Percayalah apapun yang anda ucapkan kepada anak anda, akan berpengaruh kepadanya.
Kadang tanpa disadari kita telah melakukan kekerasan terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak yang sering luput dari kesadaran orangtua adalah kekerasan verbal atau kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata.
Kata-kata kepada anak yang bermakna melecehkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti si anak, memberikan julukan negatif kepada anak, dan memberikan kesan bahwa si anak tidak diharapkan akan memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan anak dan dapat mempengaruhi citra diri mereka.
Menurut DR Susan Forward dalam bukunya Toxic Parents, kekerasan secara verbal disampaikan melalui dua gaya. Yang pertama menyerang anak secara langsung, terbuka, dan secara jahat merendahkan si anak. Gaya kedua, disampaikan secara tidak langsung, seperti dengan bercanda tetapi sangat menghinakan dan melecehkan mereka.
Jika orangtua bilang si anak jelek dan bodoh, ia percaya dirinya betul-betul jelek dan bodoh. Karena itu, tidak mudah bagi mereka jika diharapkan mampu membedakan apakah ucapan ayah dan ibunya itu serius atau hanya bercanda.
Kekerasan fisik maupun verbal, bukanlah cara yang tepat dalam mendidik anak, kata DR Forward. Ia bahkan menyebut “kejam”, jika ada orangtua yang tahu bahwa anak-anak sangat percaya pada ucapannya, tetapi tetap mengucapkan hal-hal yang dapat melukai perasaan anak.
Ucapan-ucapan bernada menghina dan merendahkan itu akan direkam dalam pita memori anak, makin lama makin bertambah dan dirasa berat, sehingga akhirnya anak memiliki citra diri negatif.
Citra diri yang negatif itu di kemudian hari menyebabkan anak tidak mampu tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri. Anak akan memiliki rasa malu yang kuat, bersikap ragu-ragu, dan lebih suka menarik diri dari pergaulan.
Pada anak yang lain, citra diri negatif tersebut bahkan dapat membentuknya tumbuh sebagai pribadi pemberontak, kasar, bodoh, jorok, lamban, pengacau, dan sebagainya.
Nah, jika orangtua mengharapkan anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang baik, sehat, cerdas, berbudi luhur, tentu kata-kata, sikap, dan perilaku orangtua pun harus sesuai dengan harapan tersebut.
Kadang, memang ada saatnya orangtua berada dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Jika anda mengalami kondisi tersebut, menghindarlah dari anak anda.
Buang jauh-jauh kata-kata jahat yang mungkin keluar dari mulut anda. Sembunyikanlah wajah muram dari pandangan polos buah hati anda.
Mudah-mudahan, apapun bentuk kekerasan dalam rumah tangga, hanya hadir sebagai wacana dalam Ruang Keluarga kita. wpl
Kadang tanpa disadari kita telah melakukan kekerasan terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak yang sering luput dari kesadaran orangtua adalah kekerasan verbal atau kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata.
Kata-kata kepada anak yang bermakna melecehkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti si anak, memberikan julukan negatif kepada anak, dan memberikan kesan bahwa si anak tidak diharapkan akan memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan anak dan dapat mempengaruhi citra diri mereka.
Menurut DR Susan Forward dalam bukunya Toxic Parents, kekerasan secara verbal disampaikan melalui dua gaya. Yang pertama menyerang anak secara langsung, terbuka, dan secara jahat merendahkan si anak. Gaya kedua, disampaikan secara tidak langsung, seperti dengan bercanda tetapi sangat menghinakan dan melecehkan mereka.
Jika orangtua bilang si anak jelek dan bodoh, ia percaya dirinya betul-betul jelek dan bodoh. Karena itu, tidak mudah bagi mereka jika diharapkan mampu membedakan apakah ucapan ayah dan ibunya itu serius atau hanya bercanda.
Kekerasan fisik maupun verbal, bukanlah cara yang tepat dalam mendidik anak, kata DR Forward. Ia bahkan menyebut “kejam”, jika ada orangtua yang tahu bahwa anak-anak sangat percaya pada ucapannya, tetapi tetap mengucapkan hal-hal yang dapat melukai perasaan anak.
Ucapan-ucapan bernada menghina dan merendahkan itu akan direkam dalam pita memori anak, makin lama makin bertambah dan dirasa berat, sehingga akhirnya anak memiliki citra diri negatif.
Citra diri yang negatif itu di kemudian hari menyebabkan anak tidak mampu tumbuh sebagai pribadi yang percaya diri. Anak akan memiliki rasa malu yang kuat, bersikap ragu-ragu, dan lebih suka menarik diri dari pergaulan.
Pada anak yang lain, citra diri negatif tersebut bahkan dapat membentuknya tumbuh sebagai pribadi pemberontak, kasar, bodoh, jorok, lamban, pengacau, dan sebagainya.
Nah, jika orangtua mengharapkan anak-anak tumbuh sebagai pribadi yang baik, sehat, cerdas, berbudi luhur, tentu kata-kata, sikap, dan perilaku orangtua pun harus sesuai dengan harapan tersebut.
Kadang, memang ada saatnya orangtua berada dalam kondisi emosi yang tidak stabil. Jika anda mengalami kondisi tersebut, menghindarlah dari anak anda.
Buang jauh-jauh kata-kata jahat yang mungkin keluar dari mulut anda. Sembunyikanlah wajah muram dari pandangan polos buah hati anda.
Mudah-mudahan, apapun bentuk kekerasan dalam rumah tangga, hanya hadir sebagai wacana dalam Ruang Keluarga kita. wpl
No comments:
Post a Comment