A. DEFENISI
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang menular mengenai saluran nafas bagian bawah yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
B. ETIOLOGI
Penyebab TB paru adalah mycobacterium tuberculosis, meupakan kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3 – 0,6/Um. Bersifat tahan asam terhadap pewarnaan (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant dan tertidur lama selama beberapa tahun.
C. CARA PENULARAN
Sumber penulatran adalah penderita TB positif pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar dalam beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya.
Daya penularan seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut dan daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS.
D. TANDA DAN GEJALA.
Sistem Respirasi Umum
+++ Batuk> 3 hari ++ Penurunan BB
+++ Sputum ++ Demam dan berkeringat
++ Batuk darah + Malaise
+ Nyeri dada + Hilang nafsu makan
+ Sesak nafas
+ wheezing lokal
+ sering influenza
(banyaknya (+) menggambarkan gejala yang penting).
E. PENGOBATAN TB PARU
Kategori obat berdasarkan Program Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menggunakan panduan OAT dengan 3 kategori sbb :
Jenis obat : Isoniazid (H), Ripampisin ®, Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan stereptomicin (S).
Tahap Pengobatan | Lama Pengobatan | H @ 300 mg | R @ 450 mg | Z @ 1500 mg | E @ 250 mg | E @ 500 mg | S Inj (gr) | Jumlah obat |
Kategori 1 Intensif (dosis harian) | 2 bulan | 1 | 1 | 3 | 3 | - | - | 60 |
Tahap lanjutan (3x seminggu) | 4 bulan | 2 | 1 | - | - | - | - | 54 |
Kategori 2 Intensif (dosis harian) | 2 bulan 1 bulan | 1 1 | 1 1 | 3 3 | 3 3 | - - | 0,75 - | 60 30 |
Tahap lanjutan (3x seminggu) | 5 bulan | 2 | 1 | - | 1 | 2 | - | 66 |
Kategori 3 Intensif (dosis harian) | 2 bulan | 1 | 1 | 3 | - | - | - | 60 |
Tahap lanjutan (3x seminggu) | 4 bulan | 2 | 1 | - | - | - | - | 54 |
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah dan dosis tepat selama 6-8 bulan semua kuman dapat terbunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya saat perut kosong dan habis dalam waktu 1 jam. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari selama 2 bulan (2 HRZE) dan diawasi. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan, penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Obat diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).
EFEK OBAT.
KHASIAT
Isoniazid (INH) memiliki efek bakterisida pada mikrobakteria yang tumbuh cepat selama awal masa pengobata.
Rifampisin dapat mengeliminasi basil semi dormant yang menunjukkan gejolak metabolisme selama beberapa jam
Pirazinamid bekerja hanya pada pH 5,5 atau kurang dan efektif dalam mengeliminasi basil yang bekerja lambat pada lingkungan intra maupun ekstraselluler yang bersuasana asam. Ripampisin dan Pirazinamid memiliki efek sterilitas yaitu membunuh kuman yang pertumbuhannya lambat. Dengan pemberian obat setiap hari selama 2 bulan memungkinkan untuk mengurangi masa pengobatan menjadi 6 bulan.
Ethambuthol bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat.
EFEK SAMPING
· Isoniazid ; sering terjadi gangguan hati dan susunan syaraf. Jarang mengakibatkan hepatoitis, neuritis perifer. Efek samping lain berupa sakit kepala, kejang, anemia, sindrom rematik, rash, mengantuk, mulut terasa kering, gangguan buang air kecil dan gangguan gastrointestinal
· Rifampisin ; kadang-kadang hepatitis, reaksi kulit, gangguan gastrointestinal, trombositopenia, influenza dan jarang terjadi anemia hemolitik, GGA, demam dan sindrom shock.
· Pirazinamid ; bisa terjadi anoreksi, mual, kemerahan pada kulit. Kadang-kadang hepatitis, muntah, artralghia, ruam kulit, gout akut.
· Etambuthol ; Kadang-kadang atralghia dan jarang terjadi hepatitis, hipersensitif kulit, neuropati perifer. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah toksisitas oluker yang tergantung pada dosis dan lamanya pengobatan. Efek samping lain berupa reaksi anafilaksis, pruritus, dermatitis, anoreksia, nyeri abdomen, demam, nyeri sendi, mual, muntah dan lain-lain.
INDIKASI
- Untuk penderita TB paru yang baru yang belum pernah menelan OAT atau pernah selama < 1 bulan dengan hasil BTA(+) sebanyak 2 kali atau 3 kali pemeriksaan sputum
- Untuk penderita TB paru dengan BTA(-)/ Rontgent (+) yang sakit berat dan ekstra paru berat.
KONTRA INDIKASI
· Hipersensitif terhadap rifampisin, INH dan pirazinamid atau ethambuthol
· Penderita hepatitis, kerusakan hati yang berat, neuritis optik, gangguan ginjal, epilepsi alkoholisme kronik.
· Anak dengan berat badan < 30 kg.
EVALUASI PENGOBATAN
Klinis
Biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan.
Bakteriologis
Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan, sputum BTA (+) mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrolsputum BTA sekali sebulan atau akhir bulan ke-2, 4, 6. Penderita yang memakai panduan obat 8 bulan maka diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5 dan 8.
Radiologi
Evaluasi radiologi diperlukan untuk menilai kemajuan pengobatan. Walaupun sebenarnya perubahan gambaran radiologi tidak secepat perunahan bakteriologis, evaluasi poto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Yoga. (1994). Tuberkulosis paru; masalah dan penanggulangannya. Jakarta; UI-Press
Crofton, Horne & Miller. (2002). Tuberkulosis Klinis. Edisi 2. Jakarta; Widya Medika.
Depkes RI. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Depkes.
Basril, Asril. (2001). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Alsagaf, Hood. (1989). Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
No comments:
Post a Comment