Entah kenapa seringkali ada sekelompok orang yang selalu merasa bahwa rakyat Indonesia adalah orang bodoh.
Sedihnya lagi, sekelompok orang itu adalah orang-orang yang memiliki kuasa baik itu secara pemerintahan maupun secara komersial.
Mungkin mereka menganggap rakyat kita bodoh karena masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.
Mungkin juga karena menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya standar kepintaran seseorang, dan mereka yang tak selesai sekolah karena keterbatasan dana berarti mereka adalah orang-orang yang bodoh. Tanpa kecuali.
Mungkin karena sebagian besar rakyat Indonesia tak mau berpikir panjang lebar dan mendalam, dan lebih suka yang sederhana-sederhana saja.
Dengan dasar anggapan itulah, kita bisa melihat cara mereka saat berbicara dengan rakyat Indonesia yang dianggap bodoh-bodoh itu.
Menggurui. Menjelaskan panjang lebar tanpa memberi kesempatan kepada rakyat untuk berargumentasi atau mengkritik. Tentu saja rakyat itu terlalu bodoh untuk melakukan kritikan yang benar, begitulah anggapan sekelompok orang yang merasa dirinya lebih pintar.
Dan juga meminta rakyat untuk tidak berpikir susah-susah dan telan saja atau ikut saja kemauan sekelompok orang itu.
Sekelompok orang itu pun merasa dirinya lebih berhak untuk mengatur dan menentukan pilihan-pilihan rakyat Indonesia, karena tentu saja rakyat Indonesia terlalu bodoh untuk menentukan pilihan sendiri.
Tapi sekelompok orang itu tidak sadar bahwa sikap itu yang malah membuat mereka sendiri terlihat lebih bodoh.
Karena rakyat Indonesia tidak bodoh.
Rakyat Indonesia mungkin tak akan banyak bicara, karena mereka tak terbiasa untuk mengekspresikan kata. Tapi bukan berarti otak mereka tak bekerja.
Rakyat Indonesia banyak akal, kita sadari itu. Mungkin mereka memang berpikir yang instan-instan saja, karena sudah dibiasakan berpikir yang instan-instan saja. Tapi bukan berarti mereka tak bisa berpikir lebih dalam.
Seperti seorang Ibu yang terlalu menyayangi anaknya, ia selalu menjaga agar anaknya tidak terkena duka dan mengatur kehidupannya sedemikian rupa
sehingga selalu damai sentosa.
Tapi apa yang terjadi? Anak itu jadi terbiasa diatur-atur oleh ibunya sehingga tak biasa berpikir untuk dirinya sendiri.
Anak itu bahkan tak bisa belajar dari kesalahannya sendiri, karena ia tidak dididik untuk berkembang dan memiliki hak untuk berbuat salah.
(Kalaupun dia berbuat salah, selalu ada kambing hitamnya!)
Hai Ibu, biarkan anakmu tumbuh dewasa dan berkembang.
Biarkan ia berbuat salah agar tahu bedanya dengan yang benar.
Dan kamu jangan pernah bilang lagi di depanku, "Dia miskin. Dia bodoh."
Karena kemiskinan tak selalu berbanding lurus dengan kebodohan.
Miskin harta belum tentu miskin pikiran.
Biarkan dia berpikir untuk dirinya sendiri.
Biarkan dia tentukan pilihannya sendiri
dan sudah saatnya kamu menghargai pilihannya, apapun itu.
Jangan coba-coba kamu renggut kekayaan itu darinya hanya karena kamu merasa lebih kaya dan berkuasa.
Amplop tebal yang kamu letakkan di perutnya diantara kerlip lampu wartawan sungguh memuakkan.
Kalau kamu begitu menjunjung harkat manusia Indonesia, mengapa tak kau raih tangannya yang berakar dan memberikannya secara terhormat? Dan mengapa pula saat lampu-lampu kamera terus menyala?
Coba kamu luangkan sedikit waktumu untuk menanyakan pendapatnya,
pendapat orang-orang miskin yang kamu anggap bodoh itu,
dan bersiaplah untuk terkejut mendengar jawabannya.
