multi info, hiburan, pengetahuan, dan aneka informasi

MLM, Dibenci Tapi Sekaligus Dirindukan !

Survei SWA tentang multilevel marketing menghasilkan sejumlah temuan menarik bagi konsumen ataupun pengelola bisnis tersebut. Mau tahu apa saja?

Jumat, pukul 19.00 WIB, akhir bulan lalu. Di Ballroom Plaza Bapindo, Jakarta, Joko memaki-maki secara tak terkendali sahabat lamanya, Harmanda. Pangkal kemarahan Joko bukan masalah salah paham, melainkan ia merasa dikibuli Harmanda. Seminggu sebelumnya, karyawan sebuah perusahaan sekuritas itu diajak Harmanda menghadiri pertemuan dengan kawan-kawan Harmanda di Plaza Bapindo.

“Kami ada proposal bisnis baru dan melibatkan you. Saya harap you bersedia,” begitu ajak Harmanda kepada Joko. Sebagai sahabat, Joko tentu saja tak menolaknya, apalagi ada embel-embel ”akan diajak membahas proposal bisnis baru yang melibatkannya”. Ia percaya saja. Dalam bayangannya, ia akan diajak Harmanda mendirikan usaha baru, atau setidaknya dilibatkan dalam proyek tertentu.

Namun, alangkah kesalnya Joko malam itu ketika dalam pertemuan dengan teman-teman Harmanda, alih-alih diajak berbicara pendirian usaha baru, ternyata ia justru ditawari (diprospek) menjadi anggota (downliner) sebuah perusahaan multilevel marketing (MLM) untuk kalangan eksekutif, tempat Harmanda dkk. lebih dulu bergabung. Joko marah bukan kepalang. Ia merasa dibohongi. Joko mencak-mencak karena merasa hubungan persahabatannya dengan Harmanda — yang tulus dan berlangsung sejak mereka kecil — tiba-tiba berantakan gara-gara dikomersialisasi dengan model bisnis MLM. Kejengkelannya memuncak karena sejak lama dirinya, keluarga dan teman-teman kantornya memang tak suka dengan model bisnis MLM yang dinilainya hanya menguntungkan mereka yang berada di level atas (upliner). Baginya, fungsi downliner tak lebih hanya sebagai pasar itu sendiri karena diharuskan membeli produk.

Joko tak sendirian. Kita memang tak bisa menafikan, sebagian masyarakat negeri ini belum sepenuhnya mempersepsi secara positif bisnis MLM. Banyak orang yang alergi begitu mendengar kata MLM. MLM tak lebih dari pekerjaan membujuk saudara, sanak keluarga, kawan dekat dan tetangga, untuk membeli produk perusahaan MLM tempat seseorang menjadi anggota. Mereka yang antipati terhadap MLM menilai bahwa memasuki bisnis itu hanya mengomersialisasi hubungan personal yang tulus yang telah terjalin, demi kepentingan perusahaan MLM. Wajar bila menurut survei internal SWA, 19% responden mempersepsi MLM sebagai sesuatu yang ”buruk”, dan yang mempersepsi sebagai sesuatu yang ”baik” hanya 39%. Sementara itu, 45% merasa ”tak peduli” dengan MLM.

Di Indonesia yang notabene konfigurasi pasarnya lebih didominasi saluran tradisional, seperti warung dan jenis gerai masif lainnya, harus diakui, pola-pola MLM masih dianggap hal baru. Hanya saja, sikap kurang kondusif terhadap MLM juga dilatarbelakangi pengalaman mereka yang pernah mencoba bergabung dengan bisnis ini, tapi ternyata hasilnya jauh dari fantasi mereka sebelumnya. Rata-rata mereka kurang puas selama bergabung MLM. Ini juga terlihat dari survei SWA: 22% responden menyatakan ”tak puas” terhadap MLM yang diikutinya. Yang menyatakan tingkat kepuasannya ”biasa saja” sebanyak 45%. Yang menyatakan “puas” 11% dan “sangat puas” 22%. Jelas, kenyataan ini menjadi pekerjaan rumah bagi para pengelola MLM untuk meningkatkan kualitas sistem kerja jaringannya, khususnya pola profit sharing buat para anggota.

Lalu, menarik pula mengamati temuan tentang motivasi masyarakat membeli produk MLM. Kini, masyarakat luas memang dimungkinkan membeli produk MLM tanpa harus menjadi anggota terlebih dulu – sebelumnya, orang hanya boleh membeli produk kalau sudah menjadi anggota jaringan MLM. Agaknya, ini menjadi strategi para pengelola MLM untuk memperluas pasar. Dari mereka yang sering membeli produk-produk MLM, sebagian besar (24%) memberikan alasan karena ”kualitas produk”. Secara tak langsung, ini mengindikasikan produk MLM diakui berkualitas tinggi. Sementara, yang membeli produk MLM karena ingin ”coba-coba” hanya 10%, alasan ”harga” 12%, ”manfaat” 8% dan ”kemudahan mendapatkan” 18%.

Sebenarnya, temuan tentang alasan masyarakat membeli produk MLM itu sangat sesuai dengan tingkat kepuasan produk MLM. Survei SWA menunjukkan, lebih dari separuh (52%) responden yang ditanya mengatakan ”puas” terhadap produk MLM. Yang menyatakan ”biasa saja” 43% dan yang ”tidak puas” hanya 5%. Ini sejalan dengan temuan sebelumnya yang memperlihatkan, produk MLM dipersepsi punya kualitas yang sangat baik. Tampaknya, hasil ini tak lepas dari strategi produksi para pengelola MLM belakangan ini. Pasalnya, meski sejumlah perusahaan MLM mengalihdayakan pembuatan beberapa produknya ke perusahaan non-MLM lokal, biasanya mereka menetapkan persyaratan high grade product. Akibatnya, meski rata-rata produk MLM jauh lebih mahal dari produk non-MLM, kualitasnya cukup sebanding dengan harganya.

Informasi yang tak kalah menarik, tentang produk MLM pilihan reponden. Hingga kini, produk yang diminati masih berkisar pada produk yang dipasarkan perusahaan MLM yang sudah lama berdiri dan lebih dulu dikenal. Perusahaan itu, antara lain, CNI (33%), Amway (13%), Oriflame (25%), Sophie Martin (15%), Tianshi (6%), lain-lain (8%). Temuan ini tentu saja memiliki banyak makna. Di antaranya, penetrasi pemain baru di luar 6 besar itu harus ditingkatkan lagi agar produknya makin dikenal dan kemudian dipilih (dibeli) masyarakat. Oriflame perlu mendapat catatan tersendiri karena meski relatif baru, mereka bisa mendapatkan pangsa cukup besar (25%). Terlebih, perusahaan ini bermain di segmen fashion yang biasanya tak lebih besar kuenya dari produk makanan dan minuman seperti yang dipasarkan CNI.

Makna lainnya, pemain MLM lokal mesti lebih ekspansif karena dari temuan itu diketahui, bisnis MLM masih didominasi asing. CNI sebuah perkecualian dan layak mendapat catatan tersendiri juga. Perusahaan milik keluarga Ginawan Tjondro ini merupakan pemain lokal yang mampu memimpin pasar di negeri sendiri. Bahkan, CNI sudah masuk ke Singapura, Malaysia dan India. Sebenarnya, banyak pemain lokal yang bagus, seperti Capriasi dan UFO, tetapi agaknya merek mereka mesti dikembangkan lagi sehingga jangkauan penetrasi pasarnya makin luas dan produknya jadi pilihan masyarakat. Kita tunggu perkembangannya.

Sumber artikel

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive