Lain kali, jika sedang makan jeruk, perhatikan kulit jeruk sebelum Anda melemparkannya ke tong sampah. Dengan kulit jeruk itulah dua anak bangsa berhasil menggondol medali perak pada Olimpiade Proyek Lingkungan Internasional Eropa-Asia Ke-2 (INEPO Euroasia), yang dilangsungkan di Baku, Azerbaijan, pada 1-6 April lalu. Mereka membuktikan bahwa kulit jeruk bisa menjadi solusi brilian bagi masalah lingkungan.
Adrienne Trinovia Sulistyo dan Vici Riyani Tedja, siswi grade XII IPA SMU Santa Laurensia, Alam Sutra, Tangerang, berhasil mengharumkan nama bangsa lewat proyek penelitian mereka yang berjudul "Pengolahan Limbah Styrofoam Melalui Proses Kimiawi Sulfonasi dan Proses Biologi Tradisional dengan Ekstrak Kulit Jeruk".
Ringkasnya, penelitian mereka berhasil membuktikan bahwa kulit jeruk dapat dimanfaatkan untuk menghancurkan sampah dari bahan Styrofoam. Hebatnya, ini bisa dilakukan tanpa teknologi yang rumit.
Kedua siswi ini juga menemukan cara lain untuk mengolah Styrofoam menjadi materi yang lebih mudah diurai alam lewat proses sulfonasi. Dengan cara kedua ini, Styrofoam diubah menjadi serbuk polimer sodium polystyrene sulphonate (PSSNa).
Penelitian kedua gadis 17 tahun itu berawal dari keprihatinan mereka melihat masih maraknya penggunaan polystyrene, yang lebih populer di masyarakat umum sebagai Styrofoam, untuk membungkus barang dan makanan serta produk lainnya. "Repotnya, setelah selesai digunakan, polystyrene itu dibuang, jadi sampah," kata Vici.
Pengamatan Adrienne dan Vici terhadap beberapa rumah makan dan perusahaan pembungkus makanan di Jakarta dan Yogyakarta menemukan bahwa pemakaian kemasan makanan dari Styrofoam bisa mencapai ratusan kotak tiap hari. Satu restoran saja bisa memiliki tumpukan Styrofoam sampai 120-130 meter kubik.
Banyaknya sampah kemasan makanan ini menjadi masalah karena Styrofoam bukan barang yang bisa didaur ulang, seperti gelas, kertas, atau metal, yang dapat didaur ulang menjadi material mentah untuk dibuat kembali menjadi barang serupa. Yang tidak kalah penting, Styrofoam tidak bio-degradable atau tidak bisa hancur oleh mikroorganisme di udara dan di dalam tanah. "Styrofoam itu sampah bandel. Kalau dibuang, ia akan tetap seperti itu sampai jutaan tahun," katanya.
Selama ini metode yang digunakan untuk mengurangi sampah Styrofoam adlah pembakaran lewat incinerator. Padahal pembakaran Styrofoam dapat menghasilkan gas karbon dioksida dan bahkan gas karbon monoksida yang sangat berbahaya bagi sistem pernapasan manusia. "Belum ada cara yang aman, efektif, dan mudah untuk memecahkan masalah menumpuknya sampah Styrofoam yang tidak bisa hancur tersebut," ujar Vici.
Di bawah bimbingan tim guru dari Santa Laurensia, keduanya melakukan penjelajahan literatur, termasuk dari Internet, dan beberapa percobaan di laboratorium untuk melakukan pengujian. Temuan pertama mereka, ekstrak kulit jeruk ternyata dapat melumerkan Styrofoam karena kulit jeruk mengandung zat yang disebut d-limonene.
Selama ini d-limonene, yang terdapat di hampir seluruh jenis jeruk, sudah sering dimanfaatkan sebagai cairan pembersih dan pelarut. D-limonene terbukti efektif menyingkirkan minyak, oli, gemuk, lilin parafin, dan lainnya. "Tapi pemanfaatannya sebagai pelarut sampah bahan polystyrene belum pernah ada," kata Adrienne.
