multi info, hiburan, pengetahuan, dan aneka informasi

Menkeu Sri Mulyani Selingkuh !

Active Image Tidak mudah mencari jawab “misteri” perselingkuhan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Berkali-kali minta waktu untuk wawancara tidak pernah dijawab. Demikian juga, pesan singkat yang dikirim, bleng, tak ada respons. Namun, perjuangan tak pernah sia-sia. Itu terbukti, setelah berlama-lama mengejar “sang primadona” Dana Moneter Internasional (IMF) ini, akhirnya berjumpa juga. Sayang, “Kembang Manis Kabinet SBY” bakhil berkomentar. Yang terjadi justru melecehkan. Ketika ditanya, “Anda berselingkuh dengan IMF…?,” spontan ia menjawab dengan pertanyaan sinis, “Anda dari mana?” Expand! Rupanya ia tak menyukai pengungkapan fakta perselingkuhannya dengan lembaga IMF tersebut. Wajahnya memerah. Ia merampas ID Card milik Muhamad Haries dari Expand. Tanpa sadar ia membuangnya.

Kisah ‘intim’ Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati dengan pengusaha pemilik Medco Arifin Panigoro, adalah sepotong misteri. Di lumpur cinta itu, ada syahwat kekuasaan yang membara. Namun yang lebih ‘hot’, selain dengan Arifin yang hitam manis, Sri Mulyani juga tak kalah bernafsu menjalin asmara dengan sejumlah lembaga internasional.

Sehari setelah Amerika dilanda badai krisis ekonomi, ia dan Gubernur Bank Indonesia, Boediono buru-buru terbang ke markas Dana Moneter Internasional (IMF) di Amerika. Tindakan kedua loyalis IMF ini sempat membuat Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berang.

Berita media masa yang melansir kepergian Sri Mulyani dan Boediono untuk mengikuti rapat tertutup dengan IMF, dengan cepat mengundang reaksi keprihatinan publik di tanah air. Sejumlah pihak bahkan menilai tindakan Sri Mulyani dan Boediono ‘’jelas sangat tidak etis dan patut dicurigai’’.

Kedekatannya dengan (IMF) dan World Bank sudah menjadi rahasia umum. Lantaran kemesraan ini pula, Menteri yang biasa disapa Mbak Ani, menuai berbagai kritik di tanah air. Ia dituding sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemodal asing untuk menggarong potensi keuangan dan ekonomi Indonesia.

Kebijakannya hanya terpusat pada penyelamatan indikator-indikator ekonomi makro yang condong berpihak pada kepentingan investor asing secara tidak adil. Namun, pendekatan yang banyak menuai reaksi perlawanan publik di tanah air, justru menempatkan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia versi Emerging Market Forum dan Majalah Euro Money. Sebuah penghargaan yang dinilai agak mengejutkan dilihat dari prestasi ekonomi Indonesia yang memble belakangan ini.

Belum lama ini, salah satu majalah Internasional, Forbes, mengatrol pamor Sri Mul-yani di posisi ke-23 sebagai perempuan berpengaruh dunia. Ia mengalahkan popularitas Ratu Inggris Elizabet II, Hillary Clinton, Oprah Winfrey serta sejumlah tokoh dunia lainnya. Bahkan lebih khusus di belantara Asia, Sri Mulyani nongkrong diperingkat ketiga.

Kecurigaan atas kiprah Mbak Ani yang dekat dengan pers ini bukan pepesan kosong. Menurut pengamat ekonomi Revrisond Baswir, Sri Mulyani suka bermain dengan pencitraan di media asing. Cara inilah yang membuatnya pede untuk mengelabui orang banyak.

Wanita kelahiran Tanjung Karang, 26 Agustus 1962 ini, memang menjadi feno-menal. Ia memiliki setumpuk prestasi yang gemilang. Kiprahnya sudah teruji di birokrasi dan lembaga internasional. Kurang dari empat tahun, tiga jabatan menteri disandangnya, setelah menjadi konsultan di USAID dan Executive Director IMF.

