Jika Mesir mendapat julukan sebagai negeri seribu menara, Praha adalah kota ratusan menara. Juga dikenal sebagai kota emas.
Perjalanan keluarga pelancong ke Praha diawali oleh ajakan kawan mahasiswa di Dresdan untuk bersama-sama kesana saat kami menanyakan tentang perlu tidaknya kita warga negara Indonesia dengan visa Schengen mengurus visa sebelum mengunjungi Republik Ceko. Taschan, teman kami tersebut memberikan link website konsulat Ceko di Dresden, membuat semuanya menjadi lebih jelas.
Keindahan Praha sudah lama kami dengar sebelumnya. Setiap teman yang pernah kesana pasti merekomendasikan Praha kepada kami. Makanya kami memasukkan dalam daftar kota yang ingin kami kunjungi. Namun sebelumnya, untuk dapat kesana, kami mesti mengurus visa turis di Berlin. Selain tempat pengurusan jauh, ongkos perjalanan jadi membengkak. Itulah mengapa kami tak membuang kesempatan ketika pemerintah republik Ceko membuat peraturan baru bahwa kami bisa masuk tanpa visa jika lama tinggal tak lebih dari 5 hari.
Bersama teman-teman dari Dresden, kami membentuk sebuah rombongan besar dengan 4 keluarga, sisanya mahasiswa single. Hari itu Sabtu pagi. Empat belas orang dewasa dan 4 anak kecil. Kami saling berkenalan di stasiun pusat Dresden, pagi itu.
Si ibu telah berusia 62 tahun asal Plzen, di barat daya Praha. Kami menyebutnya Ibu Tua. Saat itu masih bekerja dan tinggal di negara bagian Nordrhein-Westfalen, wilayah barat Jerman. Ibu Tua bercerita, saat masih remaja, di rumahnya tinggal seorang mahasiswa asal Indonesia. Wajahnya sangat eksotik, tuturnya.
Tak hanya mengobrol, kami juga menikmati pemandangan lewat jendela kereta. Jalur Dresden – Decin (Republik Ceko) melalui Erzgebirge, pegunungan di perbatasan Jerman – Ceko. Selama beberapa waktu lamanya kami disuguhi pemandangan berupa sungai dengan lereng-lerang batu hasil pahatan alam berwarna gelap. Juga lembah-lembah dan bukit-bukit menakjubkan.
Menjelang masuk kota Decin, dua orang petugas memeriksa paspor kami. Tanpa banyak bertanya, mereka membubuhkan stempel di setiap paspor, kecuali milik Ibu Tua. Saya senang sekali mendapat stempel baru di paspor. Sebab tak ada pembubuhan stempel saat kami memasuki negara Schengen seperti Austria, Belanda, Perancis, Belgia, dan Luxemburg yang pernah kami masuki.
Stasiun Praha – holesovice adalah pemberhentian kami. Berkesan tua, kusam dan kurang terawat. Tak ada lift atau tangga berjalan untuk memudahkan para penumpang.
Kami turun hingga ke lobi. Suami Taschan, Adila dan seorang bapak lainnya mencarikan tiket kendaraan umum untuk kami semua. Harganya sekira 2,75 euro dan berlaku 24 jam untuk semua kendaraan umum dalam kota. Bus, tram dan metro (tram bawah tanah).
Kira-kira 20 menit kami menunggu tram di sebuah halte. Tramnya merupakan model lama. Tinggi dengan sedikit tempat duduk di dalamnya. Agak susah jika membawa kereta dorong anak.
Tak banyak penumpang kala itu, sehingga kami bisa duduk setelah membubuhkan stempel di sebuah mesin dekat salah satu pintu masuk. Emak memandang ke luar jendela tram tiada henti. Tram menyeberangi sebuah jembatan di atas Sungai Vltava alias Moldau. Di kejauhan terlihat salah satu lambang keindahan Praha, Prager Burg (Istana Praha). Gedung-gedung tua Praha berdiri di mana-mana. Ah, Emak jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Benar-benar tiada merugi datang kemari.
Sejarah Praha, juga dikenal sebagai kota emas, telah berlangsung sejak 11 abad lalu. Bangunan-bangunan tua, yang hampir tak tersentuh ketika perang dunia kedua, meiliki bermacam corak dari jaman berbeda. Mulai romawi, gothik, renaissance, dan baroque. Dulunya, Praha terdiri dari kota-kota kecil yang sekarang menjadi kesatuan tak terpisahkan dan saling melengkapi.
Pukul tiga sore, perut kami telah cukup terisi. Badan mulai segar kembali. Dan daftar kunjungan hari ini telah berada di tangan. Semua mesti dipersiapkan dengan baik agar acara jalan-jalan makin lancar. Hanya kami berempat memutuskan mengitari kota bersama. Lainnya memilih rute perjalanannya sendiri-sendiri.
Di halte bawah di Ujezd, suasana kota turis semakin terasa. Sejak tahun 2000, jumlah kunjungan wisata ke Praha melonjak 2 kali lipat, mencapai hampir 7 juta wisatawan di tahun 2006. Berbagai bahasa utama dunia sering terdengar di kota ini. Dan wajah-wajah asing berkeliaran di mana-mana.
