Legitimasi Pemerintah, HAM, dan Penegakan Hukum Membaik
INDONESIA menduduki peringkat ke-60 negara gagal versi majalah AS, Foreign Policy (FP). Dengan demikian, Indonesia berhasil memperbaiki peringkatnya. Dalam The Failed States Index 2007 yang dikeluarkan FP, Indonesia duduk di peringkat ke-55. Demikian laporan rutin FP yang bekerja sama dengan The Fund for Peace, edisi Juli/Agustus 2008.
Kegagalan sebuah negara, kata laporan itu, tidak mutlak berada di tangan pemimpinnya. Akan tetapi, merupakan kegagalan bangsa yang mencakup semua elemen negara.
Indonesia yang berada dalam garis batas negara gagal, posisinya lebih baik dibandingkan dengan negara ASEAN lain seperti Filipina. Tahun 2007, Filipina duduk di peringkat ke-56, namun pada 2008 Filipina menempati posisi ke-59.
Negara Asia lainnya seperti Myanmar, Laos, Kamboja, Timor Leste, Korea Utara, Srilanka, Irak, dan Iran, posisinya masih tak jauh beranjak. Kecuali Laos. Semula, Laos masuk peringkat negara gagal berbahaya. Kini, seperti Indonesia, Laos berada di garis batas negara gagal dan stabil (grey area). Sementara itu, Iran meski tetap berada di grey area, peringkatnya merosot dari posisi ke-57 pada tahun lalu, masuk ke posisi 49 tahun ini.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 177 negara di dunia, FP menggunakan 12 indikator. Di antaranya meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, dan militer. Indikator politik termasuk kekuatan legitimasi negara, pengaruh elite politik (penguasa), dan intervensi negara luar. Negara gagal dalam laporan ini diasumsikan sebagai sebuah negara yang kehilangan kontrol atas negaranya sendiri, monopoli militer, rendahnya legitimasi kekuasaan untuk membuat keputusan kolektif, tidak mampu memenuhi harapan publik, dan tidak mampu berinteraksi dengan negara lain dalam komunitas internasional.
Berdasarkan survei yang dilakukan dari Mei hingga Desember 2007 itu, kawasan Sub-Sahara Afrika masih menempati posisi paling kritis. Tujuh dari sepuluh negara paling kritis berada di kawasan Sub-Sahara Afrika, empat diantaranya di peringkat lima besar. Somalia berada di posisi pertama, diikuti Sudan dan Zimbabwe.
Dalam laporan itu terlihat, intervensi AS banyak berakibat pada gagalnya sebuah negara. Negara-negara yang mengalami intervensi AS seperti Irak, Iran, dan Israel, masuk dalam deretan 60 negara gagal.
Berbeda dengan Iran dan Irak yang sudah empat tahun tergabung dalam daftar negara gagal, untuk pertama kalinya Israel masuk dalam kategori negara gagal.
Dua negara yang unik dan tak bisa luput dari perhatian adalah Bangladesh dan Pakistan. Kedua negara tersebut memberi kontribusi besar pada PBB dengan selalu terlibat dalam menciptakan perdamaian dunia. Kedua negara tak pernah absen terlibat dalam misi pasukan perdamaian PBB. Namun, kondisi keamanan dalam negeri mereka sendiri justru karut-marut. Bangladesh disibukkan berbagai kerusuhan akibat penundaan pemilihan yang menyebabkan deadlock pemerintahan.
Sementara Pakistan kecolongan karena tewasnya mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto. Memelihara perdamaian di internasional memang projek nasional yang mengesankan, tapi menjaga perdamaian di rumah sendiri adalah hal yang utama.
Mujur
Nasib Indonesia tahun ini memang sedikit mujur. Berkurangnya total bobot kegagalan dalam laporan tersebut di antaranya terjadi karena membaiknya legitimasi pemerintah, HAM, dan kinerja aparat dalam menegakkan hukum. Sebutlah dalam bidang pemberantasan korupsi, penjagaan stabilitas keamanan, dan dibukanya angin segar bagi investor. Penggunaan sistem neoliberal yang masih kontroversial pascakrisis menjadi salah satu penggeliat kehidupan ekonomi Indonesia.
Hal itu terbukti dari pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para buruh dan diplomat Indonesia baru-baru ini yang semakin menjelaskan posisi pemerintah. Dalam dua pertemuan tersebut, Presiden mengungkapkan betapa pentingnya mengajak para investor untuk masuk ke Indonesia. Membaiknya kondisi Indonesia juga karena mulai berkurangnya (walau sedikit) tekanan para penguasa (elite politik).
Meski laporan tersebut mungkin akurat, namun pembaca tetap harus kritis. Mengingat independensi FP pun tetap harus menjadi bahan pertimbangan kita dalam menelaah hasil penelitian mereka.
