Lani (26) telah kunikahi selama dua tahun, pernikahan kami memang dilandasi oleh cinta. Dan menurutku Lani adalah seorang istri yang sangat kudambakan, maka segera kunikahi Lani setelah mengenalnya selama empat bulan.
Lani cukup terampil menjadi ibu rumah tangga, pilihan hidup yang memang disukainya. Lani tidak suka berkarir walaupun Lani adalah sarjana sastra dari perguruan tinggi terkenal di Jakarta. Aku menyetujui pilihan hidup Lani untuk berkarir dirumah saja sebagai ibu rumah tangga. Toh menurutku ibu rumah tangga adalah karir terhebat, karena ditangannya seluruh aspek rumah tangga termasuk anak-anak menjadi tanggung jawabnya. Luar biasa.
Memasuki bulan ke lima pernikahanku, mendadak aku dikejutkan oleh kedatangan tamu di malam hari saat kami berdua menjelang tidur. Tamu tersebut mengetuk rumah kami dengan keras, hingga aku dan Lani terperanjat dan mengira yang datang adalah perampok. Dari jendela kuintip, yang datang adalah seorang ibu bersama anak muda yang memasang muka marah kepadaku. Kubuka pintu dan kutanyakan keinginannya.
Ternyata ibu tersebut meminta pelunasan hutang Lani dan dengan setengah berteriak ibu tersebut mengancam akan mengambil barang barang di rumah kami. Lani ketakutan saat kutanya, untuk apa uang yang telah dihutangnya, Lani menangis sesenggukan dan mengatakan bahwa dia berhutang untuk membayar uang sekolah adiknya. Aku tak mampu berkata, karena semua gajiku telah kuberikan padanya.
Sebagai suami, tentu saja aku mencoba memahaminya dan meminjam uang dari perusahaan di mana aku bekerja untuk melunasi hutang Lani tersebut. Sebulan setelah peristiwa tersebut, mendadak aku dikejutkan lagi oleh seorang ibu yang pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumahku dan kembali berteriak mengancam akan mengambil barang-barang dari rumah kami, jika Lani tak melunasi hutangnya.
Kejadian tersebut berulang kali terjadi, hingga aku sangat malu terhadap tetangga di sekitarku yang tentunya sering mendengar teriakan-teriakan penagih hutang di rumahku. Lani tidak pernah kapok berhutang, dia melakukan terus menerus seperti kecanduan.
Uang hasil dari hutang dibelikannya baju, sepatu tas, kosmetik dengan merek merek terkenal. Lani hampir membuatku gila, dia tak dapat menahan dirinya untuk tidak berbelanja. Semua ingin dibelinya padahal sebagai satf karyawan perusahaan swasta, gajiku tidak seberapa. Dan semua uang gajiku ludes di tangannya dalam hitungan hari saja. Sedangkan Lani istriku bergaya bak istri pejabat dengan penampilan yang glamours. Lani lupa diri.
Berkali kali kukatakan kepada Lani untuk menyudahi ulahnya tersebut, karena satu persatu barang di rumah kami sudah kami jual sebagai pencicil hutang. Lani menangis dan mengatakan bahwa dirinya sangat menyesal dan tidak mau melakukannya lagi. Tapi ternyata semua itu hanya di mulut saja, Lani tetap berhutang, hingga aku kalap dan menampar pipinya dengan harapan Lani tersadar serta meninggalkan kebiasaan buruknya. Tapi Lani adalah Lani, yang terus saja berhutang sana sini.
Habis sudah kesabaranku hingga kukatakan kepada penagih hutang yang datang untuk mengambil semua barang di rumahku. Mulai dari kursi tamu, meja makan, televisi, mesin cuci, komputer, tempat tidur, kasur dan semua barang lainnya, hingga rumah kami kosong, yang tertinggal hanyalah debu karpet saja.
Malam itu aku tidur di lantai beralas busa gulung, dan kulihat Lani menangis semalaman hingga matanya bengkak di keesokan paginya. Saat berangkat kantor Lani kembali meminta maaf dan mengatakan bahwa ini semua adalah pelajaran mahal yang harus dibayarnya. Kukatakan bahwa aku akan menjual rumah tinggal kami, untuk mencari tempat tinggal baru dan memulai hidup baru.
Sepulang kerja, tak kutemukan Lani dirumah, hanya selembar surat yang ditujukan kepadaku, bahwa Lani pergi meninggalkanku, tidak sampai di situ. Yang membuatku terperanjat adalah ternyata surat rumah kami sudah digadaikannya kepada orang lain.