Cuaca cerah dan agak gerah sore itu. Tram tumpangan kami dipadati penumpang. Untung kami tak lama menumpang di dalamnya. Tujuan pertama kami, Karluv Most (Charles Bridge) dekat halte Malostranske Namesti.
Selain ramai pengunjung, ini adalah daerah macet. Mobil, sepeda, dan tram seakan berebut agar dapat lancar bergerak. Kafe dan toko-toko penjual souvenir dipadati manusia. Banyak juga tempat penukaran uang di daerah ini. Kami telah menukar uang kami di Jerman. Lebih aman untuk menghindari penipuan, demikian pesan seorang kerabat.
Kompleks istana Praha, terbesar di Eropa, terletak di atas bukit di daerah bernama Hradchin. Jalan kesana berupa tanjakan. Sekitarnya indah, namun membuat kami ngos-ngosan. Awalnya kami lewat trotoar di depan kafe-kafe mungil di rumah kuno. Atap bangunan rendah, mungkin dua meter lebih sedikit. Pintu dan jendelanya bagai gerbang dengan bagian atas membentuk setengah lingkaran. Trotoar sempit menjadi lebih sempit karena pemilik kafe menggelar kursi-kursi mereka di sana.
Memanjat bukit di atas jalan berbatu lengkap dengan kereta dorong bayi adalah tantangan. Berkali-kali kami berhenti melemaskan kaki. Tak lama, karena tak ada tempat duduk untuk umum di situ. Kami akhirnya bisa istirahat cukup lama di undakan di bawah istana. Diriingi alunan musik seorang pengamen.
Istana Praha, salah satu magnet pengunjung. Di mana-mana tampak wisatawan sedang memotret. Ada yang membidik temannya dengan latar belakang istana, ada pula yang memotret detail bangunan. Segerombolan turis muda Korea terlihat sedang berfoto dengan gaya lucu, dengan tangan membentuk huruf V. Dua orang penjaga bediri tegap di gerbang istana. Mereka berseragam biru. Menjadi obyek foto bagi wisatawan.
Segera setelah atraksi rampung, kami berempat langsung berjalan menuju obyek wisata selanjutnya, namun tertahan sebentar ketika kami melihat sebuah restauran masakan indonesia, Sate. Kami mampir sebentar untuk minum teh rasa lemon dan memesan nasi goreng untuk dibawa pulang. Tak lama badan terasa lebih segar dan siap untuk berjalan selama beberapa jam lagi.
Dengan sebuah tram, kami berpindah ke arah kota. Banyak sekali gedung-gedung tua kami lewati sekilas. Di Narodni Divadlo, teater nasional, kami berhenti. Memotret sebentar Karluv Most di senja hari. Saat lampu-lampunya mulai bersinar.
Menyusuri Masarykovo Nabrezi, kami sempat menikmati suasana malam di tepi Sungai Moldau sebelum akhirnya berbelok ke Myslikove dengan tujuan pusat kota baru (Stare Mesto). Kami sempat kebingungan di dekat balai kota baru saat mencari jalan ke arah Vaclavske Namesti sehingga seorang lelaki muda menginformasikan tram pembawa kami kesana. Kami melewati wilayah pusat perbelanjaan utama di jantung kota. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul delapan lebih. Namun kota masih terlihat sangat ramai.
Vaclavske Namesti adalah highlight Praha. Sebuahtempat terbuka, lengkap dengan boulevard, taman, hotel berarsitektur unik, pertokoan mahal, dan rumah makan di sekelilingnya. Lampu-lampu malam di sekitar museum dan patung Wenceslas membuatnya terlihat lebih spektakular. Daerah ini juga ramai pengunjung. Berbaur dengan para pemabuk dan gelandangan yang memenuhi bangku-bangku umum di sini.
Pukul setengah sepuluh malam, di Karluv Most masih saja terlihat ratusan orang hilir mudik. Dinginnya angin malam tak mampu mengusir para pelancong beranjak dari jembatan nan indah. Mereka memotret, dipotret, duduk-duduk sambil bercengkrama, dan berjalan berpasangan. Kami mampir di toko souvenir dekat gerbang jembatan. Semua cinderamata di kota ini terasa mahal bagi kami. Setelah lama menimbang, akhirnya saya hanya membeli sebuah gelas pajangan mini bergambar Karluv most.
Karluv most, jembatan teramai yang pernah saya lihat adalah tempat romantis. Temaram. Sebagian besar pengunjung berpasangan. Pemusik jalanan menambah melankoli suasana malam. Lampu-lampu berkelap-kelap di kejauhan. Barisan belasan patung di kedua dinding jembatan. Sejajar dengan belasan pengemis yang duduk bersimpuh di sepanjang jembatan. Sungguh pemandangan kontras.
Hari itu benar-benar melelahkan. Delapan jam lamanya kami menjelajahi kota, hampir tanpa waktu istirahat panjang. Berjalan kaki, naik bukit, naik turun tram. Semuanya kami lakoni hari itu.
