A. Latar Belakang Kajian Konstruksi Sosial Media
Pada mulanya, iklan televisi merupakan subkajian sosiologi komunikasi massa yang kemudian bersentuhan dengan studi komunikasi bisnis dan budaya popular. Di saat iklan memperoleh medium yang disebut televisi, pesan-pesannya semakin menjadi hidup, bergairah, dan memenuhi sasaran secara lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan melalui media lainnya.
Selama ini iklan televisi telah banyak menumbuhkan kegairahan sosiologis dalam interaksi sosial di antara anggota masyarakat, sebagaimana beberapa contoh berbagai parodi (bagian dari interaksi verbal yang terdengar di masyarakat). Di antaranya terdengar di tengah senda gurau anak-anak, ‘aku dan kau, jelekan kau’. Parodi lain yang juga terdengar di kalangan remaja yang sedang bersitegang, ‘ah teori’. Dua parodi itu ternyata ditiru dari iklan Dancow dan sampo Clear yang sudah cukup lama ditayangkan di televise. Ada juga parodi yang menggelitik telinga seperti, ‘orang pintar minum tolak angin’ (Tolak Angin).
Parodi-parodi di atas hanyalah hiburan musiman yang berkembang, kemudian hilang, dan muncul lagi, namun lebih dari itu, kenyataan ini menyadarkan bahwa adanya sebuah realitas baru di masyarakat yang merefleksikan parodi-parodi itu karena seseorang melihat iklan televisi. Bahkan realitas sosial tersebut dapat atau sedang dikonstruksi oleh sebuah iklan televisi.
Parodi hanyalah salah satu contoh dari realitas kekuatan media mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah diubah citranya, kemudian media memindahkannya melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hidup di masyarakat. Contohnya iklan susu Dancow di televisi yang menyebutkan ‘aku dan kau suka Dancow’. Pada awalnya ide iklan tersebut diangkat dari dialog seorang ibu dengan anaknya (sebuah realitas sosial lama). Namun, begitu dialog itu terjadi dalam media televisi, maka telah terjadi perubahan citra, bahwa Dancow bukan lagi susu sembarangan. Hal ini dikarenakan ketika pada akhir dialog, sang anak sehabis minum susu Dancow lalu ia memberitahukan kepada ibunya, kalau tangannya telah menyentuh telinga. Artinya, sang anak telah cepat besar hanya dengan meminum segelas Dancow.
Berdasarkan contoh iklan susu Dancow tersebut, akhirnya menggiring kepada serangkaian pertanyaan tentang bagaimana suatu realitas sosial bisa dikonstruksi oleh iklan televisi. Dengan kata lain, adakah format iklan tertentu yang dapat mengkonstruksi realitas sosial. Begitu pula seharusnya ada substansi tertentu yang menunjukkan adanya ciri-ciri realitas sosial yang dibentuk oleh iklan, kemudian, adakah makna dan implikasi sosial tertentu yang terdapat simbol dan citra realitas sosial suatu iklan.
Secara teoritis persoalan itu sementara dapat dijawab bahwa konstruksi sosial iklan televisi adalah cara bagaimana realitas baru itu bisa dikonstruksi oleh media melalui interaksi simbolik dan padanan budaya dalam dunia intersubjektif serta proses pelembagaan realitas baru. Sebagaimana dikatakan Parera, terciptanya konstruksi sosial itu melalui tiga momen dialektis, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Sehingga sebagai media konstruksi realitas sosial, iklan mampu melampaui momen dialektis.
