondisi seperti itu sudah tidak ada lagi.
Era perang dingin adalah era penuh ketegangan, karena dua kutub kekuatan dunia saat itu bisa sewaktu-waktu terlibat bentrokan fisik dengan menggunakan senjata nuklir. (Ketegangan pernah terjadi dalam kasus rudal-rudal milik Kuba yang komunis). Dalam era itu, AS dan Uni Soviet berlomba merebut dukungan dan membuka pangkalan di berbagai belahan dunia. Kondisi tersebut juga tidak ada lagi di dunia saat ini.
Rusia pasca perang dingin -khususnya sejak dipimpin Vladimir Putin- mengedepankan masalah stabilitas dalam negeri dan keamanan perbatasannya dengan Eropa. Rusia juga berusaha agar tidak dikucilkan di pentas politik dan keamanan. Sementara itu, AS berupaya untuk melebarkan sayap Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) serta memasang radar dan sistem pertahanan anti rudal di wilayah Eropa Timur yang dahulu bagian dari blok timur.
Awal tahun 2007 di sidang yang berlangsung di Munich Jerman, Vladimir Putin secara tegas dan jelas mengupas pandangannya tentang kebijakan strategis AS. Moskow menyadari bahwa kehadiran militer AS di kawasan Teluk Persia, Afganistan, Irak dan republik-republik muslim di wilayah Asia kecil adalah ancaman bagi keamanan Rusia. Apalagi hal itu masih ditambah dengan meluasnya keanggotaan NATO ke negara-negara bekas blok timur dan penempatan sistem pertahanan anti rudal AS di Eropa Timur.
Saat ini Rusia memandang pemerintahan Bush di AS sebagai pemerintahan yang kian redup. Untuk itu Rusia berharap, dengan bergantinya presiden di AS, Washington dapat lebih memahami keinginan dan sikap Moskow sekaligus mengakhiri tindakan yang memasung Rusia secara politik dan keamanan. Rusia juga berharap pemerintahan AS yang baru akan mengesampingkan gaya George W. Bush yang memprioritaskan bahasa militer, bertindak secara unilateral dan tidak mempedulikan posisi PBB sebagai lembaga dunia. Jika kebijakan keliru itu ditinggalkan, maka banyak krisis di dunia yang bakal bisa teratasi.
Perselisihan pandangan bahkan friksi dan bersaingan yang ada saat ini antara Washington dan Moskow nampaknya masih bisa diredam. Sebab dengan adanya tekanan dari Eropa, kedua pihak memilih untuk bisa menahan diri dan mengendalikan kondisi. Artinya, dalam persaingan yang ada, Eropa menjadi peredam dari meruncingnya friksi antara AS dan Rusia.
Sejumlah negara Eropa, baik timur maupun barat, memandang bahwa meningkatnya ketegangan AS dan Rusia tidak menguntungkan mereka. Masing-masing negara Eropa tidak mau jika harus memilih berpihak kepada salah satunya. Rusia bagaimana pun juga tetap memiliki kekuatan dan nilai tawar yang tinggi karena negara itu adalah penyuplai energi terbesar di Eropa dan kebanyakan negara Eropa memiliki kerjasama ekonomi yang baik dengannya. Kepentingan itulah yang memaksa Eropa untuk sekuat tenaga meredam ketegangan antara AS dan Rusia.
Eropa juga tidak lagi tertarik untuk mengembalikan kondisi kepada keadaan di era perang dingin yang membagi Eropa ke dalam dua blok, timur dan barat. Persaingan yang ada saat ini antara AS dan Rusia tidak lagi dilandasi oleh perbedaan ideologi seperti di zaman perang dingin, tetapi mengacu pada persaingan untuk merebut pengaruh.
Memang sejak dahulu antara Kremlin di satu sisi dan Gedung Putih bersama NATO di sisi lain sudah ada persaingan sejak dahulu. Akan tetapi untuk masa ini, AS dan NATO membutuhkan koordinasi dengan Rusia dalam perang melawan teror, khususnya menyangkut masalah Afganistan. Hal itu disadari benar oleh Moskow. Dunia telah mengacungkan telunjuknya ke arah AS dan menyebut negara ini sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kondisi di Irak. AS terbukti gagal di Irak dan tidak berhasil meyakinkan sekutu-sekutu Eropanya untuk terus menyertainya.
Di Afganistan, pasukan NATO sedang memeras otak untuk bisa melepaskan diri dari jeratan lumpur air yang terus menenggelamkannya ke dalam kesulitan. Kondisi Afganistan semakin pelik. Rusia memandang hal itu sebagai kartu truf untuk menekan NATO. Sampai saat ini, NATO masih belum bisa menjanjikan kemenangan dalam operasinya di Afganistan.