Piiran Rakyat
INDONESIA menduduki peringkat ke-60 negara gagal versi majalah AS, Foreign Policy (FP). Dengan demikian, Indonesia berhasil memperbaiki peringkatnya. Dalam The Failed States Index 2007 yang dikeluarkan FP, Indonesia duduk di peringkat ke-55. Demikian laporan rutin FP yang bekerja sama dengan The Fund for Peace, edisi Juli/Agustus 2008.
Kegagalan sebuah negara, kata laporan itu, tidak mutlak berada di tangan pemimpinnya. Akan tetapi, merupakan kegagalan bangsa yang mencakup semua elemen negara.
Indonesia yang berada dalam garis batas negara gagal, posisinya lebih baik dibandingkan dengan negara ASEAN lain seperti Filipina. Tahun 2007, Filipina duduk di peringkat ke-56, namun pada 2008 Filipina menempati posisi ke-59.
Negara Asia lainnya seperti Myanmar, Laos, Kamboja, Timor Leste, Korea Utara, Srilanka, Irak, dan Iran, posisinya masih tak jauh beranjak. Kecuali Laos. Semula, Laos masuk peringkat negara gagal berbahaya. Kini, seperti Indonesia, Laos berada di garis batas negara gagal dan stabil (grey area). Sementara itu, Iran meski tetap berada di grey area, peringkatnya merosot dari posisi ke-57 pada tahun lalu, masuk ke posisi 49 tahun ini.
Dalam survei yang dilakukan terhadap 177 negara di dunia, FP menggunakan 12 indikator. Di antaranya meliputi bidang sosial, ekonomi, politik, dan militer. Indikator politik termasuk kekuatan legitimasi negara, pengaruh elite politik (penguasa), dan intervensi negara luar. Negara gagal dalam laporan ini diasumsikan sebagai sebuah negara yang kehilangan kontrol atas negaranya sendiri, monopoli militer, rendahnya legitimasi kekuasaan untuk membuat keputusan kolektif, tidak mampu memenuhi harapan publik, dan tidak mampu berinteraksi dengan negara lain dalam komunitas internasional.
Berdasarkan survei yang dilakukan dari Mei hingga Desember 2007 itu, kawasan Sub-Sahara Afrika masih menempati posisi paling kritis. Tujuh dari sepuluh negara paling kritis berada di kawasan Sub-Sahara Afrika, empat diantaranya di peringkat lima besar. Somalia berada di posisi pertama, diikuti Sudan dan Zimbabwe.
Dalam laporan itu terlihat, intervensi AS banyak berakibat pada gagalnya sebuah negara. Negara-negara yang mengalami intervensi AS seperti Irak, Iran, dan Israel, masuk dalam deretan 60 negara gagal.
Berbeda dengan Iran dan Irak yang sudah empat tahun tergabung dalam daftar negara gagal, untuk pertama kalinya Israel masuk dalam kategori negara gagal.
Dua negara yang unik dan tak bisa luput dari perhatian adalah Bangladesh dan Pakistan. Kedua negara tersebut memberi kontribusi besar pada PBB dengan selalu terlibat dalam menciptakan perdamaian dunia. Kedua negara tak pernah absen terlibat dalam misi pasukan perdamaian PBB. Namun, kondisi keamanan dalam negeri mereka sendiri justru karut-marut. Bangladesh disibukkan berbagai kerusuhan akibat penundaan pemilihan yang menyebabkan deadlock pemerintahan.
Sementara Pakistan kecolongan karena tewasnya mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto. Memelihara perdamaian di internasional memang projek nasional yang mengesankan, tapi menjaga perdamaian di rumah sendiri adalah hal yang utama.
Mujur
Nasib Indonesia tahun ini memang sedikit mujur. Berkurangnya total bobot kegagalan dalam laporan tersebut di antaranya terjadi karena membaiknya legitimasi pemerintah, HAM, dan kinerja aparat dalam menegakkan hukum. Sebutlah dalam bidang pemberantasan korupsi, penjagaan stabilitas keamanan, dan dibukanya angin segar bagi investor. Penggunaan sistem neoliberal yang masih kontroversial pascakrisis menjadi salah satu penggeliat kehidupan ekonomi Indonesia.
Hal itu terbukti dari pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para buruh dan diplomat Indonesia baru-baru ini yang semakin menjelaskan posisi pemerintah. Dalam dua pertemuan tersebut, Presiden mengungkapkan betapa pentingnya mengajak para investor untuk masuk ke Indonesia. Membaiknya kondisi Indonesia juga karena mulai berkurangnya (walau sedikit) tekanan para penguasa (elite politik).
Meski laporan tersebut mungkin akurat, namun pembaca tetap harus kritis. Mengingat independensi FP pun tetap harus menjadi bahan pertimbangan kita dalam menelaah hasil penelitian mereka.
Piiran Rakyat
No comments:
Post a Comment