Jangan pernah meleng mengawasi anak. Bahkan, orang-orang yang dekat dengan anak Anda pun tetap harus diwaspadai. Angka kejahatan terhadap anak melonjak. Sebagian pelakunya justru orang dekat!
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat, selama 2007 jumlah kasus sodomi adalah yang terbanyak di antara kasus kejahatan anak lainnya seperti penculikan dan perdagangan anak.
Dari 1.992 kasus kejahatan terhadap anak yang masuk ke Komnas Anak, 1.160 atau 61,8% adalah kasus sodomi anak. Dari 2007 sampai akhir Maret 2008, jumlah kasus sodomi anak meningkat signifikan: 50%.
Ironisnya, pelaku kejahatan terhadap anak biasanya justru orang dekat yang memang sudah amat dikenal si anak. Guru les menempati urutan teratas. Les apa saja. Berikutnya adalah supir pribadi. Terakhir, ini yang lebih mengerikan, adalah guru sekolah dan bahkan orangtuanya sendiri!
Komnas Anak juga melaporkan, dari 1.520 kasus kekerasan terhadap anak, kekerasan seksual mencapai 237 kasus dengan 59% adalah sodomi, 28% perkosaan, 10% percabulan, 3% incest.
Dari sisi pelaku, 6,05% kasus kekerasan seksual terhadap anak justru dilakukan ayah kandung, 4,98% ayah tiri, 29% tetangga, dan 19,2% sesama anak.
Di Indonesia, kasus sodomi-homoseksual terhadap anak mulai dikenal setelah Robot Gedek mempeloporinya, kemudian populer dan jadi tren dalam kurun 1994-1996.
Berlanjut pada kasus Pekanbaru, Riau, pada 2003-2006, yaitu pencabulan oleh Peter W Smith, seorang warga Australia yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Korbannya lebih dari 50 anak jalanan.
Kasus demi kasus lain terjadi, tapi tak muncul ke permukaan mulai. Yang pasti, daftar korban luka dan trauma kejiwaan terus memanjang.
Sodomi sendiri adalah hubungan seksual melalui anal atau dubur dan bisa terjadi pada kaum homoseksual ataupun biseksual. Sodomi erat hubungannya dengan sejarah homoseksual di berbagai belahan dunia.
Seperti kisah dalam kitab suci yang sering dijadikan rujukan awal munculnya hubungan seks homoseksual (Sodom dan Gomora), yang meliputi hubungan seksual lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan, lelaki muda dengan lelaki tua, perempuan muda dengan perempuan tua.
Di Indonesia, pada abad 17 sudah ada cikal bakal perilaku homoseksual. Menurut catatan Centhini, perilaku anal seksual antara Bupati Wirasaba dan Mas Cebolang alias Mas Ngali kerap terjadi.
Cebolang, bahkan, kemudian sering melakukannya terhadap santri-santrinya sebelum bersembahyang menjelang pagi. Perilaku itu jadi hal yang biasa saja saat itu.
Di Yunani berkembang hal serupa, terutama pada zaman Socrates yang kemudian berkembang terus hingga 1860-an.
Menurut pakar ilmu seksual Dr Boyke Nugraha, hubungan seksual melalui anal berdampak buruk terhadap kesehatan. Sebab, dubur adalah sarang dari beragam bakteri yang bersifat patogan, yang dikeluarkan dari tubuh bersama feses.
“Sodomi atau berhubungan intim dengan penetrasi melalui dubur berpotensi memasukkan kembali kuman-kuman itu ke dalam tubuh,” kata Boyke.
Sodomi, lanjut Boyke, juga berpotensi besar menimbulkan berbagai penyakit 'aneh' dan berbahaya seperti hepatitis C, HIV-AIDS. Hal ini telah terbukti secara jelas melalui temuan penelitian dari pakar kesehatan di luar negeri.
Ketua Umum Komnas Anak Seto Mulyadi mengatakan, bila ditelaah dengan pendekatan makro, penyebab dari tingginya kasus sodomi anak adalah stres para pelaku karena kacaunya sistem nilai sosial.
“Kedua sistem nilai yang kacau ini menyebabkan krisis identitas, pemacu stres di tengah memburuknya kondisi ekonomi riil masyarakat. Jadi, saling berkait dan rumit satu dengan yang lain,” jelas Seto.
Merosotnya perhatian dan waktu orangtua terhadap anak juga memicu tingginya tingkat kejahatan terhadap anak.
Menurut sejumlah penelitian, orangtua yang makin tidak punya waktu akan cenderung jadi pembicara ketimbang pendengar. Setiap kali anak bicara, orangtua tujuh kali bicara. Akibatnya, anak lebih dekat dengan orang dewasa lain yang dianggap mau jadi pendengar yang baik.
“Banyak orangtua berkilah, yang penting kualitas pertemuan dan perhatian anak, bukan kuantitasnya. Itu tidak benar. Saya menilai, itu cuma pembelaan ego orangtua,” tandas Seto.
Untuk menghindari kasus sodomi anak, Seto mengingatkan orang tua agar mau belajar jadi pendengar yang baik. Dengan begitu, anak jadi lebih dekat dengan orangtua dan orangtua pun makin mengenal kesulitan-kesulitan anak.
Lebih lanjut Seto mengimbau agar masyarakat membangun sistem nilai yang lebih terbuka, pasti, punya pijakan kuat, dan dasar kemanusiaan yang universal.
Bila orangtua memahami peranannya lebih baik, lalu sistem dalam masyarakat dapat berfungsi untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang yang mengancam anak, bisa dipastikan anak bakal tumbuh sehat fisik maupun psikis, dan terutama memenuhi harapan orangtua. joy
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat, selama 2007 jumlah kasus sodomi adalah yang terbanyak di antara kasus kejahatan anak lainnya seperti penculikan dan perdagangan anak.
Dari 1.992 kasus kejahatan terhadap anak yang masuk ke Komnas Anak, 1.160 atau 61,8% adalah kasus sodomi anak. Dari 2007 sampai akhir Maret 2008, jumlah kasus sodomi anak meningkat signifikan: 50%.
Ironisnya, pelaku kejahatan terhadap anak biasanya justru orang dekat yang memang sudah amat dikenal si anak. Guru les menempati urutan teratas. Les apa saja. Berikutnya adalah supir pribadi. Terakhir, ini yang lebih mengerikan, adalah guru sekolah dan bahkan orangtuanya sendiri!
Komnas Anak juga melaporkan, dari 1.520 kasus kekerasan terhadap anak, kekerasan seksual mencapai 237 kasus dengan 59% adalah sodomi, 28% perkosaan, 10% percabulan, 3% incest.
Dari sisi pelaku, 6,05% kasus kekerasan seksual terhadap anak justru dilakukan ayah kandung, 4,98% ayah tiri, 29% tetangga, dan 19,2% sesama anak.
Di Indonesia, kasus sodomi-homoseksual terhadap anak mulai dikenal setelah Robot Gedek mempeloporinya, kemudian populer dan jadi tren dalam kurun 1994-1996.
Berlanjut pada kasus Pekanbaru, Riau, pada 2003-2006, yaitu pencabulan oleh Peter W Smith, seorang warga Australia yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Korbannya lebih dari 50 anak jalanan.
Kasus demi kasus lain terjadi, tapi tak muncul ke permukaan mulai. Yang pasti, daftar korban luka dan trauma kejiwaan terus memanjang.
Sodomi sendiri adalah hubungan seksual melalui anal atau dubur dan bisa terjadi pada kaum homoseksual ataupun biseksual. Sodomi erat hubungannya dengan sejarah homoseksual di berbagai belahan dunia.
Seperti kisah dalam kitab suci yang sering dijadikan rujukan awal munculnya hubungan seks homoseksual (Sodom dan Gomora), yang meliputi hubungan seksual lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan, lelaki muda dengan lelaki tua, perempuan muda dengan perempuan tua.
Di Indonesia, pada abad 17 sudah ada cikal bakal perilaku homoseksual. Menurut catatan Centhini, perilaku anal seksual antara Bupati Wirasaba dan Mas Cebolang alias Mas Ngali kerap terjadi.
Cebolang, bahkan, kemudian sering melakukannya terhadap santri-santrinya sebelum bersembahyang menjelang pagi. Perilaku itu jadi hal yang biasa saja saat itu.
Di Yunani berkembang hal serupa, terutama pada zaman Socrates yang kemudian berkembang terus hingga 1860-an.
Menurut pakar ilmu seksual Dr Boyke Nugraha, hubungan seksual melalui anal berdampak buruk terhadap kesehatan. Sebab, dubur adalah sarang dari beragam bakteri yang bersifat patogan, yang dikeluarkan dari tubuh bersama feses.
“Sodomi atau berhubungan intim dengan penetrasi melalui dubur berpotensi memasukkan kembali kuman-kuman itu ke dalam tubuh,” kata Boyke.
Sodomi, lanjut Boyke, juga berpotensi besar menimbulkan berbagai penyakit 'aneh' dan berbahaya seperti hepatitis C, HIV-AIDS. Hal ini telah terbukti secara jelas melalui temuan penelitian dari pakar kesehatan di luar negeri.
Ketua Umum Komnas Anak Seto Mulyadi mengatakan, bila ditelaah dengan pendekatan makro, penyebab dari tingginya kasus sodomi anak adalah stres para pelaku karena kacaunya sistem nilai sosial.
“Kedua sistem nilai yang kacau ini menyebabkan krisis identitas, pemacu stres di tengah memburuknya kondisi ekonomi riil masyarakat. Jadi, saling berkait dan rumit satu dengan yang lain,” jelas Seto.
Merosotnya perhatian dan waktu orangtua terhadap anak juga memicu tingginya tingkat kejahatan terhadap anak.
Menurut sejumlah penelitian, orangtua yang makin tidak punya waktu akan cenderung jadi pembicara ketimbang pendengar. Setiap kali anak bicara, orangtua tujuh kali bicara. Akibatnya, anak lebih dekat dengan orang dewasa lain yang dianggap mau jadi pendengar yang baik.
“Banyak orangtua berkilah, yang penting kualitas pertemuan dan perhatian anak, bukan kuantitasnya. Itu tidak benar. Saya menilai, itu cuma pembelaan ego orangtua,” tandas Seto.
Untuk menghindari kasus sodomi anak, Seto mengingatkan orang tua agar mau belajar jadi pendengar yang baik. Dengan begitu, anak jadi lebih dekat dengan orangtua dan orangtua pun makin mengenal kesulitan-kesulitan anak.
Lebih lanjut Seto mengimbau agar masyarakat membangun sistem nilai yang lebih terbuka, pasti, punya pijakan kuat, dan dasar kemanusiaan yang universal.
Bila orangtua memahami peranannya lebih baik, lalu sistem dalam masyarakat dapat berfungsi untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang yang mengancam anak, bisa dipastikan anak bakal tumbuh sehat fisik maupun psikis, dan terutama memenuhi harapan orangtua. joy
No comments:
Post a Comment