Anggota keluarga saya sehari-harinya jarang bertemu. Kami punya kesibukan masing-masing dan jadwal setiap orang bertabrakan dengan yang lainnya. Jadi untuk mengompensasi rendahnya frekuensi pertemuan, di setiap ada waktu luang kami manfaatkan untuk berkumpul bersama. Biasanya sih makan-makan, sekalian nodong Papa untuk menraktir. Kan sehari-hari kami sudah berhemat ria.
Beberapa waktu lalu, kami berakhir pekan di Bandung. Siangnya kami menjelajah daerah Tubagus Ismail menuju Kantin Sakinah. Sempat bingung karena kakak perempuan saya hanya mengandalkan serpihan ingatan dari informasi yang ia tonton di televisi. Untungnya ada teman yang di saat-saat terakhir bisa memberikan petunjuk arah yang lebih jelas.
Sampailah kami di Kantin Sakinah dan memesan Mie Ayam. Begitu kami datang suasana langsung jadi ‘rusuh’. Maklum, dengan ponakan kembar tiga yang sedang aktif ingin tahu ini-itu kami memang sudah seperti rombongan sirkus. Akhirnya satu per satu mulai makan. Suami kakak saya, Papa, dan Mama masing-masing makan sambil mengurusi satu anak. Sementara saya dan dua orang kakak asyik menyantap hidangan tanpa gangguan.
Perasaan sih saya makan dengan cepat, tapi memang tidak ada yang bisa mengalahkan kecepatan Papa dalam hal makan. Menurut saya, Papa saat itu makan dua kali lipat lebih cepat dari biasanya karena ada cucu-cucunya yang menggoda minta diajak main. Jadilah ia meninggalkan meja entah lebih dulu dan hilang entah kemana. Kami pun segera menyelesaikan makan karena ingin istirahat sebelum acara keluarga di malam hari.
Dihitung-hitung setidaknya masing-masing kami cuma mengeluarkan Rp10.000,- sudah dengan minum di tempat itu. Waktu membayar dan melangkah keluar ternyata Papa saya sedang asyik nongkrong dengan seorang pemusik jalanan sambil tertawa-tawa melihat cucunya asyik bergoyang mengikuti irama lagu. Kami pun nyengir dan langsung berteriak mengajak pergi.
Lantas saya melihat Papa merogoh saku celananya, pasti mau ngasih recehan ke pengamen. Saya sudah siap-siap merogoh dompet mencari koin limaratus perak. Tetapi saya cuma melongo melihat Papa dengan sigap mengambil dompet dan mengulurkan selembar Rp 20.000,- kepada pengamen tersebut dlalu beranjak pergi sambil senyum-senyum. tmn
Beberapa waktu lalu, kami berakhir pekan di Bandung. Siangnya kami menjelajah daerah Tubagus Ismail menuju Kantin Sakinah. Sempat bingung karena kakak perempuan saya hanya mengandalkan serpihan ingatan dari informasi yang ia tonton di televisi. Untungnya ada teman yang di saat-saat terakhir bisa memberikan petunjuk arah yang lebih jelas.
Sampailah kami di Kantin Sakinah dan memesan Mie Ayam. Begitu kami datang suasana langsung jadi ‘rusuh’. Maklum, dengan ponakan kembar tiga yang sedang aktif ingin tahu ini-itu kami memang sudah seperti rombongan sirkus. Akhirnya satu per satu mulai makan. Suami kakak saya, Papa, dan Mama masing-masing makan sambil mengurusi satu anak. Sementara saya dan dua orang kakak asyik menyantap hidangan tanpa gangguan.
Perasaan sih saya makan dengan cepat, tapi memang tidak ada yang bisa mengalahkan kecepatan Papa dalam hal makan. Menurut saya, Papa saat itu makan dua kali lipat lebih cepat dari biasanya karena ada cucu-cucunya yang menggoda minta diajak main. Jadilah ia meninggalkan meja entah lebih dulu dan hilang entah kemana. Kami pun segera menyelesaikan makan karena ingin istirahat sebelum acara keluarga di malam hari.
Dihitung-hitung setidaknya masing-masing kami cuma mengeluarkan Rp10.000,- sudah dengan minum di tempat itu. Waktu membayar dan melangkah keluar ternyata Papa saya sedang asyik nongkrong dengan seorang pemusik jalanan sambil tertawa-tawa melihat cucunya asyik bergoyang mengikuti irama lagu. Kami pun nyengir dan langsung berteriak mengajak pergi.
Lantas saya melihat Papa merogoh saku celananya, pasti mau ngasih recehan ke pengamen. Saya sudah siap-siap merogoh dompet mencari koin limaratus perak. Tetapi saya cuma melongo melihat Papa dengan sigap mengambil dompet dan mengulurkan selembar Rp 20.000,- kepada pengamen tersebut dlalu beranjak pergi sambil senyum-senyum. tmn
No comments:
Post a Comment