Di Indonesia, aborsi dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum. Meski demikian, tidak berarti Indonesia telah benar-benar bebas dari tindak anti-kehidupan ini. Justru, kasus aborsi dari hari ke hari kian marak. Ini, tentu saja, merupakan akibat langsung maupun tidak langsung dari kemajuan tehnologi.
Gelombang globalisasi menjadikan dunia yang luas ini semacam pedesaan kecil. Segala hal bisa diketahui dalam waktu cepat. Internet secara langsung maupun tidak langsung menjadi salah satu sebab meningkatnya kasus aborsi, di samping adanya pergaulan yang kian bebas, termasuk di dalamnya seks bebas. Dengan kemajuan tehnologi, orang mudah bermain-main dengan seksualitasnya yang lantas mengakibatkan semakin banyak terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki dan yang berakibat pada aborsi.
Menurut Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK), sebuah lembaga yang memberikan perhatian atas kasus aborsi, yang berdiri sejak 29 Agustus 1998, setiap tahun ada sekitar 2 juta janin digugurkan, baik oleh pasangan suami-istri yang tidak menginginkannya maupun oleh perempuan atau pasangan yang belum menikah.
Data ini cukup mengejutkan. Jumlahnya sangat besar, meski aborsi telah jelas-jelas dilarang, berbagai gerakan menolak tindak aborsi pun gencar dikampanyekan, termasuk oleh majelis-majelis keagamaan. Tentu saja ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya, minimnya kesadaran para pelaku aborsi akan arti dan hak atas kehidupan.
Hak hidup adalah hak asasi yang paling mendasar. Hak-hak asasi yang lainnya hanya dimungkinkan pada seseorang kalau seseorang itu hidup. Tidaklah tepat apabila hak-hak asasi lainnya disejajarkan dengan hak untuk hidup. Tidak tepat pula isi Deklarasi HAM oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 yang mengatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup, bebas dan keamanan pribadi. Rumusan ini memunculkan kesan seolah-olah hak untuk hidup keberadaan disejajarkan dengan hak bebas dan keamanan pribadi. Hak atas hidup lantas menjadi syarat utama ketika membicarakan perihal hak asasi manusia. Hidup adalah pilar utama untuk dapat merealisasikan nilai-nilai lainnya.
Seorang ahli Bioetika dari Yogyakarta, Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ merumuskan hak hidup secara tepat yaitu hak untuk hidup bukanlah hak untuk mendapatkan (hidup), tetapi hak untuk bebas dari ancaman yang membahayakan atau menghilangkan hidup. Hal ini berlaku juga bagi janin. Sejak selesainya proses pembuahan, janin sudah mempunyai hak untuk hidup yang harus dihormati dan dijaga oleh manusia lainnya.
Menurut data-data biologi, hidup manusia terjadi setelah selesainya proses pembuahan. Kehidupan baru sebagai individu tidak datang dari sesuatu yang tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari perjumpaan ovum dan sperma yang membentuk suatu sel baru. Kalau sel ini bukan makhluk hidup, dia tidak akan pernah menjadi makhluk hidup sebab apa yang terjadi sesudah pembuahan bukanlah menciptakan lagi sesuatu melainkan memperkembangkan apa yang sudah ada di dalam diri satu sel zigot itu.
Oleh sebab itu, tidak benar pembelaan yang mengatakan bahwa sejak terjadinya pembuahan sampai pada umur tertentu sel tersebut tidak dimanusiakan atau bahkan ada yang mengatakan itu hanya gumpalan darah dan daging saja. Jawaban ini tentu saja menyesatkan apalagi kalau itu kita dengar dari seorang tenaga medis yang memang minim pengetahuannya.