- A tribute to Imud, Dede's brother.
http://youtube.com/watch?v=tj1Fmh9R0D4&feature=related
Sumber artikel : alia
Sedihnya lagi, sekelompok orang itu adalah orang-orang yang memiliki kuasa baik itu secara pemerintahan maupun secara komersial.
Mungkin mereka menganggap rakyat kita bodoh karena masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.
Mungkin juga karena menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya standar kepintaran seseorang, dan mereka yang tak selesai sekolah karena keterbatasan dana berarti mereka adalah orang-orang yang bodoh. Tanpa kecuali.
Mungkin karena sebagian besar rakyat Indonesia tak mau berpikir panjang lebar dan mendalam, dan lebih suka yang sederhana-sederhana saja.
Dengan dasar anggapan itulah, kita bisa melihat cara mereka saat berbicara dengan rakyat Indonesia yang dianggap bodoh-bodoh itu.
Menggurui. Menjelaskan panjang lebar tanpa memberi kesempatan kepada rakyat untuk berargumentasi atau mengkritik. Tentu saja rakyat itu terlalu bodoh untuk melakukan kritikan yang benar, begitulah anggapan sekelompok orang yang merasa dirinya lebih pintar.
Dan juga meminta rakyat untuk tidak berpikir susah-susah dan telan saja atau ikut saja kemauan sekelompok orang itu.
Sekelompok orang itu pun merasa dirinya lebih berhak untuk mengatur dan menentukan pilihan-pilihan rakyat Indonesia, karena tentu saja rakyat Indonesia terlalu bodoh untuk menentukan pilihan sendiri.
Tapi sekelompok orang itu tidak sadar bahwa sikap itu yang malah membuat mereka sendiri terlihat lebih bodoh.
Karena rakyat Indonesia tidak bodoh.
Rakyat Indonesia mungkin tak akan banyak bicara, karena mereka tak terbiasa untuk mengekspresikan kata. Tapi bukan berarti otak mereka tak bekerja.
Rakyat Indonesia banyak akal, kita sadari itu. Mungkin mereka memang berpikir yang instan-instan saja, karena sudah dibiasakan berpikir yang instan-instan saja. Tapi bukan berarti mereka tak bisa berpikir lebih dalam.
Seperti seorang Ibu yang terlalu menyayangi anaknya, ia selalu menjaga agar anaknya tidak terkena duka dan mengatur kehidupannya sedemikian rupa
sehingga selalu damai sentosa.
Tapi apa yang terjadi? Anak itu jadi terbiasa diatur-atur oleh ibunya sehingga tak biasa berpikir untuk dirinya sendiri.
Anak itu bahkan tak bisa belajar dari kesalahannya sendiri, karena ia tidak dididik untuk berkembang dan memiliki hak untuk berbuat salah.
(Kalaupun dia berbuat salah, selalu ada kambing hitamnya!)
Hai Ibu, biarkan anakmu tumbuh dewasa dan berkembang.
Biarkan ia berbuat salah agar tahu bedanya dengan yang benar.
Dan kamu jangan pernah bilang lagi di depanku, "Dia miskin. Dia bodoh."
Karena kemiskinan tak selalu berbanding lurus dengan kebodohan.
Miskin harta belum tentu miskin pikiran.
Biarkan dia berpikir untuk dirinya sendiri.
Biarkan dia tentukan pilihannya sendiri
dan sudah saatnya kamu menghargai pilihannya, apapun itu.
Jangan coba-coba kamu renggut kekayaan itu darinya hanya karena kamu merasa lebih kaya dan berkuasa.
Amplop tebal yang kamu letakkan di perutnya diantara kerlip lampu wartawan sungguh memuakkan.
Kalau kamu begitu menjunjung harkat manusia Indonesia, mengapa tak kau raih tangannya yang berakar dan memberikannya secara terhormat? Dan mengapa pula saat lampu-lampu kamera terus menyala?
Coba kamu luangkan sedikit waktumu untuk menanyakan pendapatnya,
pendapat orang-orang miskin yang kamu anggap bodoh itu,
dan bersiaplah untuk terkejut mendengar jawabannya.
- A tribute to Imud, Dede's brother.
http://youtube.com/watch?v=tj1Fmh9R0D4&feature=related
Sumber artikel : alia
No comments:
Post a Comment