Namun terhadap Mbak Ani, belakangan muncul keraguan terutama seputar prinsip neoliberalisme ekonomi yang dilakoninya. Publik terkesima dengan penampilan dan retorikanya. “Padahal terbukti tidak memberikan perubahan yang konkret bagi pemulihan ekonomi nasional,” kata Revrisond.

Kebijakan menaikkan harga BBM yang secara rata-rata lebih dari 100 persen membuat daya beli masyarakat turun drastis. Beberapa industri padat karya seperti industri logam, kulit, kayu, dan sepatu banyak tutup karena tidak ada demand (permintaan).

Pengangguran meningkat tajam. Jumlah orang miskin semakin bertambah dan pertumbuhan ekonomi pun tak sesuai harapan.
Ia juga ngotot agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak mengaudit Direktorat Jenderal Pajak. Upaya memandulkan peran BPK tersebut, dinilai sebagian kalangan “Sri Mulyani tidak transparan dan terindikasi berupaya melindungi manipulator pajak.

Kasus penghadangan BPK di Ditjen Pajak tak berbeda dengan Ditjen Bea dan Cukai. Lembaga yang dinahkodai Anwar Suprijadi yang dikenal dekat dengan Mbak Ani juga menumpuk kasus- kasus besar yang belum diungkap KPK.

Proteksi atas Bea dan Cukai tentu, memiliki maksud yang tidak lepas dari upaya Mbak Ani melindungi ‘aktivitas hitam’ saudagar asing di sejumlah pelabuhan strategis di tanah air. Sebut saja, mulai dari praktek importasi jutaan ponsel haram bernilai puluhan triliun, Serat Kabel Optik telekomunikasi, masih maraknya penyelundupan tekstil hingga penyalahgunaan fasilitas Gudang Berikat, disinyalir menjadi ‘mainan ilegal’ Mbak Ani secara kasat mata.

**

Pengamat ekonomi yang dikenal anti ke¬bijakan IMF dan utang luar negeri Rizal Ramli menilai, Sri Mulyani dan koleganya di tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) sebagai otak penghancur tatanan ekonomi nasional.

Melalui saluran telepon kepada Expand, Rizal Ramli menyampaikan Sri Mulyani sama sekali tidak memiliki rasa kebangsaan dan semangat untuk memajukan ekonomi Indonesia.

Sepak terjang Sri Mulyani harus diwaspadai dalam pemerintahan SBY. “Mereka jelas-jelas mengusung agenda ekonomi yang pro asing dan bertujuan memiskinkan bangsanya sendiri,’’ujar Rizal Ramli.

Ia mengamati arah kebijakan ekonomi pemerintahan SBY telah tersandera oleh kelompok neo liberalisme yang dimotori Sri Mulyani. “Stabilitas ekonomi nasional bakal hancur dan kita sedang memasuki halaman krisis nasional yang sangat berbahaya,” ujar Rizal Ramli.

Tudingan Rizal Ramli bukan tanpa alasan. Mantan Menko Perokonomian pada era pemerintahan Abdurahman Wahid ini bahkan mensinyalir ambruknya bursa saham dan rupiah yang bertengger di atas Rp13.000 per dolar Amerika, adalah bukti kegagalan Tim Ekonomi SBY.

Ada upaya konspirasi antek-antek asing yang bercokol di Kabinet SBY untuk menghancurkan perekonomian nasional. “Dengan demikian agar neokolonialis (IMF dan Bank Dunia) dapat kembali masuk dan menjajah negeri ini,” tegas Rizal Ramli.

Pengamat senior ekonomi ini, berkali-kali mengingatkan pemerintah khususnya tim ekonomi SBY agar meninggalkan prilaku sebagai ‘budak asing’. Namun sarannya tak digubris. Sri Mulyani dan koleganya bahkan jauh hari telah menyiapkan mesin public relation yang kapan saja dapat menghadang para pengkritik yang ada di luar sistem pemerintahan.

Melalui akses jaringan media asing, lembaga riset domestik dan konsultan asing yang berada di belakang Sri Mulyani dan koleganya, dengan mudah presiden dan para pemimpin politik berhasil dipengaruhi.