Hidup manusia sudah ditentukan sejak terjadinya pembuahan karena hidup merupakan proses keberlangsungan yang sejak awalnya memang sudah berupa kehidupan. Dengan ini semakin jelas, tindak aborsi juga termasuk kategori tindak pembunuhan karena ada aksi merampas dan tidak melindungi kehidupan sejak pembuahan. Semoga dari hari ke hari kita semakin terpanggil untuk semakin menghargai kehidupan.
mnjh
Gelombang globalisasi menjadikan dunia yang luas ini semacam pedesaan kecil. Segala hal bisa diketahui dalam waktu cepat. Internet secara langsung maupun tidak langsung menjadi salah satu sebab meningkatnya kasus aborsi, di samping adanya pergaulan yang kian bebas, termasuk di dalamnya seks bebas. Dengan kemajuan tehnologi, orang mudah bermain-main dengan seksualitasnya yang lantas mengakibatkan semakin banyak terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki dan yang berakibat pada aborsi.
Menurut Forum Komunikasi Penyayang Kehidupan (FKPK), sebuah lembaga yang memberikan perhatian atas kasus aborsi, yang berdiri sejak 29 Agustus 1998, setiap tahun ada sekitar 2 juta janin digugurkan, baik oleh pasangan suami-istri yang tidak menginginkannya maupun oleh perempuan atau pasangan yang belum menikah.
Data ini cukup mengejutkan. Jumlahnya sangat besar, meski aborsi telah jelas-jelas dilarang, berbagai gerakan menolak tindak aborsi pun gencar dikampanyekan, termasuk oleh majelis-majelis keagamaan. Tentu saja ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya, minimnya kesadaran para pelaku aborsi akan arti dan hak atas kehidupan.
Hak hidup adalah hak asasi yang paling mendasar. Hak-hak asasi yang lainnya hanya dimungkinkan pada seseorang kalau seseorang itu hidup. Tidaklah tepat apabila hak-hak asasi lainnya disejajarkan dengan hak untuk hidup. Tidak tepat pula isi Deklarasi HAM oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 yang mengatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup, bebas dan keamanan pribadi. Rumusan ini memunculkan kesan seolah-olah hak untuk hidup keberadaan disejajarkan dengan hak bebas dan keamanan pribadi. Hak atas hidup lantas menjadi syarat utama ketika membicarakan perihal hak asasi manusia. Hidup adalah pilar utama untuk dapat merealisasikan nilai-nilai lainnya.
Seorang ahli Bioetika dari Yogyakarta, Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ merumuskan hak hidup secara tepat yaitu hak untuk hidup bukanlah hak untuk mendapatkan (hidup), tetapi hak untuk bebas dari ancaman yang membahayakan atau menghilangkan hidup. Hal ini berlaku juga bagi janin. Sejak selesainya proses pembuahan, janin sudah mempunyai hak untuk hidup yang harus dihormati dan dijaga oleh manusia lainnya.
Menurut data-data biologi, hidup manusia terjadi setelah selesainya proses pembuahan. Kehidupan baru sebagai individu tidak datang dari sesuatu yang tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari perjumpaan ovum dan sperma yang membentuk suatu sel baru. Kalau sel ini bukan makhluk hidup, dia tidak akan pernah menjadi makhluk hidup sebab apa yang terjadi sesudah pembuahan bukanlah menciptakan lagi sesuatu melainkan memperkembangkan apa yang sudah ada di dalam diri satu sel zigot itu.
Oleh sebab itu, tidak benar pembelaan yang mengatakan bahwa sejak terjadinya pembuahan sampai pada umur tertentu sel tersebut tidak dimanusiakan atau bahkan ada yang mengatakan itu hanya gumpalan darah dan daging saja. Jawaban ini tentu saja menyesatkan apalagi kalau itu kita dengar dari seorang tenaga medis yang memang minim pengetahuannya.
Hidup manusia sudah ditentukan sejak terjadinya pembuahan karena hidup merupakan proses keberlangsungan yang sejak awalnya memang sudah berupa kehidupan. Dengan ini semakin jelas, tindak aborsi juga termasuk kategori tindak pembunuhan karena ada aksi merampas dan tidak melindungi kehidupan sejak pembuahan. Semoga dari hari ke hari kita semakin terpanggil untuk semakin menghargai kehidupan.
mnjh
No comments:
Post a Comment