Akhir Juni 2008, PT. Abdi Bangsa Tbk (ABBA) menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Bagi setiap perusahaan, RUPS merupakan suatu keharusan untuk bisa revitalisasi perusahaan. Demikian pula yang dilakukan ABBA sebagai pemilik Harian Umum Republika yang pendirian awalnya dimotori sejumlah tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang notabene visi dan misinya lebih kurang sebagai media massa cetak harian berbentuk koran yang menyuarakan aspirasi umat Islam sebagai tuan rumah di negeri ini.
Sudah sunnatullah, setiap apa-apa yang hendak meninggikan kalimah Allah, mendakwahkan kebenaran, berjuang demi tegaknya al’haq, dan melawan kebathilan, selalu saja diintai oleh musuh-musuh Alah SWT agar bisa dihancurkan atau dimandulkan perjuangannya. Demikian pula HU Republika.
RUPS akhir Juni kemarin selain membahas pengembangan konsep e-newspaper, berita online, dan layanan berita mobile, sebagai antisipasi perkembangan teknologi informasi di abad millenium, ternyata juga menampilkan wajah-wajah baru yang duduk dalam jajaran Dewan Komisaris ABBA, seperti KH. Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym dan mantan Pemimpin Kantor Berita Antara, Asro Kamal Rokan. Yang mengejutkan adalah masuknya CEO The Independent News Media Group (INM) Gavin O’Reilly dalam jajaran Dewan Komisaris ABBA. Orang yang satu ini layak untuk dikritisi. Siapa sebenarnya Gavin O’Reilly?
Pengusaha Yahudi Kaya
Gavin O’Reilly adalah salah satu anak dari Milyader Yahudi Irlandia bernama Sir Anthony O’Reilly yang masuk dalam daftar 288 Pengusaha Yahudi Terkaya Dunia versi Jew Watch . Keluarga milyarder ini terhimpun dalam Yayasan O’Reilly yang bergerak di berbagai bidang, antara lain mendukung pengembangan Jewish Studies .
Sir Anthony O’Reilly yang merupakan pendiri INM menempatkan anaknya, Gavin O’Reilly, sebagai ‘watchdog’ di jajaran Dewan Komisaris ABBA dengan nilai saham yang dikuasainya sebesar 20%, sebuah angka yang tidak kecil. Sekilas tentang Sir Anthony O’Reilly dan Gavin O’Reilly bisa kita simak di wikipedia.
Dalam percaturan perekonomian global yang dikomandani sistem kapitalistik, sesungguhnya amat wajar siapa pun bisa menguasai atau menjadi bagian perusahaan apa pun. Sekat-sekat geografis suatu negara tidak lagi menjadi soal. Hanya saja, HU Republika yang dikenal selama ini sebagai “media massa milik umat Islam Indonesia” yang harusnya memiliki ideologi dakwah Islam dan tidak menghalalkan segala cara terkesan aneh bin janggal jika mau-maunya menerima seorang milyader Yahudi menjadi salah satu anggota dewan komisarisnya. Umat Islam Indonesia patut bertanya, “Ada apa dengan HU Republika?” (rz/eramuslim)
No comments:
Post a Comment