Kuburu Lani kerumah orang tuanya, ibunya mengatakan bahwa Lani sudah lama sekali tidak datang ke rumah keluarganya. Dia juga mengabarkan bahwa Lani berhutang sejumlah uang kepada ibunya. Lani memang laknat... (pw)
Lani cukup terampil menjadi ibu rumah tangga, pilihan hidup yang memang disukainya. Lani tidak suka berkarir walaupun Lani adalah sarjana sastra dari perguruan tinggi terkenal di Jakarta. Aku menyetujui pilihan hidup Lani untuk berkarir dirumah saja sebagai ibu rumah tangga. Toh menurutku ibu rumah tangga adalah karir terhebat, karena ditangannya seluruh aspek rumah tangga termasuk anak-anak menjadi tanggung jawabnya. Luar biasa.
Memasuki bulan ke lima pernikahanku, mendadak aku dikejutkan oleh kedatangan tamu di malam hari saat kami berdua menjelang tidur. Tamu tersebut mengetuk rumah kami dengan keras, hingga aku dan Lani terperanjat dan mengira yang datang adalah perampok. Dari jendela kuintip, yang datang adalah seorang ibu bersama anak muda yang memasang muka marah kepadaku. Kubuka pintu dan kutanyakan keinginannya.
Ternyata ibu tersebut meminta pelunasan hutang Lani dan dengan setengah berteriak ibu tersebut mengancam akan mengambil barang barang di rumah kami. Lani ketakutan saat kutanya, untuk apa uang yang telah dihutangnya, Lani menangis sesenggukan dan mengatakan bahwa dia berhutang untuk membayar uang sekolah adiknya. Aku tak mampu berkata, karena semua gajiku telah kuberikan padanya.
Sebagai suami, tentu saja aku mencoba memahaminya dan meminjam uang dari perusahaan di mana aku bekerja untuk melunasi hutang Lani tersebut. Sebulan setelah peristiwa tersebut, mendadak aku dikejutkan lagi oleh seorang ibu yang pagi-pagi sekali sudah bertamu ke rumahku dan kembali berteriak mengancam akan mengambil barang-barang dari rumah kami, jika Lani tak melunasi hutangnya.
Kejadian tersebut berulang kali terjadi, hingga aku sangat malu terhadap tetangga di sekitarku yang tentunya sering mendengar teriakan-teriakan penagih hutang di rumahku. Lani tidak pernah kapok berhutang, dia melakukan terus menerus seperti kecanduan.
Uang hasil dari hutang dibelikannya baju, sepatu tas, kosmetik dengan merek merek terkenal. Lani hampir membuatku gila, dia tak dapat menahan dirinya untuk tidak berbelanja. Semua ingin dibelinya padahal sebagai satf karyawan perusahaan swasta, gajiku tidak seberapa. Dan semua uang gajiku ludes di tangannya dalam hitungan hari saja. Sedangkan Lani istriku bergaya bak istri pejabat dengan penampilan yang glamours. Lani lupa diri.
Berkali kali kukatakan kepada Lani untuk menyudahi ulahnya tersebut, karena satu persatu barang di rumah kami sudah kami jual sebagai pencicil hutang. Lani menangis dan mengatakan bahwa dirinya sangat menyesal dan tidak mau melakukannya lagi. Tapi ternyata semua itu hanya di mulut saja, Lani tetap berhutang, hingga aku kalap dan menampar pipinya dengan harapan Lani tersadar serta meninggalkan kebiasaan buruknya. Tapi Lani adalah Lani, yang terus saja berhutang sana sini.
Habis sudah kesabaranku hingga kukatakan kepada penagih hutang yang datang untuk mengambil semua barang di rumahku. Mulai dari kursi tamu, meja makan, televisi, mesin cuci, komputer, tempat tidur, kasur dan semua barang lainnya, hingga rumah kami kosong, yang tertinggal hanyalah debu karpet saja.
Malam itu aku tidur di lantai beralas busa gulung, dan kulihat Lani menangis semalaman hingga matanya bengkak di keesokan paginya. Saat berangkat kantor Lani kembali meminta maaf dan mengatakan bahwa ini semua adalah pelajaran mahal yang harus dibayarnya. Kukatakan bahwa aku akan menjual rumah tinggal kami, untuk mencari tempat tinggal baru dan memulai hidup baru.
Sepulang kerja, tak kutemukan Lani dirumah, hanya selembar surat yang ditujukan kepadaku, bahwa Lani pergi meninggalkanku, tidak sampai di situ. Yang membuatku terperanjat adalah ternyata surat rumah kami sudah digadaikannya kepada orang lain.
Kuburu Lani kerumah orang tuanya, ibunya mengatakan bahwa Lani sudah lama sekali tidak datang ke rumah keluarganya. Dia juga mengabarkan bahwa Lani berhutang sejumlah uang kepada ibunya. Lani memang laknat... (pw)
No comments:
Post a Comment