Selanjutnya, untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dengan arahan IMF–Bank Dunia-USAID, para kaki tangan asing ini merumuskan penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri.

Dengan mekanisme seperti ini, kepenting¬an nasional Indonesia dijamin menjadi sub ordinasi kepentingan global. Artinya, Indonesia untuk menjadi negara besar di Asia tidak akan pernah terealisasikan. Mekanisme me¬ng¬aitkan utang luar negeri dengan penyusunan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah “memungkinkan adanya intervensi kepenting¬an global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia,” jelas Rizal.

Watak bawaan neokolonialisme yang dimainkan Sri Mulyani dan Boediono, sampai saat ini masih berkiblat pada Washington Consensus. Padahal perlu dicatat bahwa dalam satu dekade terakhir, Bank Dunia dan IMF yang merupakan ‘Tuan’ dari kebijakan ekonomi neoliberal telah mengakui berbagai kesalahannya.

Dalam berbagai kesempatan, Bank Dunia dan IMF menyatakan bahwa liberalisasi keuangan yang terlalu cepat telah meningkatkan kemungkinan suatu negara terkena krisis. Dalam publikasi terakhir Bank Dunia tentang ekonomi Asia Timur (An East Asian Renaissance: Ideas for Growth, 2007),

Bank Dunia juga mengakui bahwa pemerintah harus mengambil suatu tindakan untuk mengoreksi ketidaksempurnaan pasar, terutama dengan berupaya meningkatkan skala industri domestik. Dengan kata lain, menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar dianggap bukan lagi merupakan pendekatan yang tepat dalam kebijakan ekonomi.

Namun Sri Mulyani, Boediono dan kroninya masih terus saja menggunakan pemahaman atau semboyan lama bahwa kegagalan pemerintah lebih buruk daripada kegagalan pasar. Dan menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar, mereka juga seakan-akan telah melindungi negara dari kepentingan dan intervensi kelompok ‘vested interest’. Padahal fakta sesungguhnya adalah Sri Mulyani dan kroni-kroninya merupakan representasi dari kepentingan ‘vested interest’ ekonomi dan finansial yang menonjol dari ‘Tuan’ mereka di Washington.

Rizal Ramli menyakini, pendekatan Sri Mulyani dan kroni-kroninya itu, sangat mustahil dapat mengantarkan Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara Asia lainnya. “Modus operandi neoliberalisme yang berlandaskan prinsip subordinasi dan kepatuhan global, sangat tidak cocok dengan iklim Indonesia saat ini,’’ tegasnya.

***

Direktur Eksekutif, Komite Anti Manipulasi Pajak dan Aset Rakyat Indonesia (KAMPARI), Royke Bagalatu SH, merespon kegagalan tim ekonomi Pemerintahan SBY-JK akibat adanya praktek ‘premanisme keuangan negara’. Prilaku premanisme keuangan negara dimaksud terkait dengan berbagai kebijakan yang sama sekali terbukti tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

Ditambahkannya, kondisi keuangan dan ekonomi yang makin amburadul saat ini adalah bukti bahwa Plt. Menko Perekonomian gagal mengemban amanah. “Ia hanya mulut besar dan jago kritik tapi tidak bisa berbuat apa - apa,’’ ujar Bagalatu.

Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) ini mengancam akan menggalang aksi massa ke rumah dinas Sri Mulyani dan koleganya. “Kami akan membawa ribuan korban PHK ke rumah Plt. Menko Perekonomian. Mereka adalah korban langsung dari dampak kebijakan yang dilakukan Tim Ekonomi SBY,’’ tegasnya.

Ia juga menyarankan agar pemerintah dan DPR segara melakukan antisipasi krisis secara cepat melalui pembentukan Presidium Penyelamatan Ekonomi Nasional (PPEN). “Lembaga seperti ini perlu dihadirkan agar pemerintah SBY tidak terlalu jauh terjebak dengan retorika kosong tim ekonomi yang saat ini sudah terbukti gagal menangani krisis,’’ jelas Bagalatu, jebolan Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado

sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2844455&page=2

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive