"Dengan mengajak anak-anak berdemo, secara tanpa sadar PKS telah mengajarkan perilaku kekerasan dan kebencian kepada anak," tandas Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (13/1) malam.
Bertumpu pada perilaku politik itu, Komnas PA juga menuding PKS telah jelas-jelas melanggar UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Dia mempertanyakan mengapa demo PKS kemarin membiarkan anak-anak membakar atribut, melempari, dan meneriakkan istilah-istilah kekerasan.
Pembiaran itu dikhawatirkan akan membangun perilaku kekerasan. "Kenapa tidak anak-anak dididik untuk mengirim surat pada anak-anak korban Palestina, mengirim surat ke UNICEF untuk segera membantu anak-anak Palestina? Bukan menanamkan perilaku kebencian," tegasnya.
Menyinggung rencana Komnas Perlindungan Anak kepada Bawaslu atas demosntrasi PKS ini, Arist mengatakan pihaknya masih terus mengevaluasi kasus ini. "Nanti hari Jumat mendatang baru kita menyatakan sikap," katanya.
Pengaduan ke Bawaslu itu, tambah Arist, sifatnya bukan laporan, tetapi memberi masukan supaya Bawaslu juga memanfaatkan UU Perlindungan Anak No 23/2002 pasal 42 yang menyebutkan bahwa tiap orang atau korporasi dilarang melibatkan anak dalam kegiatan politik.
"Langkah kita ini supaya KPU dan Bawalsu, agar tidak menggunakan UU Pemilu dalam kasus ini, tapi juga menggunakan UU Perlindungan Anak," katanya.
Menguraikan pelanggaran yang dilakukan PKS, Arist mencontoh adanya penggunaan atribut partai seperti ikat kepala pada anak-anak serta membawa bendera partai di kalangan anak. "Itu semua kan kegiatan politik, meski itu dibungkus untuk aksi kemanusian?" katanya.
Aktivitas politik yang melibatkan anak-anak, katanya, akan berdampak negative. Antara lain dapat mengancam keselamatan anak, misalnya ketika mereka disertakan orangtuanya naik sepeda motor. Selain itu, dalam konteks psikologis, demo bagi anak-anak mungkin dianggap hanya sebagai hiburan. “Tetapi kalau dibiarkan, akan mengancam jiwa mereka,” kata Arist.
"Secara psikologis, ini akan menganggu psikologisnya. Karena pendidikan politik tidak seperti itu, tapi melalui proses dialogis, dimulai dari rumah bukan dari jalanan," tambah Arist. [P1]
No comments:
Post a Comment