Dalam percobaan mereka, Vici dan Adrienne menghaluskan kulit jeruk dalam blender dan memerasnya untuk mengeluarkan ekstrak yang mengandung d-limonene. Cairan ekstrak kulit jeruk ini dipakai untuk merendam Styrofoam yang sudah dipotong kecil-kecil sepanjang 3 sentimeter. Selama perendaman, potongan Styrofoam terus diaduk. "Hasilnya, potongan Styrofoam perlahan mengecil sampai akhirnya lumer dan air ekstrak menjadi kental," ujar Adrienne.
Pada saat lumer itulah Styrofoam aman dibuang dan dapat diurai oleh mikroorganisme tanah atau udara karena sudah berada dalam kondisi molekul rendah. Penggunaan ekstrak kulit jeruk juga tidak menyebabkan polusi bagi lingkungan karena berasal dari sumber alami. "Kulit jeruk yang sebenarnya termasuk sampah juga mudah didapat karena merupakan by-product atau produk sampingan dari industri atau konsumsi jeruk," katanya. "Jadi kita mengatasi sampah dengan sampah."
Kedua gadis ini juga mengembangkan cara lain untuk menghancurkan sampah Styrofoam, yaitu memakai proses kimiawi. Dalam proses yang disebut sulfonasi ini, Styrofoam yang sudah dipotong-potong dicampur dengan klorofom dan asam sulfur. Campuran ini didiamkan selama dua jam dalam suhu 45 derajat Celsius sampai berubah menjadi larutan PSSNa. Lewat proses pemisahan dan netralisasi memakai sodium hidroksida (NaOH), larutan ini akan menghasilkan serbuk polimer setelah dikeringkan.
Walaupun lebih rumit, metode pengolahan Styrofoam secara kimiawi ini bukan hanya agar aman dibuang, tapi juga menghasilkan produk dengan nilai tambah yang tinggi. "Serbuk polimer PSSNa yang dihasilkan bisa digunakan sebagai bahan super-plastifier dalam industri semen, sebagai bahan polimer dalam pemrosesan air bersih, dan lainnya," kata Adrienne.
Dengan kedua ide brilian ini, pantaslah mereka menjadi juara.
amal ihsan ( Tempo )
Adrienne Trinovia Sulistyo dan Vici Riyani Tedja, siswi grade XII IPA SMU Santa Laurensia, Alam Sutra, Tangerang, berhasil mengharumkan nama bangsa lewat proyek penelitian mereka yang berjudul "Pengolahan Limbah Styrofoam Melalui Proses Kimiawi Sulfonasi dan Proses Biologi Tradisional dengan Ekstrak Kulit Jeruk".
Ringkasnya, penelitian mereka berhasil membuktikan bahwa kulit jeruk dapat dimanfaatkan untuk menghancurkan sampah dari bahan Styrofoam. Hebatnya, ini bisa dilakukan tanpa teknologi yang rumit.
Kedua siswi ini juga menemukan cara lain untuk mengolah Styrofoam menjadi materi yang lebih mudah diurai alam lewat proses sulfonasi. Dengan cara kedua ini, Styrofoam diubah menjadi serbuk polimer sodium polystyrene sulphonate (PSSNa).
Penelitian kedua gadis 17 tahun itu berawal dari keprihatinan mereka melihat masih maraknya penggunaan polystyrene, yang lebih populer di masyarakat umum sebagai Styrofoam, untuk membungkus barang dan makanan serta produk lainnya. "Repotnya, setelah selesai digunakan, polystyrene itu dibuang, jadi sampah," kata Vici.
Pengamatan Adrienne dan Vici terhadap beberapa rumah makan dan perusahaan pembungkus makanan di Jakarta dan Yogyakarta menemukan bahwa pemakaian kemasan makanan dari Styrofoam bisa mencapai ratusan kotak tiap hari. Satu restoran saja bisa memiliki tumpukan Styrofoam sampai 120-130 meter kubik.
