multi info, hiburan, pengetahuan, dan aneka informasi

Darah Jawa di Istana Kerajaan Belanda !

Sampul Buku De Njai (Dok. Maremagnum)DE NJAI
Sub-Judul: Het Concubinaat in Nederland-Indie
Penulis: Reggie Baay Penerbit: Athenaeum-Polak & Van Gennep, 2008, 302 halaman (plus gambar)

Jika diterjemahkan, judul buku nonfiksi karya Reggie Baay itu adalah Nyai--Pergundikan di Zaman Hindia Belanda. Lewat buku yang dilengkapi literatur tidak kurang dari 200 buah itu, penulis hendak memprotes ketidakadilan terhadap wanita pribumi oleh penguasa penjajah pada saat itu. Ketidakadilan itu mencakup dan melintas medan yang luas sekali. Seperti pertentangan antar-ras, drama kemanusiaan, dan tentu ketidakadilan buat mereka yang terjajah.

Sungguh kasihan melihat drama kehidupan manusia berlawanan jenis, berbeda ras, dan etnis. Mereka harus menempuh kehidupan serba sulit dalam sistem kolonial yang menyesakkan, dengan peraturan hidup seksual yang pilih kasih. Demikian menyesakkan, sehingga memungkinkan hubungan suami-istri dalam barak tentara kolonial, yang kadangkala berisi 100 orang. Tidak mengenal lagi yang namanya privacy.

Tetapi sumber dari sumber semua itu ialah kemelaratan pribumi. Kondisi ini memaksa banyak wanita pribumi menempuh kehidupan sebagai concubine (gundik). Hanya garis tipis yang memisahkannya dari perbudakan, bahkan ''pelacuran'' yang dihalalkan. Dihalalkan, karena pendatang pria --pada abad ke-17 dan ke-18-- memerlukan sentuhan seksual, dan yang ada hanya wanita pribumi.

Para pendatang Belanda itu rupanya mengikuti ajaran ''Jawa'': kalau tiada rupa, ya, rasa. Tetapi stop! Jangan terpukau hanya oleh rasa fisik, tetapi mungkin lebih dalam lagi, rasa batin atau kejiwaan yang menimbulkan ketenangan dan kepuasan pria. Wanita Timur terkenal dapat menyuburkan rasa tersebut.

Namun wanita pribumi juga berada dalam keadaan yang sama. Mereka yang selalu dijerat kemelaratan, impitan kesedihan di kampung, tidak punya pilihan lain. Hingga lebih baik lari meninggalkan kefakiran itu dan menyerahkan diri pada nasib. Dan itu bisa terjadi pada siapa pun, asalkan dapat memberi kenyamanan jiwa dan materiil atau finansial.

Kita tidak tahu, adakah kebahagiaan jiwa tumbuh dari keadaan semacam itu. Tetapi hampir semua wanita pribumi sangat sopan dan taat-setia kepada suami (walaupun tidak dinikahi). Para ibu itu juga menyayangi anak-anaknya. Namun pengorbanan itu kadang harus berakhir menyedihkan. Karena pertentangan politik ''etis'', dan kesopanan ''Barat'', ada yang terpaksa diceraikan atau dipinggirkan seperti daun terbuang ke keranjang sampah.

Ada yang bisa hidup lama melampaui masa peralihan, meninggalkan alam penjajahan, menapak ke alam kemerdekaan Indonesia. Justru ini yang menyedihkan saya --ada yang terpisah dari anak-cucunya, yang karena status Belandanya pergi dan tinggal di seberang lautan. Sedangkan ibunya terbaring sedih sendirian di desa dekat Cimahi, Jawa Barat.

Bahkan ada yang meninggal di Rumah Sakit Jiwa Lawang karena kehilangan segalanya (anak perempuan cantik, suami, dan segalanya). Kenapa sedih? Ya, sedih karena sebenarnya kemerdekaan Indonesia seharusnya memberi kenikmatan kepada mereka juga. Toh, bukan hanya mereka korban kemelaratan masa awal abad 20-an yang dilanda sedih.

