Tayangan televisi di Indonesia yang bersifat mendidik masih sangat minim, bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Tayangan yang mendidik hanya mencapai 1-2 persen, sementara di luar negeri rata-rata mencapai 20-30 persen. Tayangan televisi lebih menonjolkan kekerasan yang berpengaruh negatif terhadap anak-anak dan keluarga.
Demikian salah satu kesimpulan diskusi publik dengan tema "Smackdown dan Tayangan Kekerasan pada Anak" yang diselenggarakan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan di Jakarta, seperti yang termuat di situs BKKBN. Diskusi tersebut merupakan rangkaian acara peringatan Hari Ibu ke-78 yang bekerja sama dengan Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta menyatakan penghentian tayangan smackdown di televisi bukan berarti persoalan yang ada selesai. Masih banyak tayangan sejenis yang telah diputar dalam bentuk kartun ataupun bentuk kekerasan yang berlebihan lainnya. "Jenis ini justru lebih mempunyai efek jangka panjang bagi kita," katanya.
Dijelaskan Meutia, masyarakat hendaknya aktif mengkampanyekan pentingnya menghentikan kekerasan pada anak. Kampanye itu termasuk melindungi anak dari paparan negatif media.
Kurang Peka
Pembicara lain dalam diskusi, Dr Fidiansyah, spesialis kejiwaan, menyatakan berdasarkan kajian neuropsikologis, anak yang sering melihat tayangan kekerasan menjadi kurang peka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli ilmu jiwa sejak tahun 1960-an, anak-anak itu juga lebih takut menghadapi lingkungan sekitarnya. Sementara itu, Amar Ahmad dari Komisi Penyiaran Indonesia mengingatkan agar media massa yang mempunyai berbagai kepentingan juga mempunyai kontrol diri untuk menjaga dan melindungi publik dari siaran yang merusak. Kalau kontrol diri itu tidak dijalankan, maka yang diperlukan adalah regulasi.
Dia juga mengajak berbagai kalangan untuk melek media (media literacy). Dengan begitu, masyarakat dapat memilah mana tayangan yang layak untuk dilihat dan mana yang tidak. Sementara regulasi diperlukan bukan untuk mengekang media, tetapi menjaga hak anak bangsa. "Jangan sampai hak anak bangsa terinjak karena kapitalisme yang menggurita tanpa nurani," ujarnya.
Diskusi itu juga menyepakati bahwa tayangan smackdown telah membawa dampak buruk bagi anak. Telah banyak korban berjatuhan akibat tayangan tersebut, mulai dari mental hingga fisik. Beberapa anak Indonesia telah meninggal dan mengalami cacat, terkait tayangan itu.
Salah satu rekomendasi yang muncul dalam pertemuan itu adalah meminta negara mengambil sikap tegas atas maraknya tayangan kekerasan di televisi dengan mengeluarkan peraturan pemerintah. Diharapkan, aturan itu memuat larangan untuk menayangkan kekerasan dan pornografi di media. (cy)
Demikian salah satu kesimpulan diskusi publik dengan tema "Smackdown dan Tayangan Kekerasan pada Anak" yang diselenggarakan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan di Jakarta, seperti yang termuat di situs BKKBN. Diskusi tersebut merupakan rangkaian acara peringatan Hari Ibu ke-78 yang bekerja sama dengan Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta menyatakan penghentian tayangan smackdown di televisi bukan berarti persoalan yang ada selesai. Masih banyak tayangan sejenis yang telah diputar dalam bentuk kartun ataupun bentuk kekerasan yang berlebihan lainnya. "Jenis ini justru lebih mempunyai efek jangka panjang bagi kita," katanya.
Dijelaskan Meutia, masyarakat hendaknya aktif mengkampanyekan pentingnya menghentikan kekerasan pada anak. Kampanye itu termasuk melindungi anak dari paparan negatif media.
Kurang Peka
Pembicara lain dalam diskusi, Dr Fidiansyah, spesialis kejiwaan, menyatakan berdasarkan kajian neuropsikologis, anak yang sering melihat tayangan kekerasan menjadi kurang peka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan para ahli ilmu jiwa sejak tahun 1960-an, anak-anak itu juga lebih takut menghadapi lingkungan sekitarnya. Sementara itu, Amar Ahmad dari Komisi Penyiaran Indonesia mengingatkan agar media massa yang mempunyai berbagai kepentingan juga mempunyai kontrol diri untuk menjaga dan melindungi publik dari siaran yang merusak. Kalau kontrol diri itu tidak dijalankan, maka yang diperlukan adalah regulasi.
Dia juga mengajak berbagai kalangan untuk melek media (media literacy). Dengan begitu, masyarakat dapat memilah mana tayangan yang layak untuk dilihat dan mana yang tidak. Sementara regulasi diperlukan bukan untuk mengekang media, tetapi menjaga hak anak bangsa. "Jangan sampai hak anak bangsa terinjak karena kapitalisme yang menggurita tanpa nurani," ujarnya.
Diskusi itu juga menyepakati bahwa tayangan smackdown telah membawa dampak buruk bagi anak. Telah banyak korban berjatuhan akibat tayangan tersebut, mulai dari mental hingga fisik. Beberapa anak Indonesia telah meninggal dan mengalami cacat, terkait tayangan itu.
Salah satu rekomendasi yang muncul dalam pertemuan itu adalah meminta negara mengambil sikap tegas atas maraknya tayangan kekerasan di televisi dengan mengeluarkan peraturan pemerintah. Diharapkan, aturan itu memuat larangan untuk menayangkan kekerasan dan pornografi di media. (cy)
No comments:
Post a Comment