Namun, masalah-masalah dominan dalam bab ini, yakni persoalan iklan televisi mengkonstruksi realitas sosial, atau dengan kata lain bagaimana konstruksi iklan televisi atas realitas sosial dalam masyarakat kapitalis. Persoalan spesifiknya menyangkut substansi mengenai:
1. Proses konstruksi iklan televisi atas realitas sosial sebagai refleksi dari kekuatan konstruksi sosial pencipta iklan televisi;
2. Bentuk atau ciri realitas sosial apa yang dibentuk atau dibangun oleh konstruksi sosial pencipta iklan televisi;
3. Makna dan implikasi sosial suatu simbol realitas sosial dari iklan televisi bagi masyarakat pemirsa televisi.
B. Teori konstruksi sosial
Paradigma Definisi Sosial
Sebelum memahami teori konstruksi sosial, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang paradigma definisi sosial dan paradigma konstruktivis. Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya, yang semua itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan pranata sosial.
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal. Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respon-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik pada apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolik. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma definisi sosial adalah tentang tindakan sosial, yaitu tindakan individu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori yang tergabung adalah teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi. Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dunia sosial yang dimaksud (menurut George Simmel) bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita itu ‘ada’ dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya.
Paradigma Konstruktivis
Sementara paradigma konstruktivis ialah paradigma di mana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif (nisbi). Pertama, dilihat dari penjelasan ontologis, realitas yang dikonstruksi itu berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Kedua, paradigma konstruktivis ditinjau dari konteks epistemologis, bahwa pemahaman tentang suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini, paradigma konstruktivis bersifat transactionalist atau subjectivist. Ketiga, dalam konteks aksiologi, yakni peneliti sebagai passionate participation, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Posisi pembahasan teoretis dalam bab ini, berada pada studi-studi masyarakat dan komunikasi massa (mass communication and society) dengan topik kajian utama media massa dan konstruksi sosial atas realitas sosial (mass media and social construction of reality). Untuk menempatkan kajian ini pada kerangka sosiologis, maka dalam pembahasan nanti, paradigma definisi sosial menjadi basis dominan di samping paradigma konstruktivis (constructivism paradigm). Sehingga diharapkan dapat menjembatani kedua paradigma, yakni kerangka studi sosiologi komunikasi dengan spesifikasi konstruksi sosial iklan televisi dalam masyarakat kapitalis.
Teori Konstruksi Realitas
Konsep mengenai konstruksi pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang interpretatif. Peter L. Berger bersama-sama dengan Thomas Luckman mengatakan setiap realitas sosial dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia. Mereka menyebutkan proses terciptanya konstruksi realitas sosial melalui adanya tiga tahap, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Eksternalisasi ialah proses penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Dimulai dari interaksi antara pesan iklan dengan individu pemirsa melalui tayangan televisi. Tahap pertama ini merupakan bagian yang penting dan mendasar dalam satu pola interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Yang dimaksud dalam proses ini ialah ketika suatu produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar;
2. Objektivasi ialah tahap di mana interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Pada tahap ini, sebuah produk sosial berada proses institusionalisasi, sedangkan individu memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka bisa dipahami secara langsung. Dengan demikian, individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, proses ini bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antarindividu dan pencipta produk sosial;
3. Internalisasi ialah proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Terdapat dua pemahaman dasar dari proses internalisasi secara umum; pertama, bagi pemahaman mengenai ‘sesama saya’ yaitu pemahaman mengenai individu dan orang lain; kedua, pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial.
C. Teori Politik-Ekonomi Media
Garnham mengemukakan beberapa asumsi yang menjadi kerangka berpikir dari teori politik-ekonomi media, yaitu:
“An approach which focuses more on economic structure than on ideological content of media; It asserts the dependence of ideology on the economic base and directs research attention to the empirical analysis of the structure of ownership and to the way media market forces operate; From this point of view, the media institution has to be considered as part of the economic system though with close links to the political system; The predominant character of the knowledge of and for society produced by the media can be largely accounted for by the exchange value of different kinds of content, under conditions of pressure to expand markets, and by the underlying economic interests of owners and decision makers” .