Sekarang ini, 64 tahun setelah merdeka, kemelaratan dan kemiskinan struktural dalam negara belum mengubah secara esensial taraf hidup kebanyakan warga Indonesia. Ribuan wanita bekerja di luar negeri, meninggalkan sanak keluarga terdekat, dengan penuh risiko kekerasan seksual (sexual harrasment). Lebih dari itu, konsep hidup keluarga mereka, dengan garis bercabang ginealogi yang tampak membanggakan, juga bisa terhapus.

Seorang ibu, wanita pribumi, ikut ke Belanda akibat sengketa politik pada 1950-an. Di sana, dia tinggal sampai usia 90-an tahun dalam kesunyian diri karena tidak dapat berbahasa lokal (Belanda). Dengan burung parkitnya pun, dia berbahasa Sunda --bahasa ibunya-- di Belanda dan hanya anaknya yang mengerti.

Cucunya tiada kuasa memahami omongan sang nenek yang merawat bapaknya. Ibu ini wafat dalam kesendiriannya, dalam lingkungan yang relatif baik. Jadi, para nyai itu ada yang meninggal dalam kesendirian (dan kesedihan), baik di tanah kelahirannya (Jawa) maupun di tanah seberang.

Yang menggembirakan, banyak warga ras campuran yang hidup di Belanda tidak memperlihatkan rasa rendah diri, seperti ketika masa sebelum Perang Dunia II di ''Indie''. Mereka, seperti Wieteke van Dort, bahkan menghidupkan tradisi keindonesiaan. Ia rajin mengisi acara pasar malam di Den Haag. Rob Niewenhyuis menulis banyak buku tentang keindonesiaan dan garis keturunannya yang berasal dari wanita pribumi. Dengan begitu, jejak kehidupan tropika muncul di "negeri kincir angin" itu --dari makanan, pakaian dan tarian, hingga adat.

Dan sekarang kita boleh ikut senang melihat sinetron dengan para pemain berwajah ayu atau ganteng karena mewarisi sifat genetik terbaik dari dua ras yang dipertemukan nasib atau sejarah. Saya pernah tinggal di Salatiga, Jawa Tengah --di sana ada wilayah Blotongan yang dihuni oleh mereka yang berdarah campuran, tapi kurang mampu secara ekonomi (sebutannya: Indo Bung, sebagai kontras dengan Indo Cheese).

Syukurlah, banyak di antara mereka yang muncul menjadi ''orang'' dalam masyarakat Indonesia atau masyarakat Belanda tanpa canggung dan tanpa dibayangi nasib jelek ''omanya''. Bahkan sekarang banyak yang menghidupkan garis keturunan itu. Salah seorang dari Gunung Tilu, dekat pekebunan tehnya Bosscha, Lembang, Jawa Barat, muncul menjadi istri tokoh nasional. Dan orang lain lagi muncul sebagai istri jenderal atau istri pejabat tinggi yang sukses.

Bahkan darah Jawa, atau Indonesia, mengalir ke mana-mana, termasuk menyusup ke istana Kerajaan Belanda (lihat halaman 178), menjadi menantu Ratu Beatrix. Dua generasi sebelumnya, nenek menantu Ratu Belanda itu menjalani hidup dalam concubinaat (dan memang mantunya punya wajah rupawan, cantik sekali). Jiwanya yang lembut menaklukkan hati Prins Constantijn --putra ragil Ratu Beatrix.

Kata orang, lengannya bisa melengkung seperti ''gendewa pinentang'' ciri penari Jawa --sebuah ciri yang tak hinggap pada keturunan Belanda totok atau Europa lainnya. Walau bagaimanapun, masa lalu itu tetap membayangi pikiran dan mata saya --dan bertanya bagaimana bisa ikut mengangkat derajat wanita Indonesia.

Bambang Hidayat Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (2002-2008)

gatra.com

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive