Sulit untuk tidak mengatakan bahwa hal yang dialami puluhan pendidik, paling sedikit 30 guru, di Deli Serdang dan Makassar, hari-hari ini adalah tragedi paling ironis dalam sejarah pendidikan kita. Guru, 15 di Makassar dan 18 di Deli Serdang, digelandang ke kantor polisi sebagai pesakitan. Mereka tak ubahnya kriminal, bahkan untuk kasus Deli Serdang di Sumatera Utara, diperlakukan bak teroris karena ditangkap oleh satuan polisi terlatih yang tugasnya memburu teroris: Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Guru-guru itu, sebagian besar adalah ibu-ibu, berjejer di dalam kamar pemeriksaan polisi setempat. Tidak sedikit di antaranya menutup muka saat berhadapan dengan kamera wartawan. Mereka tak pernah membayangkan barang sedetik pun, bahwa ada suatu masa dalam hidupnya akan berurusan dengan polisi sebagai pelaku tindak kriminal. Saya tak dapat membayangkan betapa malunya mereka.
Apa sebenarnya yang telah dilakukan guru-guru itu hingga harus berhubungan dengan polisi? Semua berawal ketika mereka ingin melihat---tidak ada guru yang tidak memiliki keinginan seperti ini---murid-murid mereka lulus ujian nasional tahun ini. Niat mulia itu ternyata diwujudkan lewat cara yang tidak benar, yakni membetulkan jawaban murid untuk kasus Deli Serdang dan membuatkan kunci jawaban untuk kasus Makassar.
Apa yang harus dikatakan untuk kelakuan mereka yang seharusnya jadi teladan ini? Seorang kolega saya mengatakan guru-guru itu harus dihukum seberat-beratnya karena mereka tidak pantas melakukan semua itu. "Bagaimana mau menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas jika guru-gurunya seperti itu?!" kata kawan itu berlagak seperti politisi.
Rekan saya yang lain, berada di ekstrem yang satu lagi, justru meminta empati publik. Argumentasinya begini: hal yang dilakukan guru-guru itu adalah respons dari sistem pendidikan yang amburadul. Mereka adalah produk sebuah sistem yang tidak berpihak pada guru, juga sekolah yang jauh dari pusat kekuasaan, yang salah satunya di Deli Serdang dan Makassar. Guru-guru itu seperti ditempatkan di sudut ruangan di mana mereka tidak punya pilihan lain, kecuali berbuat curang.
Memang ada yang aneh dalam pendidikan kita ini, ambil saja contoh kesejahteraan guru. Di tangan mereka, kita mempertaruhkan mutu anak-anak kita, yang dalam bahasa bombastisnya, generasi penerus bangsa, tapi kesejahteraan mereka jauh dari memadai. Puluhan tahun mengabdi, mereka nyaris tidak bisa memiliki apa-apa. Maka tidaklah heran jika ada cerita guru jadi tukang ojek, bahkan dalam tayangan Liputan 6 kita bisa saksikan seorang guru terpaksa menambah pendapatan dengan menjadi pemulung.
Hukum ekonomi tentang pasokan dan permintaan juga tidak berlaku di sini. Hukum besi ini mengajarkan kita bahwa pasokan yang terbatas membuat harga jasa atau barang itu lebih tinggi. Saat ini, mereka yang mau menjadi guru amat terbatas, dibandingkan mereka yang antre mau menjadi profesional di bidang, misalnya, jasa keuangan. Jika hukum ekonomi itu bekerja, maka seharusnya gaji guru lebih besar dari gaji pekerja di bidang lain yang pasokannya melimpah. Faktanya, itu tidak terjadi.
Guru sepertinya sudah ditakdirkan untuk hidup menderita, seperti guru Oemar Bakrie dalam lagu Iwan Fals. Tragisnya, ketika mereka menghadapi masalah, Departemen Pendidikan Nasional justru tidak mau membantu. Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo berkata lantang, "Mereka harus dihukum." Tak ada nada empati, apalagi penyesalan sedikit pun keluar dari mulut Pak Menteri yang menduduki posisinya hari ini karena jasa guru.
