Foto: Suhendra/detikFinance
Mendengar kata peti mati, mungkin banyak sebagian orang akan merinding dibuatnya. Maklum saja, benda yang satu ini identik dengan dunia alam kubur yang menyeramkan.
Padahal secara kebutuhan, peti mati menjadi bagian terpenting bagi sebagian masyarakat penganut kepercayaan tertentu dan umum untuk digunakan untuk perlengkapan pemakaman.
Sehingga tidak heran, masih banyak orang yang menjajal keberuntungannya mengelola bisnis penjualan peti mati.
Seperti Ridwan atau Coa Pian Wah yang sudah menjalankan bisnis peti mati melalui ayahnya sejak tahun 1950-an. Sebagai generasi kedua, kini Ridwan masih meneruskan usaha ayahnya agar tetap langgeng.
Ia mengibaratkan berbisnis peti mati seperti membangun usaha bisnis semi sosial karena selain ia harus meraup untung dari keluarga yang ditinggalkan ia juga harus memberikan empatinya. Bahkan sesekali ia juga tidak segan-segan memberikan peti mati secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.
Diakuinya permintaan peti mati tidak dapat diprediksi setiap tahunnya, meskipun saat ini tren penggunaan peti bagi sebagian masyarakat kepercayaan tertentu cenderung meningkat. Sehingga ia yakin usaha peti mati akan selalu berkibar sepanjang tahun.
"Sejak dulu saya fokus pada usaha peti jenazah dan perlengkapan kematian, permintaannya susah dikira-kira, tapi biasanya menjelang lebaran setiap tahun permintaan naik, saya juga nggak tahu kenapa seperti itu," ucapnya kepada detikFinance, Minggu (1/2/2009).
Melalui gerainya di kawasan Tangerang, ia menjajakan macam-macam jenis peti mati dengan berbagai ukuran, model, jenis kayu dan lain-lain, bahkan peti mati ukuran anak kecil pun ia sediakan.
Untuk jenis peti mati tradisional standar dewasa dengan bahan kayu jati ia menjualnya dikisaran Rp 15 juta sedangkan untuk model Eropa dijual dikisaran Rp 7 juta lengkap dengan perlengkapan rumah-rumahan, mobil-mobilan khusus bagi penganut tradisi Tionghoa ditambah prosesi pemakaman. Sedangkan untuk ukuran anak-anak (1/2 atau 3/4) ia menjualnya dengan harga di bawah Rp 7 juta.
Ridwan menjelaskan, untuk tenaga kerja di bisnis ini relatif sedikit karena ia hanya membutuhkan satu orang tukang untuk mengerjakan pembuatan peti termasuk mengukirnya dan mengecatnya. Sedangkan untuk peti jenis Eropa, sengaja ia datangkan khusus dari Jepara Jawa Tengah.
"Sekarang ini memang, banyak orang membeli peti dengan harga murah, mungkin karena krisis," selorohnya.
Ridwan mengatakan penjualan peti mati tidak bisa diprediksi. Namun jika dirata-rata, setiap tahunnya ia mampu membukukan penjualan hingga puluhan peti mati, termasuk untuk jenis Eropa maupun peti mati tradisional Tionghoa.
"Orang-orang Tionghoa yang generasi moderen memang lebih senang pakai model Eropa, tapi kalau di kampung-kampung masih senang pakai tradisional," jelasnya.
Untuk jenis peti mati tradisional Tionghoa dari kayu jati, ia memperkirakan daya tahannya bisa mencapai 20 tahun lebih terpendam dalam tanah sedangkan untuk jenis kayu biasa yang sering dipakai pada model-model Eropa hanya bertahan selama 10 tahunan.
Untuk bisa nyemplung dibisnis ini, kata Ridwan, bukan hanya modal yang diperlukan, tetapi perlu kesabaran karena selain memerlukan jaringan pertemanan yang luas bisnis ini lebih pada bisnis kepercayaan, terutama bagi keluarga yang sudah memakai jasa penjualan peti mati dan proses pemakaman sebelumnya.
Diakuinya untuk bisa menggaet pembeli, selain mengandalkan jaringan perorangan ia juga tak jarang bekerjasama dengan beberapa rumah duka di kawasan Tangerang dan sekitarnya.
"Memang keuntungan kita tidak banyak, paling-paling 20% dari penjualan," katanya.
Mengenai konsumennya, ia mengatakan hingga kini sudah tersebar bukan hanya di kawasan Tangerang saja namun sudah banyak dari kawasan Jakarta, Bekasi, Karawang dan lain-lain. Ia dengan bangga mengatakan pernah menjual peti mati untuk salah satu orang terkaya yang dimakamkan dekat kawasan pemakaman super mewah di lokasi Karawang
"Peti mati selalu dibutuhkan orang, buktinya sejak dulu bisnis saya tetap jalan," tukasnya.
No comments:
Post a Comment