Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa di atas angin, diapun menetapkan lima syarat untuk menjadi pendampingnya. Tidak secara nyata menolak Jusuf Kalla (JK), tetapi interpretasi masyarakat sangat jelas, SBY tidak akan berduet lagi dengan JK. Di internal Golkar sendiri beredar aspirasi, Akbar Tanjung (AT) akan diduetkan dengan SBY . Mantan seteru AT ini mungkin akan pulang kampung dan kembali ke dunia bisnis di mana ia memulai dan besar seperti sekarang ini.
JK adalah tipe pekerja keras, kadang-kadang karena sangat aktif dalam pengambilan keputusan ia seperti melewati wewenangnya sebagai wakil presiden, sehingga diawal-awal pemerintahan SBY-JK sudah beradar istilah “Matahari Kembar”. Bahkan untuk menandingi pengaruh JK, SBY kemudian membentuk Unit Kerja Presiden Untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) yang diketuai Marsillam Simanjuntak, melalui Keputusan Presiden No.17 tahun 2006. Pembentukan lembaga ini mendapat protes langsung dari JK dan sempat terjadi perang dingin anatara SBY – JK. Sejak itu UKP3R tidak terdengar gaungnya.
Politik pertarungan didalam lembaga kepresidenan antara presiden dan wakil presiden terus terjadi dalam pengambilan keputusan krusial, terutama dalam dua tahun pertama pemerintahan ini, seperti terjadinya dua kali resuffel kabinet yang menambah porsi Golkar di Kabinet dari komposisi awal pembentukan kabinet.
Setelah resufel kabinet kedua terjadi, pemerintahan SBY-JK mulai kelihatan kompak tetapi kembali mencuat suasana panas ketika seorang Senator Demokrat dari Amerika Serikat mengusulkan SBY sebagai penerima Nobel Perdamaian Dunia atas perdamaian di Aceh. JK merasa dia dan timnyalah yang berkeringat sejak dari inisiatif perdamaian hingga penggalangan dukungan internasional. Beruntung SBY membuat keputusan blunder dengan menolak grasi dari Tibo Cs dari hukuman mati. Nobel perdamaian akhirnya jatuh ketangan Yunus Muhammad.
Tapi seiring makin kompleksnya permasalahan Negara, dan makin kuatnya portfolio yang dipegang Golkar sebagai the ruling party, pemerintahan semakin stabil dengan bumbu-bumbu persaingan yang semakin menghilang. Mungkin strategi inilah yang dipakai oleh SBY untuk mengalahkan JK, ia mulai merangkul menteri-meteri baik dari Golkar maupun dari partai pendukung koalisi lainnya. Ia mulai bertindak sigap dalam setiap pengambilan keputusan, untuk mematahkan anggapan yang sudah keburu melekat dibenak masyarakat, bahwa SBY seorang peragu. Mungkin juga kalau presiden tidak hati-hati dalam pengambilan keputusan bisa saja kebijakan JK menjadi blunder bagi pemerintahannya.
Perlahan tapi pasti, pertarungan antara keduanya mulai meredup, terutama setelah menko dan menteri keuangan dipegang oleh professional non partisan. Tetapi peran JK dalam ekonomi sangat jelas dan dominan dibanding SBY.
Entah karena terlalu percaya diri atau terlalu konsentrasi dengan tugas kenegaraan, JK lupa melakukan konsolidasi kedalam partainya, ditambah banyak kader partainya yang kena masalah korupsi, calon-calon Golkar di Pilkada bertumbangan, sehingga sering muncul desakan agar ketua umum ditinjau ulang terutama dari kelompok Akbar Tanjung yang tidak puas dengan kinerja JK di partai, tetapi cemerlang di pemerintahan.
Tentu kita masih ingat pernyataan dari Syamsul Ma’arif (Buya Hamka), tehknokrat Muhammadiyah, “JK the Real President”, yang mendapat reaksi keras politisi Demokrat Anas Urbaningrum, dan tanggapan sinis dari AT, “JK senang disebuht the Real President”, menanggapi reaksi JK yang biasa-biasa saja dengan peryataan Buya itu.
Soal kenaikan BBM dua kali yang spektakuler JK juga pasang badan sementara SBY, seperti menjaga citra mewakilkan pengumuman kenaikan BBM ke Menteri ESDM dan menteri Keuangan, sementara di media JK membela habis-habisan keputusan kenaikan BBM itu, dan sebagai solusi amarah rakyat keluarlah istila, Bantuan Lansung Tunai (BLT) yang juga diusulkan oleh JK. Tetapi ketika harga BBM turun sampai tiga kali, SBY perkasa tampil di depan podium dengan wajah cerah penuh sumringah mengumumkannya.
Disinilah kekalahan JK, ketika keputusan yang diambil pahit, nama JK melakat di benak masyarakat sebagai tidak pro rakyat dan menjadi bumper di parlemen untuk menghalau oposisi, tetapi begitu hasil dari keputusan itu ternyata sangat berguna bagi Negara nama SBY menjadi pahlawan di benak Masyarakat. Soal pencitraan SBY adalah jagonya, ibarat seorang munafik, menjadi pahlawan diatas kerja keras orang lain.
Maka tidak heran ketika Lee Kuan Yu berkunjung ke istana Wakil Presiden, Lee mengatakan “sayang anda bukan Presiden” sebuah ungkapan yang bisa diterjemahkan bahwa JK punya kapasitas untuk menjadi Presiden.
Spontanitas JK, juga sangat efektif dalam mengatasi masalah, dalam bisnis dan ekonomi, politik melawan oposisi ia turun ke lapangan, membantah dan memberi perlawanan dengan bukti-bukti emperis di media . Dalam mengatasi kelangkaan Gas, konversi minyak tanah ke Gas, kasus LNG tangguh, hemat listrik, anjuran pemakaian sepatu buatan dalam negeri kepada jajaran pegawai negeri, sangat efektif untuk menanggapi dan mengkounter isu-isu yang hangat di masyarakat. JK bukan pencundang yang terus berada di istananya, tetapi ia keluar memberi solusi terhadap masalah yang dihadapi pemerintah. Tak jarang aktivitasnya dicurigai oleh lingkar dalam presiden SBY.
Tiga bulan sebelum pemilu legislative, kelihatan jelas bahwa JK masih ingin melanjutkan tugasnya sebagai Wakil presiden, sekalipun ada tokoh Golkar yang tidak menerima ide hanya sebagai Wapres saja, untuk partai sebesar Golkar. Golkar merasa bahwa keberhasilan pemerintah yang sebagian besar juga disumbangkan oleh kader Golkar, tapi diklaim habis-habisan sebagai prestasi SBY semata.
Klimaks pertarungan SBY – JK berawal dari pernyataan Achmad Mubarok salah satu petinggi Partai Demokrat, “bila Golkar hanya dapat 2,5% suara legislative, Partai Demokrat akan meninggalkan Golkar”. Pernyataan itu sontak mengubah peta politik dari semula JK masih ingin menjadi wakil presiden berubah haluan. Iklan lebih cepat lebih baik, prestasi perdamaian dan stabilitas Negara mulai diklaim Golkar, tapi sudah terlambat karena mereka kalah dengan kecepatan Partai Demokrat.
Rendahnya perolehan suara Golkar menjadi titik balik bagi Golkar untuk mengurungkan niat mencalonkan presiden sendiri, maka pilihan yang realistis adalah kembali lagi ke SBY. Tapi sayangnya SBY merasa menjadi pria yang ganteng sekali, sehingga ia bebas menentukan siapa calon “istrinya”. Disinilah nasib JK digantung sebagai balas demdam atas segala perbuatan JK selama ini. Sekalipun perbuatan itu untuk kebaikan bangsa dan Negara.
Seandainya JK terpental dan diganti oleh tokoh lain Golkar sebagai pasangan SBY, maka tamatlah riwayat politik JK, ia akan terbuang menjadi tokoh biasa yang tidak punya pengaruh lagi. Kecuali dalam bisnis tentunya. Tapi kalau SBY tidak berpasangan lagi dengan JK, kemungkinan besar kinerja SBY tidak secemerlang ketika ia berpasangan dengan JK. Karena memang sosok JK sangat penting peranannya dalam prestasi ekonomi pemerintahan SBY – JK saat ini. Sekalipun keberhasilan itu semu seperti pendapat ahli ekonomi, misalnya BLT dibiayai oleh utang luar negeri.
Bagi saya JK lebih baik tidak mengemis kepada SBY untuk menjadi wakil presiden, serahkan saja kepada tokoh lain di Golkar, dan kembali mengurus bisnis. Daripada berpasangan kembali dengan SBY tetapi dipasung kreatifitasnya di pemerintahan mendatang. Dan SBY mestinya harus rendah hati mengakui bahwa kepiawaian JK belum ada tandinganya di negeri ini. Jika SBY jujur, mestinya ia akan kembali menawarkan kepada JK posisi Wakil Presiden karena ia kompeten dan bertanggungjawab.
http://sopogodang.blogspot.com/2009/04/jusuf-kalla-yang-malang.html
No comments:
Post a Comment