Rahman Andi Mangussara
Kepala Produksi Berita Liputan 6
Guru-guru itu, sebagian besar adalah ibu-ibu, berjejer di dalam kamar pemeriksaan polisi setempat. Tidak sedikit di antaranya menutup muka saat berhadapan dengan kamera wartawan. Mereka tak pernah membayangkan barang sedetik pun, bahwa ada suatu masa dalam hidupnya akan berurusan dengan polisi sebagai pelaku tindak kriminal. Saya tak dapat membayangkan betapa malunya mereka.
Apa sebenarnya yang telah dilakukan guru-guru itu hingga harus berhubungan dengan polisi? Semua berawal ketika mereka ingin melihat---tidak ada guru yang tidak memiliki keinginan seperti ini---murid-murid mereka lulus ujian nasional tahun ini. Niat mulia itu ternyata diwujudkan lewat cara yang tidak benar, yakni membetulkan jawaban murid untuk kasus Deli Serdang dan membuatkan kunci jawaban untuk kasus Makassar.
Apa yang harus dikatakan untuk kelakuan mereka yang seharusnya jadi teladan ini? Seorang kolega saya mengatakan guru-guru itu harus dihukum seberat-beratnya karena mereka tidak pantas melakukan semua itu. "Bagaimana mau menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas jika guru-gurunya seperti itu?!" kata kawan itu berlagak seperti politisi.
Rekan saya yang lain, berada di ekstrem yang satu lagi, justru meminta empati publik. Argumentasinya begini: hal yang dilakukan guru-guru itu adalah respons dari sistem pendidikan yang amburadul. Mereka adalah produk sebuah sistem yang tidak berpihak pada guru, juga sekolah yang jauh dari pusat kekuasaan, yang salah satunya di Deli Serdang dan Makassar. Guru-guru itu seperti ditempatkan di sudut ruangan di mana mereka tidak punya pilihan lain, kecuali berbuat curang.
Memang ada yang aneh dalam pendidikan kita ini, ambil saja contoh kesejahteraan guru. Di tangan mereka, kita mempertaruhkan mutu anak-anak kita, yang dalam bahasa bombastisnya, generasi penerus bangsa, tapi kesejahteraan mereka jauh dari memadai. Puluhan tahun mengabdi, mereka nyaris tidak bisa memiliki apa-apa. Maka tidaklah heran jika ada cerita guru jadi tukang ojek, bahkan dalam tayangan Liputan 6 kita bisa saksikan seorang guru terpaksa menambah pendapatan dengan menjadi pemulung.
Hukum ekonomi tentang pasokan dan permintaan juga tidak berlaku di sini. Hukum besi ini mengajarkan kita bahwa pasokan yang terbatas membuat harga jasa atau barang itu lebih tinggi. Saat ini, mereka yang mau menjadi guru amat terbatas, dibandingkan mereka yang antre mau menjadi profesional di bidang, misalnya, jasa keuangan. Jika hukum ekonomi itu bekerja, maka seharusnya gaji guru lebih besar dari gaji pekerja di bidang lain yang pasokannya melimpah. Faktanya, itu tidak terjadi.
Guru sepertinya sudah ditakdirkan untuk hidup menderita, seperti guru Oemar Bakrie dalam lagu Iwan Fals. Tragisnya, ketika mereka menghadapi masalah, Departemen Pendidikan Nasional justru tidak mau membantu. Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo berkata lantang, "Mereka harus dihukum." Tak ada nada empati, apalagi penyesalan sedikit pun keluar dari mulut Pak Menteri yang menduduki posisinya hari ini karena jasa guru.
Rahman Andi Mangussara
Kepala Produksi Berita Liputan 6
No comments:
Post a Comment