MEMILIKI kehidupan seksual yang sehat, merupakan dambaan pasangan suami istri (pasutri). Bagaimana menjaga kehangatan dan keharmonisan seiring dengan bertambahnya usia?
Fisik laki-laki dan perempuan berbeda. Demikian pula saat melakukan hubungan seksual. Laki-laki harus ereksi, sedangkan wanita tanpa ereksi pun bisa. Ternyata ereksi tidak hanya sebatas fisik, tapi berkaitan dengan unsur psikologis.
Ereksi bisa terjadi dengan adanya rangsangan, bisa melalui mata, khayalan, atau dirangsang secara fisik, seperti diraba di bagian-bagian sensitifnya. Kalau sudah terangsang, hipotalamus di otak akan mengeluarkan sekresi kelenjar-kelenjar tertentu, yang kemudian hormon-hormon memberi sinyal pada pembuluh darah di area sekitar kelamin pria. Aliran darah yang masuk membuat penis membesar dan tegang.
"Akan tetapi, kalau tidak ada perintah dari otak, maka tidak akan bisa terjadi ereksi," kata psikolog Prof Sarlito Wirawan.
Pria yang juga mengajar di Fakultas Psikologi UI itu mengungkapkan, gangguan fisik organ dan adanya penyakit seperti hipertensi dan diabetes memang bisa menjadi faktor penyebab kegagalan ereksi atau impotensi.
Penelitian yang dipublikasikan American Journal of Medicine tahun lalu juga mengemukakan bahwa sekitar 18 persen pria berusia di atas 20 tahun di Amerika mengalami DE, dan sekitar 51,3 persen pria penyandang diabetes juga mengalami kesulitan ereksi ini.
Namun, Sarlito menuturkan, temuan di lapangan mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen impotensi bersifat psikologis. "Jadi, sifatnya ada di otak. Secantik apa pun sang istri, kalau suami sudah tidak minat juga tidak mungkin terjadi ereksi," katanya.
Konsultan seksologi Dr Naek L Tobing mengemukakan bahwa masalah dalam rumah tangga timbul karena manusia senantiasa berubah. Baik itu perilaku, kebiasaan, termasuk fisik yang kian menua.
Jika kondisi fisik tidak dijaga, daya tarik makin menurun. Padahal, kata Naek, tak bisa dimungkiri hasrat dan gairah bisa berawal dari pandangan mata. Akibatnya, libido menurun dan frekuensi hubungan intim pun berkurang.
"Sampai dengan usia 25 tahun, kondisi libido sedang tinggi-tingginya. Setelah perkawinan, umumnya libido pria menurun, sedangkan perempuan justru naik," paparnya.
Adapun aspek degeneratif fisik yang terkait seks antara lain elastisitas dan pelendiran vagina yang berkurang sehingga vagina menjadi kering dan mudah lecet. Juga, menipisnya lemak di area depan vagina. Adapun pada pria, misalnya, terjadi penurunan jumlah dan kualitas sperma. Belum lagi kondisi stres dan kelelahan fisik yang bisa menimpa kedua belah pihak.
Yang perlu diketahui bahwa tingkat libido masing-masing orang berbeda. "Ada juga pasien saya yang dalam kondisi sakit, tapi dia tetap punya nafsu seks yang besar," sahut Naek.
Konon, olahraga menjadi salah satu cara terbaik untuk menjaga supaya gairah tidak padam. Seperti dikemukakan Johannes, 43, yang merasakan manfaat olahraga rutin setiap hari. Bahkan, setiap habis berolahraga, hasrat untuk berhubungan intim meninggi.
"Secapek apa pun, kalau sudah melihat istri, saya tetap bergairah," ungkapnya jujur seraya tergelak.
Terkait frekuensi hubungan intim, normalnya adalah 2-3 kali seminggu. Hal itu berhubungan dengan siklus produksi sperma pria. Berdasarkan penelitian, seorang pria mengeluarkan lebih dari 200 juta sperma saat ejakulasi. Padahal, produksi sperma per hari adalah 75 juta.
"Jadi, hubungan seks tiga hari sekali merupakan kebiasaan yang baik. Dengan frekuensi yang demikian, diharapkan otot-otot alat kelamin cukup beristirahat dan kantung sperma telah penuh, sehingga secara alami butuh pengeluaran," papar konsultan seks, Dr Boyke Dian Nugraha SpOG MARS.
Tidur cukup dan rekreasi juga berperan penting dalam menjaga potensi seks, termasuk libido. Rekreasi tak selalu bermakna jalan-jalan ke tempat wisata, melainkan juga proses relaksasi otot-otot. Sebelum tidur, cobalah kosongkan pikiran dan biarkan otot-otot berelaksasi. "Makanan tinggi protein dan kaya fosfor berhubungan erat dengan rangsangan seks," saran Boyke.