(Sebuah pendekatan yang lebih memfokuskan pada struktur ekonomi daripada isi ideologi media; Teori ini menyatakan ketergantungan ideologi pada dasar ekonomi dan menunjukkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media; Dari sudut pandang ini, institusi media harus dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem ekonomi yang berkaitan dengan sistem politik; Kualitas pengetahuan yang diproduksi media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh pertukaran nilai berbagai macam isi di dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan di bawah kepentingan ekonomi dan pembuat kebijakan).
Teori Politik-Ekonomi Media (political-economic media theory) bisa dikategorikan salah satu akar dari teori makro komunikasi massa. Secara komprehensif, Teori Politik-Ekonomi Media memusatkan perhatian bahwa media massa sebagai bagian dari suatu industri yang mempunyai kaitan erat dengan aspek ekonomi dan politik. Aspek ekonomi bisa dirumuskan dengan bagaimana media menjual atau memasarkan isi berita. Di dalam pemikiran ini, isi berita pada media bisa disebut sebagai sebuah komoditi untuk dijual ke pasar. Tetapi, isi berita suatu media dikontrol oleh apa yang diinginkan pasar. Di sinilah kekuatan pasar sebagai bagian dari sistem ekonomi memiliki pengaruh terhadap isi berita media massa.
Sedangkan hubungan antara institusi pers dengan aspek politik bisa ditinjau dari struktur kepemilikan media dan ideologinya. Namun, tidak dapat disangkal bahwa institusi pers memiliki ketergantungan dan bahkan lebih dekat dengan sistem politik (pembuat kebijakan) suatu negara. Maka dari itu, aspek ekonomi dan politik selalu mempengaruhi pemberitaan sebuah media baik cetak maupun elektronik.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. 2007. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
McQuail, Dennis. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction. London and New Delhi: Sage Publications.
Pada mulanya, iklan televisi merupakan subkajian sosiologi komunikasi massa yang kemudian bersentuhan dengan studi komunikasi bisnis dan budaya popular. Di saat iklan memperoleh medium yang disebut televisi, pesan-pesannya semakin menjadi hidup, bergairah, dan memenuhi sasaran secara lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan melalui media lainnya.
Selama ini iklan televisi telah banyak menumbuhkan kegairahan sosiologis dalam interaksi sosial di antara anggota masyarakat, sebagaimana beberapa contoh berbagai parodi (bagian dari interaksi verbal yang terdengar di masyarakat). Di antaranya terdengar di tengah senda gurau anak-anak, ‘aku dan kau, jelekan kau’. Parodi lain yang juga terdengar di kalangan remaja yang sedang bersitegang, ‘ah teori’. Dua parodi itu ternyata ditiru dari iklan Dancow dan sampo Clear yang sudah cukup lama ditayangkan di televise. Ada juga parodi yang menggelitik telinga seperti, ‘orang pintar minum tolak angin’ (Tolak Angin).
Parodi-parodi di atas hanyalah hiburan musiman yang berkembang, kemudian hilang, dan muncul lagi, namun lebih dari itu, kenyataan ini menyadarkan bahwa adanya sebuah realitas baru di masyarakat yang merefleksikan parodi-parodi itu karena seseorang melihat iklan televisi. Bahkan realitas sosial tersebut dapat atau sedang dikonstruksi oleh sebuah iklan televisi.
Parodi hanyalah salah satu contoh dari realitas kekuatan media mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah diubah citranya, kemudian media memindahkannya melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hidup di masyarakat. Contohnya iklan susu Dancow di televisi yang menyebutkan ‘aku dan kau suka Dancow’. Pada awalnya ide iklan tersebut diangkat dari dialog seorang ibu dengan anaknya (sebuah realitas sosial lama). Namun, begitu dialog itu terjadi dalam media televisi, maka telah terjadi perubahan citra, bahwa Dancow bukan lagi susu sembarangan. Hal ini dikarenakan ketika pada akhir dialog, sang anak sehabis minum susu Dancow lalu ia memberitahukan kepada ibunya, kalau tangannya telah menyentuh telinga. Artinya, sang anak telah cepat besar hanya dengan meminum segelas Dancow.
