Orang-orang ”kaget” ketika Riri Reza memfilmkannya. Mengapa Soe Hok Gie yang diangkat? Kok bukan demonstran lain yang jelas-jelas memiliki sumbangan besar menjelang kejatuhan Soekarno? Hok Gie kan praktis tak pernah ikut demo-demo besar? Begitu kata mereka, orang-orang dekat atau yang mengenal Hok Gie.
Lanjutnya, kalau saja demonstran lain itu punya catatan harian – yang diyakini lebih dahsyat dari punya Hok Gie – mereka yakin, Riri boleh jadi tak akan memfilmkan adik kandung Arief Budiman itu.
Tapi, tampaknya, justru di situlah letak soalnya. Memang banyak orang lain yang memiliki sumbangan besar. Cuma, masalahnya, mereka tak punya cacatan harian yang didagangkan. Kalau pun punya, itu tak ”meledak”. Jadinya, Hok Gie-lah yang ada di pasar. Bukan yang lain. Maka, jreng, jadilah film Gie itu. Dan ”meledak” pula.
Tapi begitulah hidup. Biasa. Orang suka ramai-ramai merendahkan seseorang. Habibie, dalam Detik-detik yang Menentukan (THC Mandiri, 2006), juga menganggap dirinya dibegitukan. Tapi yang lebih serem, Habibie malah menganggap dirinya memang rendah serendah-rendahnya. Tak tahu apa-apa.
Utamanya, soal hubungannya dengan Soeharto. Di bukunya itu, berulang kali ia bilang tak tahu mengapa Soeharto begitu marah padanya. Sampai-sampai, ketika serah terima kekuasaan di istana itu – yang lebih singkat dan lancar ketimbang jual-beli ayam — Soeharto tak menyapanya sama sekali. Permohonannya untuk sowan pun ditolak.
Mengapa orang yang dianggap sebagai gurunya itu bisa memperlakukannya seperti itu, tanyanya berkali-kali. Begitulah Habibie. Rupanya, ia bukan saja jago ngomong, tapi juga jago tak mengomongkan sesuatu yang (mungkin saja) ia ketahui dan ia lakukan sehingga Sang Guru bisa menjadi semarah itu.
Dalam buku itu, Habibie tak ngomong sama sekali, misalnya, apa yang ia lakukan sebelum dan setelah Ginandjar Kartasasmita dkk ramai-ramai mengundurkan diri. Habibie menganggap dirinya sebagai orang yang bebas dari kasak-kusuk dan move-move yang akhirnya memaksa Soeharto menyatakan berhenti.
Ia jadinya sebersih boneka. Dirinya hanyalah orang yang tiba-tiba saja beroleh ”durian runtuh” karena Soeharto tiba-tiba mundur. Jika ia benar seperti itu, tak tahu apa-apa, dan tak ngapa-ngapain, tentunya menjadi mengherankan ia bisa tak mati berdiri, setidaknya terkencing-kencing, menerima sesuatu yang tak disangka-sangka itu.
Lebih aneh lagi, kalau benar Habibie – yang sambil menganggap Soeharto adalah gurunya juga menyatakan Soeharto juga belajar banyak darinya (hal. 293) — tak tahu apa-apa dan tak ngapa-ngapain, lalu ngapain Wiranto mesti repot-repot datang padanya dan buka-buka kantong memamerkan ”Super Semar” untuknya yang diteken Soeharto?
Soeharto tak lagi bisa ditanyain mengapa ia marah pada muridnya itu. Jangankan itu, wong aneka persoalan yang lebih serem pun sekarang ini jadinya ”cuntel” kok. Maka Habibie-lah yang harusnya berhenti pura-pura tak tahu. Apalagi, ia mengaku masih punya banyak hal yang belum diungkap dalam buku gombal ini. smprlstly
No comments:
Post a Comment