(sindo//tty)
Fisik laki-laki dan perempuan berbeda. Demikian pula saat melakukan hubungan seksual. Laki-laki harus ereksi, sedangkan wanita tanpa ereksi pun bisa. Ternyata ereksi tidak hanya sebatas fisik, tapi berkaitan dengan unsur psikologis.
Ereksi bisa terjadi dengan adanya rangsangan, bisa melalui mata, khayalan, atau dirangsang secara fisik, seperti diraba di bagian-bagian sensitifnya. Kalau sudah terangsang, hipotalamus di otak akan mengeluarkan sekresi kelenjar-kelenjar tertentu, yang kemudian hormon-hormon memberi sinyal pada pembuluh darah di area sekitar kelamin pria. Aliran darah yang masuk membuat penis membesar dan tegang.
"Akan tetapi, kalau tidak ada perintah dari otak, maka tidak akan bisa terjadi ereksi," kata psikolog Prof Sarlito Wirawan.
Pria yang juga mengajar di Fakultas Psikologi UI itu mengungkapkan, gangguan fisik organ dan adanya penyakit seperti hipertensi dan diabetes memang bisa menjadi faktor penyebab kegagalan ereksi atau impotensi.
Penelitian yang dipublikasikan American Journal of Medicine tahun lalu juga mengemukakan bahwa sekitar 18 persen pria berusia di atas 20 tahun di Amerika mengalami DE, dan sekitar 51,3 persen pria penyandang diabetes juga mengalami kesulitan ereksi ini.
Namun, Sarlito menuturkan, temuan di lapangan mengungkapkan bahwa sekitar 80 persen impotensi bersifat psikologis. "Jadi, sifatnya ada di otak. Secantik apa pun sang istri, kalau suami sudah tidak minat juga tidak mungkin terjadi ereksi," katanya.
Konsultan seksologi Dr Naek L Tobing mengemukakan bahwa masalah dalam rumah tangga timbul karena manusia senantiasa berubah. Baik itu perilaku, kebiasaan, termasuk fisik yang kian menua.
Jika kondisi fisik tidak dijaga, daya tarik makin menurun. Padahal, kata Naek, tak bisa dimungkiri hasrat dan gairah bisa berawal dari pandangan mata. Akibatnya, libido menurun dan frekuensi hubungan intim pun berkurang.
"Sampai dengan usia 25 tahun, kondisi libido sedang tinggi-tingginya. Setelah perkawinan, umumnya libido pria menurun, sedangkan perempuan justru naik," paparnya.
Adapun aspek degeneratif fisik yang terkait seks antara lain elastisitas dan pelendiran vagina yang berkurang sehingga vagina menjadi kering dan mudah lecet. Juga, menipisnya lemak di area depan vagina. Adapun pada pria, misalnya, terjadi penurunan jumlah dan kualitas sperma. Belum lagi kondisi stres dan kelelahan fisik yang bisa menimpa kedua belah pihak.
Yang perlu diketahui bahwa tingkat libido masing-masing orang berbeda. "Ada juga pasien saya yang dalam kondisi sakit, tapi dia tetap punya nafsu seks yang besar," sahut Naek.
Konon, olahraga menjadi salah satu cara terbaik untuk menjaga supaya gairah tidak padam. Seperti dikemukakan Johannes, 43, yang merasakan manfaat olahraga rutin setiap hari. Bahkan, setiap habis berolahraga, hasrat untuk berhubungan intim meninggi.
"Secapek apa pun, kalau sudah melihat istri, saya tetap bergairah," ungkapnya jujur seraya tergelak.
Terkait frekuensi hubungan intim, normalnya adalah 2-3 kali seminggu. Hal itu berhubungan dengan siklus produksi sperma pria. Berdasarkan penelitian, seorang pria mengeluarkan lebih dari 200 juta sperma saat ejakulasi. Padahal, produksi sperma per hari adalah 75 juta.
"Jadi, hubungan seks tiga hari sekali merupakan kebiasaan yang baik. Dengan frekuensi yang demikian, diharapkan otot-otot alat kelamin cukup beristirahat dan kantung sperma telah penuh, sehingga secara alami butuh pengeluaran," papar konsultan seks, Dr Boyke Dian Nugraha SpOG MARS.
Tidur cukup dan rekreasi juga berperan penting dalam menjaga potensi seks, termasuk libido. Rekreasi tak selalu bermakna jalan-jalan ke tempat wisata, melainkan juga proses relaksasi otot-otot. Sebelum tidur, cobalah kosongkan pikiran dan biarkan otot-otot berelaksasi. "Makanan tinggi protein dan kaya fosfor berhubungan erat dengan rangsangan seks," saran Boyke.
(sindo//tty)
No comments:
Post a Comment