Berdasarkan contoh iklan susu Dancow tersebut, akhirnya menggiring kepada serangkaian pertanyaan tentang bagaimana suatu realitas sosial bisa dikonstruksi oleh iklan televisi. Dengan kata lain, adakah format iklan tertentu yang dapat mengkonstruksi realitas sosial. Begitu pula seharusnya ada substansi tertentu yang menunjukkan adanya ciri-ciri realitas sosial yang dibentuk oleh iklan, kemudian, adakah makna dan implikasi sosial tertentu yang terdapat simbol dan citra realitas sosial suatu iklan.
Secara teoritis persoalan itu sementara dapat dijawab bahwa konstruksi sosial iklan televisi adalah cara bagaimana realitas baru itu bisa dikonstruksi oleh media melalui interaksi simbolik dan padanan budaya dalam dunia intersubjektif serta proses pelembagaan realitas baru. Sebagaimana dikatakan Parera, terciptanya konstruksi sosial itu melalui tiga momen dialektis, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Sehingga sebagai media konstruksi realitas sosial, iklan mampu melampaui momen dialektis.
Namun, masalah-masalah dominan dalam bab ini, yakni persoalan iklan televisi mengkonstruksi realitas sosial, atau dengan kata lain bagaimana konstruksi iklan televisi atas realitas sosial dalam masyarakat kapitalis. Persoalan spesifiknya menyangkut substansi mengenai:
1. Proses konstruksi iklan televisi atas realitas sosial sebagai refleksi dari kekuatan konstruksi sosial pencipta iklan televisi;
2. Bentuk atau ciri realitas sosial apa yang dibentuk atau dibangun oleh konstruksi sosial pencipta iklan televisi;
3. Makna dan implikasi sosial suatu simbol realitas sosial dari iklan televisi bagi masyarakat pemirsa televisi.
B. Teori konstruksi sosial
Paradigma Definisi Sosial
Sebelum memahami teori konstruksi sosial, akan dijelaskan terlebih dahulu tentang paradigma definisi sosial dan paradigma konstruktivis. Ritzer menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya, yang semua itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang tergambarkan struktur dan pranata sosial.
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya di mana individu berasal. Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respon-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Karena itu, paradigma definisi sosial lebih tertarik pada apa yang ada dalam pemikiran manusia tentang proses sosial, terutama para pengikut interaksi simbolik. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Yang menjadi pusat perhatian dalam paradigma definisi sosial adalah tentang tindakan sosial, yaitu tindakan individu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori yang tergabung adalah teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi. Dalam pandangan paradigma definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dunia sosial yang dimaksud (menurut George Simmel) bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita itu ‘ada’ dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya.
Paradigma Konstruktivis
Sementara paradigma konstruktivis ialah paradigma di mana kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif (nisbi). Pertama, dilihat dari penjelasan ontologis, realitas yang dikonstruksi itu berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Kedua, paradigma konstruktivis ditinjau dari konteks epistemologis, bahwa pemahaman tentang suatu realitas merupakan produk interaksi antara peneliti dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini, paradigma konstruktivis bersifat transactionalist atau subjectivist. Ketiga, dalam konteks aksiologi, yakni peneliti sebagai passionate participation, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial.
Posisi pembahasan teoretis dalam bab ini, berada pada studi-studi masyarakat dan komunikasi massa (mass communication and society) dengan topik kajian utama media massa dan konstruksi sosial atas realitas sosial (mass media and social construction of reality). Untuk menempatkan kajian ini pada kerangka sosiologis, maka dalam pembahasan nanti, paradigma definisi sosial menjadi basis dominan di samping paradigma konstruktivis (constructivism paradigm). Sehingga diharapkan dapat menjembatani kedua paradigma, yakni kerangka studi sosiologi komunikasi dengan spesifikasi konstruksi sosial iklan televisi dalam masyarakat kapitalis.
