Setelah Undang-undang anti pornografi diresmikan, beberapa penari erotis ditangkap polisi, karena dianggap melakukan aksi porno di depan publik. Dan inilah pertanyaan yang kita hadapi: bagaimana dengan germo yang mempekerjakan mereka? Bukankah para bos empunya bisnis ini yang jauh lebih kaya dan lebih berkuasa? Bukankah beberapa gadis kadang terseret dalam dunia ini, karena tekanan ekonomi, bujukan dan bahkan ancaman? Mengapa para perempuan itu yang ditangkap sedangkan para dalang di belakangnya dibiarkan hidup tenteram?
Memang, menyalahkan perempuan sebagai sumber “mala petaka” dalam seks bukan hal baru. Lebih-lebih lagi, perempuanlah yang sering dituding sebagai pembangkit birahi, seakan sumber masalah adalah perempuan itu sendiri.
Dan bila perempuan membela diri, terkadang mala petaka yang dihadapi. Pada tanggal 23 Maret 2005, misalnya, terdapat kisah tentang seorang gadis Bengkulu yang telah mengalami percobaan pemerkosaan. Perempuan ini dengan beraninya mempertahankan diri, tapi malah dijadikan tersangka karena pembelaan dirinya.
Beginilah cerita singkatnya: Pada hari Jum’at tanggal 11 Maret 2005, tak lama sesudah korban keluar rumah untuk mengambil daun pisang, pelaku membekap mulut korban dan menyeret korban sampai ke kebun. Pelaku lalu melepaskan baju korban yang mencoba melarikan diri namun terjatuh dan langsung ditangkap oleh pelaku. Si korban berusaha menyelamatkan diri dengan menebas pelaku tersebut dengan pisau yang dia pakai untuk memotong daun pisang.
Polresta Bengkulu Utara menyatakan bahwa korban adalah juga tersangka kasus aniaya. Karena itulah si korban harus mendekam dalam penjara walaupun “penganiayaan” tersebut sama sekali tak direncanakan dan merupakan pembelaan diri semata. Namun, beginilah sistem di negeri kita. Dalam kasus-kasus pemerkosaan ataupun pelecehan seksual, bila perempuan tidak cukup membela diri, masyarakat akan mencurigai bahwa si perempuan dengan sukarela menghendaki hubungan seksual tersebut. Bila sang perempuan membela diri seperti yang dilakukan oleh perempuan belia dari Bengkulu ini, dakwaanlah yang harus dihadapi. Penyudutan perempuan seperti inilah yang seringkali mendorong pemerkosaan terjadi.
Memang, menurut persepsi masyarakat kita, pelecehan seksual dan pemerkosaan adalah persoalan seks. Karena itulah “hasrat seksual” dipermasalahkan dalam Undang-undang baru ini. Tetapi, pelecehan seksual dan pemerkosaan lebih merupakan masalah kekerasan dan dominasi daripada masalah seks semata. Pemerkosaan biasanya tidak dilakukan hanya untuk memuaskan birahi. Pemicu pemerkosaan hampir selalu disertai keinginan pelaku untuk memperlihatkan dominasi. Bila birahi seksual tidak disertai keinginan ini, aktifitas seksual tidak akan menjadikan partner sebagai korban, namun sebagai pihak yang menyetujui adanya hubungan tersebut. Hubungan menjadi mutual, indah dan sejajar (bagaimanapun birahinya kedua belah pihak ini). Yang menjadi masalah adalah ketika birahi tidak disertai rasa hormat sehingga tidak mengindahkan apakah si pasangan menghendaki hubungan tersebut atau tidak.
Karena itulah, pemerkosaan dan pelecehan seksual banyak terjadi pada tempat dimana derajat antara lelaki dan perempuan begitu berbeda, dimana suara perempuan jarang didengar. Pelecehan, pemerkosaan, penjualan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan banyak didapati di negara-negara yang belum memperhatikan hak-hak perempuan. Sebaliknya, di negara-negara yang lebih terbuka akan seksualitas dan birahi namun derajat perempuan lebih dihargai, pelecehan terhadap perempuan seringkali jauh lebih rendah. Di Jepang, misalnya, pada awal tahun 1970-an, saat tata krama pergaulan antar sex amat dibatasi sehingga senda gurau antara lelaki dan perempuan yang bukan keluarga atau suami istri dianggap tabu, tercatat adanya 5464 pelaku pemerkosaan. Namun, pada tahun 1995, ketika pergaulan antar lawan jenis dan ekspresi seksualitas lebih terbuka, hanya ada 1160 pelaku yang dilaporkan. Padahal, pada tahun 1995, perempuan Jepang lebih mempunyai kepercayaan diri untuk mengadu kepada polisi bila mereka menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan daripada tahun 1970-an.