Tak dipungkiri bahwa keterlibatan NATO secara langsung dalam kontak senjata dengan Taliban, membawa berkah dan keuntungan bagi Rusia. Bentrokan itu jelas bisa mengurangi bahaya dan ancaman Taliban terhadap Rusia. Tak hanya itu, terkurasnya energi NATO dalam menghadapi Taliban jelas berdampak buruk bagi pengaruh NATO di pentas internasional, dan hal itu tidak merugikan Rusia sama sekali. (al-alam)
Putin -yang sudah dua periode menjabat sebagai presiden- memang bakal menyerahkan kursi kepresidenan kepada Medvedev, orang kepercayaannya, dan bergeser menjadi Perdana Menteri. Namun, ia tetap memegang kekuasaan dan pengaruhnya di kalangan atas tetap besar.
Bagaimana halnya dengan Bush? Presiden bergaya koboi Texas itu bakal tenggelam. Ketidakpuasan umum warga AS terhadap kebijakannya selama memerintah telah berimbas kepada partainya, Republik. Ketidak puasan itu muncul akibat kinerja buruk Bush yang menjerumuskan AS ke dalam krisis ekonomi dan perang tak berkesudahan di Irak dan Afganistan. Karena itu tak mengherankan jika partai Republik tidak terlalu optimis untuk memenangi pemilihan umum November 2008 dan melanjutkan penguasaannya atas Gedung Putih.
Dilihat dari sisi ekonomi, perekonomian Rusia belakangan ini semakin hari semakin membaik dan meningkat. Sedangkan AS saat ini sedang dililit oleh kesulitan ekonomi dan menurunkannya nilai tukar mata uang dolar.
Selama memerintah, Putin telah mengukir banyak prestasi baik di dalam negeri maupun di kancah internasional. Saat Vladimir Putin naik ke kursi kepresidenan tahun 1999, angka inflasi di Rusia mencapai sekitar 37 persen dengan utang luar negeri sebesar 165 milyar Dolar. Selain itu, Rusia juga dirundung masalah korupsi, kemiskinan dan kebobrokan di sana sini. Selama beberapa tahun memerintah, Putin berhasil menekan angka inflasi di negara itu ke level yang cukup baik dan membayar banyak utang luar negeri. Selain itu, di bawah kepemimpinannya, Rusia berhasil menguatkan cadangan emasnya sampai senilai 300 milyar USD.
Lain halnya dengan AS. Di bawah kepemimpinan George W Bush yang melenggang masuk Gedung Putih sejak Januari 2001, negeri Paman Sam itu dililit banyak masalah. Kebijakan keliru yang diambil oleh Bush dengan partai Republik dan kubu neo konservatifnya telah menenggelamkan AS ke dalam jurang keterpurukan ekonomi dan sosial. Jika Putin di Rusia berhasil mengurangi utang luar negeri dan mendongkrak pamor negaranya di tingkat dunia, Bush justeru menciptakan masalah serius bagi perekonomian negara dan rakyatnya. Langkah dan kebijakan kelirunya juga telah merusak citra AS di dunia. Bangsa-bangsa di dunia secara umum meyakini pudarnya superioritas AS dan naiknya pamor Rusia.
Persaingan antara AS dan Rusia yang terkadang juga diwarnai friksi antara keduanya bukan lah hal yang remeh dan mudah dilewatkan begitu saja, sehingga dengan menyelesaikannya, hubungan kedua negara akan membaik. Memang untuk saat ini, apapun yang terjadi, antara kedua negara tidak akan terjadi lagi perang dingin yang pernah ada antara dua negara super power, AS dan Uni Soviet.
Sebagai negara yang mewarisi Uni Soviet, Rusia memang merasa pernah terlibat dalam perang dingin melawan AS. Saat itu perang tersebut terjadi antara dua kutub ideologi timur yang komunis dan barat yang kapitalis. Kondisi seperti itu sudah tidak ada lagi.
Era perang dingin adalah era penuh ketegangan, karena dua kutub kekuatan dunia saat itu bisa sewaktu-waktu terlibat bentrokan fisik dengan menggunakan senjata nuklir. (Ketegangan pernah terjadi dalam kasus rudal-rudal milik Kuba yang komunis). Dalam era itu, AS dan Uni Soviet berlomba merebut dukungan dan membuka pangkalan di berbagai belahan dunia. Kondisi tersebut juga tidak ada lagi di dunia saat ini.