Teori Konstruksi Realitas
Konsep mengenai konstruksi pertama kali diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang interpretatif. Peter L. Berger bersama-sama dengan Thomas Luckman mengatakan setiap realitas sosial dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia. Mereka menyebutkan proses terciptanya konstruksi realitas sosial melalui adanya tiga tahap, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Eksternalisasi ialah proses penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Dimulai dari interaksi antara pesan iklan dengan individu pemirsa melalui tayangan televisi. Tahap pertama ini merupakan bagian yang penting dan mendasar dalam satu pola interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Yang dimaksud dalam proses ini ialah ketika suatu produk sosial telah menjadi sebuah bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar;
2. Objektivasi ialah tahap di mana interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Pada tahap ini, sebuah produk sosial berada proses institusionalisasi, sedangkan individu memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka bisa dipahami secara langsung. Dengan demikian, individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, proses ini bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antarindividu dan pencipta produk sosial;
3. Internalisasi ialah proses di mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Terdapat dua pemahaman dasar dari proses internalisasi secara umum; pertama, bagi pemahaman mengenai ‘sesama saya’ yaitu pemahaman mengenai individu dan orang lain; kedua, pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial.
C. Teori Politik-Ekonomi Media
Garnham mengemukakan beberapa asumsi yang menjadi kerangka berpikir dari teori politik-ekonomi media, yaitu:
“An approach which focuses more on economic structure than on ideological content of media; It asserts the dependence of ideology on the economic base and directs research attention to the empirical analysis of the structure of ownership and to the way media market forces operate; From this point of view, the media institution has to be considered as part of the economic system though with close links to the political system; The predominant character of the knowledge of and for society produced by the media can be largely accounted for by the exchange value of different kinds of content, under conditions of pressure to expand markets, and by the underlying economic interests of owners and decision makers” .
(Sebuah pendekatan yang lebih memfokuskan pada struktur ekonomi daripada isi ideologi media; Teori ini menyatakan ketergantungan ideologi pada dasar ekonomi dan menunjukkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media; Dari sudut pandang ini, institusi media harus dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem ekonomi yang berkaitan dengan sistem politik; Kualitas pengetahuan yang diproduksi media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan oleh pertukaran nilai berbagai macam isi di dalam kondisi yang memaksakan perluasan pasar, dan di bawah kepentingan ekonomi dan pembuat kebijakan).
Teori Politik-Ekonomi Media (political-economic media theory) bisa dikategorikan salah satu akar dari teori makro komunikasi massa. Secara komprehensif, Teori Politik-Ekonomi Media memusatkan perhatian bahwa media massa sebagai bagian dari suatu industri yang mempunyai kaitan erat dengan aspek ekonomi dan politik. Aspek ekonomi bisa dirumuskan dengan bagaimana media menjual atau memasarkan isi berita. Di dalam pemikiran ini, isi berita pada media bisa disebut sebagai sebuah komoditi untuk dijual ke pasar. Tetapi, isi berita suatu media dikontrol oleh apa yang diinginkan pasar. Di sinilah kekuatan pasar sebagai bagian dari sistem ekonomi memiliki pengaruh terhadap isi berita media massa.
Sedangkan hubungan antara institusi pers dengan aspek politik bisa ditinjau dari struktur kepemilikan media dan ideologinya. Namun, tidak dapat disangkal bahwa institusi pers memiliki ketergantungan dan bahkan lebih dekat dengan sistem politik (pembuat kebijakan) suatu negara. Maka dari itu, aspek ekonomi dan politik selalu mempengaruhi pemberitaan sebuah media baik cetak maupun elektronik.
Daftar Pustaka
Bungin, Burhan. 2007. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
McQuail, Dennis. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction. London and New Delhi: Sage Publications.
No comments:
Post a Comment