…orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…
Siapa yang tak kenal bait lagu di atas? Lagu ini memang dinyanyikan oleh Koes Plus, namun membahana sampai generasi sekarang ini. Jadi bukan hanya milik generasi ayah ibu kita dulu.
Indonesia.. Bangsa ini dibesarkan dengan mitos-mitos. Mitos bahwa kita bangsa yang besar, dengan beribu-ribu pulau yang tersebar dari Aceh sampai Papua, dari Sabang sampai Merauke. Mitos bahwa kita adalah negara yang kaya, kaya dengan sumber daya alam (minyak bumi, emas, batu bara, nikel, timah, dst), kaya dengan keanekaragaman hayati. Mitos bahwa nenek moyang kita adalah pelaut ulung (nenek moyangku seorang pelaut, mengarung bumi belah samudra, mengejar ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa- lagu tentang pelaut), berlayar sampai Tanjung Harapan, tanah Afrika sana. Tumbuh dengan mitos zaman Majapahit, ketika Hayam Muruk dan Gajah Mada berhasil menyatukan ribuan pulau di bawah pandu Nusantara (Filipina dan Singapore masih wilayah nusantara, waktu itu). Dan yang paling hebat, mitos bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, bangsa yang senang bergotong royong, bangsa dengan toleransi yang tinggi.
Mitos..
Dibuai sedari kecil, lewat sosialisasi primer dalam keluarga, pelajaran-pelajaran sejarah di sekolah, pidato-pidato para pejabat pada perayaan hari-hari nasional, dan yang pasti, cuci otak ala Soeharto selama lebih dari 30 tahun.
Terbiasa hidup enak dan mudah, tak mau kerja keras dan menjadikan uang sebagai cara mendapatkan banyak hal.
Karena tanah kita tanah yang subur, tak perlu dipupuk tak perlu dirawat toh padi bisa tumbuh dengan sempurna (terbukti pada tahun 1983 kita mengekspor beras ke Ethiopia). Karena kita punya banyak sumber daya alam (lihat saja 1970 ketika minyak sedang bagus harganya, banyak pejabat Pertamina kaya mendadak) yang bisa menjamin hidup kita sampai tujuh turunan. Karena bangsa ini toleran terhadap banyak hal (juga terhadap korupsi, suap, main hakim sendiri).
Mitos.. membuat bodoh, membuat malas, menjadikan narciss.
Toh, ternyata kita belum jadi apa-apa.
Dewi Greenjo - Life Style
Siapa yang tak kenal bait lagu di atas? Lagu ini memang dinyanyikan oleh Koes Plus, namun membahana sampai generasi sekarang ini. Jadi bukan hanya milik generasi ayah ibu kita dulu.
Indonesia.. Bangsa ini dibesarkan dengan mitos-mitos. Mitos bahwa kita bangsa yang besar, dengan beribu-ribu pulau yang tersebar dari Aceh sampai Papua, dari Sabang sampai Merauke. Mitos bahwa kita adalah negara yang kaya, kaya dengan sumber daya alam (minyak bumi, emas, batu bara, nikel, timah, dst), kaya dengan keanekaragaman hayati. Mitos bahwa nenek moyang kita adalah pelaut ulung (nenek moyangku seorang pelaut, mengarung bumi belah samudra, mengejar ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa- lagu tentang pelaut), berlayar sampai Tanjung Harapan, tanah Afrika sana. Tumbuh dengan mitos zaman Majapahit, ketika Hayam Muruk dan Gajah Mada berhasil menyatukan ribuan pulau di bawah pandu Nusantara (Filipina dan Singapore masih wilayah nusantara, waktu itu). Dan yang paling hebat, mitos bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, bangsa yang senang bergotong royong, bangsa dengan toleransi yang tinggi.
Mitos..
Dibuai sedari kecil, lewat sosialisasi primer dalam keluarga, pelajaran-pelajaran sejarah di sekolah, pidato-pidato para pejabat pada perayaan hari-hari nasional, dan yang pasti, cuci otak ala Soeharto selama lebih dari 30 tahun.
Terbiasa hidup enak dan mudah, tak mau kerja keras dan menjadikan uang sebagai cara mendapatkan banyak hal.
Karena tanah kita tanah yang subur, tak perlu dipupuk tak perlu dirawat toh padi bisa tumbuh dengan sempurna (terbukti pada tahun 1983 kita mengekspor beras ke Ethiopia). Karena kita punya banyak sumber daya alam (lihat saja 1970 ketika minyak sedang bagus harganya, banyak pejabat Pertamina kaya mendadak) yang bisa menjamin hidup kita sampai tujuh turunan. Karena bangsa ini toleran terhadap banyak hal (juga terhadap korupsi, suap, main hakim sendiri).
Mitos.. membuat bodoh, membuat malas, menjadikan narciss.
Toh, ternyata kita belum jadi apa-apa.
Dewi Greenjo - Life Style
No comments:
Post a Comment