Rusia pasca perang dingin -khususnya sejak dipimpin Vladimir Putin- mengedepankan masalah stabilitas dalam negeri dan keamanan perbatasannya dengan Eropa. Rusia juga berusaha agar tidak dikucilkan di pentas politik dan keamanan. Sementara itu, AS berupaya untuk melebarkan sayap Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) serta memasang radar dan sistem pertahanan anti rudal di wilayah Eropa Timur yang dahulu bagian dari blok timur.
Awal tahun 2007 di sidang yang berlangsung di Munich Jerman, Vladimir Putin secara tegas dan jelas mengupas pandangannya tentang kebijakan strategis AS. Moskow menyadari bahwa kehadiran militer AS di kawasan Teluk Persia, Afganistan, Irak dan republik-republik muslim di wilayah Asia kecil adalah ancaman bagi keamanan Rusia. Apalagi hal itu masih ditambah dengan meluasnya keanggotaan NATO ke negara-negara bekas blok timur dan penempatan sistem pertahanan anti rudal AS di Eropa Timur.
Saat ini Rusia memandang pemerintahan Bush di AS sebagai pemerintahan yang kian redup. Untuk itu Rusia berharap, dengan bergantinya presiden di AS, Washington dapat lebih memahami keinginan dan sikap Moskow sekaligus mengakhiri tindakan yang memasung Rusia secara politik dan keamanan. Rusia juga berharap pemerintahan AS yang baru akan mengesampingkan gaya George W. Bush yang memprioritaskan bahasa militer, bertindak secara unilateral dan tidak mempedulikan posisi PBB sebagai lembaga dunia. Jika kebijakan keliru itu ditinggalkan, maka banyak krisis di dunia yang bakal bisa teratasi.
Perselisihan pandangan bahkan friksi dan bersaingan yang ada saat ini antara Washington dan Moskow nampaknya masih bisa diredam. Sebab dengan adanya tekanan dari Eropa, kedua pihak memilih untuk bisa menahan diri dan mengendalikan kondisi. Artinya, dalam persaingan yang ada, Eropa menjadi peredam dari meruncingnya friksi antara AS dan Rusia.
Sejumlah negara Eropa, baik timur maupun barat, memandang bahwa meningkatnya ketegangan AS dan Rusia tidak menguntungkan mereka. Masing-masing negara Eropa tidak mau jika harus memilih berpihak kepada salah satunya. Rusia bagaimana pun juga tetap memiliki kekuatan dan nilai tawar yang tinggi karena negara itu adalah penyuplai energi terbesar di Eropa dan kebanyakan negara Eropa memiliki kerjasama ekonomi yang baik dengannya. Kepentingan itulah yang memaksa Eropa untuk sekuat tenaga meredam ketegangan antara AS dan Rusia.
Eropa juga tidak lagi tertarik untuk mengembalikan kondisi kepada keadaan di era perang dingin yang membagi Eropa ke dalam dua blok, timur dan barat. Persaingan yang ada saat ini antara AS dan Rusia tidak lagi dilandasi oleh perbedaan ideologi seperti di zaman perang dingin, tetapi mengacu pada persaingan untuk merebut pengaruh.
Memang sejak dahulu antara Kremlin di satu sisi dan Gedung Putih bersama NATO di sisi lain sudah ada persaingan sejak dahulu. Akan tetapi untuk masa ini, AS dan NATO membutuhkan koordinasi dengan Rusia dalam perang melawan teror, khususnya menyangkut masalah Afganistan. Hal itu disadari benar oleh Moskow. Dunia telah mengacungkan telunjuknya ke arah AS dan menyebut negara ini sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kondisi di Irak. AS terbukti gagal di Irak dan tidak berhasil meyakinkan sekutu-sekutu Eropanya untuk terus menyertainya.
Di Afganistan, pasukan NATO sedang memeras otak untuk bisa melepaskan diri dari jeratan lumpur air yang terus menenggelamkannya ke dalam kesulitan. Kondisi Afganistan semakin pelik. Rusia memandang hal itu sebagai kartu truf untuk menekan NATO. Sampai saat ini, NATO masih belum bisa menjanjikan kemenangan dalam operasinya di Afganistan.
Tak dipungkiri bahwa keterlibatan NATO secara langsung dalam kontak senjata dengan Taliban, membawa berkah dan keuntungan bagi Rusia. Bentrokan itu jelas bisa mengurangi bahaya dan ancaman Taliban terhadap Rusia. Tak hanya itu, terkurasnya energi NATO dalam menghadapi Taliban jelas berdampak buruk bagi pengaruh NATO di pentas internasional, dan hal itu tidak merugikan Rusia sama sekali. (al-alam)
No comments:
Post a Comment