Banyaknya sampah kemasan makanan ini menjadi masalah karena Styrofoam bukan barang yang bisa didaur ulang, seperti gelas, kertas, atau metal, yang dapat didaur ulang menjadi material mentah untuk dibuat kembali menjadi barang serupa. Yang tidak kalah penting, Styrofoam tidak bio-degradable atau tidak bisa hancur oleh mikroorganisme di udara dan di dalam tanah. "Styrofoam itu sampah bandel. Kalau dibuang, ia akan tetap seperti itu sampai jutaan tahun," katanya.
Selama ini metode yang digunakan untuk mengurangi sampah Styrofoam adlah pembakaran lewat incinerator. Padahal pembakaran Styrofoam dapat menghasilkan gas karbon dioksida dan bahkan gas karbon monoksida yang sangat berbahaya bagi sistem pernapasan manusia. "Belum ada cara yang aman, efektif, dan mudah untuk memecahkan masalah menumpuknya sampah Styrofoam yang tidak bisa hancur tersebut," ujar Vici.
Di bawah bimbingan tim guru dari Santa Laurensia, keduanya melakukan penjelajahan literatur, termasuk dari Internet, dan beberapa percobaan di laboratorium untuk melakukan pengujian. Temuan pertama mereka, ekstrak kulit jeruk ternyata dapat melumerkan Styrofoam karena kulit jeruk mengandung zat yang disebut d-limonene.
Selama ini d-limonene, yang terdapat di hampir seluruh jenis jeruk, sudah sering dimanfaatkan sebagai cairan pembersih dan pelarut. D-limonene terbukti efektif menyingkirkan minyak, oli, gemuk, lilin parafin, dan lainnya. "Tapi pemanfaatannya sebagai pelarut sampah bahan polystyrene belum pernah ada," kata Adrienne.
Dalam percobaan mereka, Vici dan Adrienne menghaluskan kulit jeruk dalam blender dan memerasnya untuk mengeluarkan ekstrak yang mengandung d-limonene. Cairan ekstrak kulit jeruk ini dipakai untuk merendam Styrofoam yang sudah dipotong kecil-kecil sepanjang 3 sentimeter. Selama perendaman, potongan Styrofoam terus diaduk. "Hasilnya, potongan Styrofoam perlahan mengecil sampai akhirnya lumer dan air ekstrak menjadi kental," ujar Adrienne.
Pada saat lumer itulah Styrofoam aman dibuang dan dapat diurai oleh mikroorganisme tanah atau udara karena sudah berada dalam kondisi molekul rendah. Penggunaan ekstrak kulit jeruk juga tidak menyebabkan polusi bagi lingkungan karena berasal dari sumber alami. "Kulit jeruk yang sebenarnya termasuk sampah juga mudah didapat karena merupakan by-product atau produk sampingan dari industri atau konsumsi jeruk," katanya. "Jadi kita mengatasi sampah dengan sampah."
Kedua gadis ini juga mengembangkan cara lain untuk menghancurkan sampah Styrofoam, yaitu memakai proses kimiawi. Dalam proses yang disebut sulfonasi ini, Styrofoam yang sudah dipotong-potong dicampur dengan klorofom dan asam sulfur. Campuran ini didiamkan selama dua jam dalam suhu 45 derajat Celsius sampai berubah menjadi larutan PSSNa. Lewat proses pemisahan dan netralisasi memakai sodium hidroksida (NaOH), larutan ini akan menghasilkan serbuk polimer setelah dikeringkan.
Walaupun lebih rumit, metode pengolahan Styrofoam secara kimiawi ini bukan hanya agar aman dibuang, tapi juga menghasilkan produk dengan nilai tambah yang tinggi. "Serbuk polimer PSSNa yang dihasilkan bisa digunakan sebagai bahan super-plastifier dalam industri semen, sebagai bahan polimer dalam pemrosesan air bersih, dan lainnya," kata Adrienne.
Dengan kedua ide brilian ini, pantaslah mereka menjadi juara.
amal ihsan ( Tempo )
No comments:
Post a Comment