Kurangnya penghargaan terhadap perempuanlah yang seringkali menjerumuskan perempuan sebagai alat pemuas lelaki dan menjadikan seks bukan lagi hubungan mutual yang dinikmati dan disetujui oleh perempuan, namun sebagai alat kontrol. Ideologi negeri kita tampaknya masih mendukung situasi seperti ini. Lelaki yang dianggap sebagai kepala keluarga. Lelaki yang memulai hubungan asmara, karena perempuan yang menunjukkan rasa tertarik pada pria biasanya dicap murahan. Lelaki yang biasanya mengambil inisiatif dan mempunyai kekuasaan materi. Hal ini memanjakan lelaki dengan kontrol berlimpah dan menyebabkan adanya keinginan dari lelaki untuk semakin mendominasi hubungan seksual: penolakan perempuan sama dengan penghinaan yang harus dibalas dengan kekerasan. Mitos-mitos lainpun bermunculan: “Tidak” dari seorang perempuan berarti “Ya”; perempuan lebih menikmati hubungan seksual bila dipaksa; aktifitas seksual perempuan disebut sebagai pelayanan.
Begitu meresapnya ideologi yang mendukung pemerkosaan dalam budaya kita ini, sampai-sampai pencegahan pelecehan seksual dan pemerkosaan yang dicanangkan pemerintah justru secara tidak langsung makin memicu merajalelanya pelecehan seksual pada perempuan.
Undang-undang pornografi, mendefinisikan pornografi sebagai obyek yang membangkitkan hasrat seksual. Ini artinya, bila seorang perempuan bajunya dinilai seksi dan membangkitkan gairah seksual, maka perempuan ini dapat disalahkan. Jadi, bila ada orang yang memasak rendang begitu enak dan membuat tetangganya ngiler lalu si tukang masak inilah yang bersalah. Bukankah si pemasak yang membangkitkan “hasrat” tetangganya?
Dengan menyalahkan obyek pembangkit hasrat (yang biasanya perempuan), pelaku pelecehan seksual dan perkosaan akan mendapat angin. Persepsi bahwa korban pemerkosaan adalah perempuan penggoda akan berlanjut. Menjadikan tubuh perempuan sebagai sumber tuduhan adalah faktor yang dapat mendorong eksploitasi perempuan. Hal ini sering tidak ada kaitannya dengan ekspresi seksualitas perempuan yang terbuka. Bagaimanapun tertutupnya cara berpakaian perempuan tidaklah mempengaruhi berkurangnya pelecehan seksual ataupun pemerkosaan. Di Saudi Arabia yang perempuannya diharuskan memakai gaun yang menutupi aurat mereka, angka pemerkosaan jauh lebih tinggi daripada di beberapa negara lain yang perempuannya berpakaian terbuka. Berapa TKW kita yang telah mengalami pelecehan seksual dan perkosaan di Saudi Arabia?
Namun di tempat yang sama pada abad ke-18 dan 19, ketika keterbukaan seksual bangsa Arab sempat mencengangkan orang Eropa, pemerkosaan pada perempuan juga tidak separah sekarang. Bahkan hal ini sempat membuat penulis Itali, Rudolph Valentino, sempat membuat catatan khusus tentang keterbukaan seksualitas mereka dibandingkan dengan orang Eropa.
Karena itu, sekali lagi, pelecehan dan pemerkosaan adalah masalah kekerasan dan perendahan derajat perempuan daripada masalah seksualitas semata. Tidak seimbangnya kedudukan antara lelaki dan perempuanlah yang dapat mendorong kriminalitas ini terjadi. Mungkin pemerintah sudah seharusnya lebih memperhatikan pendidikan, derajat, dan tingkat ekonomi perempuan daripada cara berpakaian mereka. (Beberapa bagian dari artikel ini telah dimuat di Kompas, 16 Mei 2005).
Tentang penulis:
Soe Tjen Marching, pengajar di SOAS - University of London, salah satu pendiri TK- SD- SMP Mandala di Jln Putro Agung, Surabaya. Email: smarching@yahoo.com
No comments:
Post a Comment