Perjalanan keluarga pelancong ke Praha diawali oleh ajakan kawan mahasiswa di Dresdan untuk bersama-sama kesana saat kami menanyakan tentang perlu tidaknya kita warga negara Indonesia dengan visa Schengen mengurus visa sebelum mengunjungi Republik Ceko. Taschan, teman kami tersebut memberikan link website konsulat Ceko di Dresden, membuat semuanya menjadi lebih jelas.
Keindahan Praha sudah lama kami dengar sebelumnya. Setiap teman yang pernah kesana pasti merekomendasikan Praha kepada kami. Makanya kami memasukkan dalam daftar kota yang ingin kami kunjungi. Namun sebelumnya, untuk dapat kesana, kami mesti mengurus visa turis di Berlin. Selain tempat pengurusan jauh, ongkos perjalanan jadi membengkak. Itulah mengapa kami tak membuang kesempatan ketika pemerintah republik Ceko membuat peraturan baru bahwa kami bisa masuk tanpa visa jika lama tinggal tak lebih dari 5 hari.
Bersama teman-teman dari Dresden, kami membentuk sebuah rombongan besar dengan 4 keluarga, sisanya mahasiswa single. Hari itu Sabtu pagi. Empat belas orang dewasa dan 4 anak kecil. Kami saling berkenalan di stasiun pusat Dresden, pagi itu.
Si ibu telah berusia 62 tahun asal Plzen, di barat daya Praha. Kami menyebutnya Ibu Tua. Saat itu masih bekerja dan tinggal di negara bagian Nordrhein-Westfalen, wilayah barat Jerman. Ibu Tua bercerita, saat masih remaja, di rumahnya tinggal seorang mahasiswa asal Indonesia. Wajahnya sangat eksotik, tuturnya.
Tak hanya mengobrol, kami juga menikmati pemandangan lewat jendela kereta. Jalur Dresden – Decin (Republik Ceko) melalui Erzgebirge, pegunungan di perbatasan Jerman – Ceko. Selama beberapa waktu lamanya kami disuguhi pemandangan berupa sungai dengan lereng-lerang batu hasil pahatan alam berwarna gelap. Juga lembah-lembah dan bukit-bukit menakjubkan.
Menjelang masuk kota Decin, dua orang petugas memeriksa paspor kami. Tanpa banyak bertanya, mereka membubuhkan stempel di setiap paspor, kecuali milik Ibu Tua. Saya senang sekali mendapat stempel baru di paspor. Sebab tak ada pembubuhan stempel saat kami memasuki negara Schengen seperti Austria, Belanda, Perancis, Belgia, dan Luxemburg yang pernah kami masuki.
Stasiun Praha – holesovice adalah pemberhentian kami. Berkesan tua, kusam dan kurang terawat. Tak ada lift atau tangga berjalan untuk memudahkan para penumpang.
Kami turun hingga ke lobi. Suami Taschan, Adila dan seorang bapak lainnya mencarikan tiket kendaraan umum untuk kami semua. Harganya sekira 2,75 euro dan berlaku 24 jam untuk semua kendaraan umum dalam kota. Bus, tram dan metro (tram bawah tanah).
Kira-kira 20 menit kami menunggu tram di sebuah halte. Tramnya merupakan model lama. Tinggi dengan sedikit tempat duduk di dalamnya. Agak susah jika membawa kereta dorong anak.
Tak banyak penumpang kala itu, sehingga kami bisa duduk setelah membubuhkan stempel di sebuah mesin dekat salah satu pintu masuk. Emak memandang ke luar jendela tram tiada henti. Tram menyeberangi sebuah jembatan di atas Sungai Vltava alias Moldau. Di kejauhan terlihat salah satu lambang keindahan Praha, Prager Burg (Istana Praha). Gedung-gedung tua Praha berdiri di mana-mana. Ah, Emak jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Benar-benar tiada merugi datang kemari.
Sejarah Praha, juga dikenal sebagai kota emas, telah berlangsung sejak 11 abad lalu. Bangunan-bangunan tua, yang hampir tak tersentuh ketika perang dunia kedua, meiliki bermacam corak dari jaman berbeda. Mulai romawi, gothik, renaissance, dan baroque. Dulunya, Praha terdiri dari kota-kota kecil yang sekarang menjadi kesatuan tak terpisahkan dan saling melengkapi.
Pukul tiga sore, perut kami telah cukup terisi. Badan mulai segar kembali. Dan daftar kunjungan hari ini telah berada di tangan. Semua mesti dipersiapkan dengan baik agar acara jalan-jalan makin lancar. Hanya kami berempat memutuskan mengitari kota bersama. Lainnya memilih rute perjalanannya sendiri-sendiri.
Di halte bawah di Ujezd, suasana kota turis semakin terasa. Sejak tahun 2000, jumlah kunjungan wisata ke Praha melonjak 2 kali lipat, mencapai hampir 7 juta wisatawan di tahun 2006. Berbagai bahasa utama dunia sering terdengar di kota ini. Dan wajah-wajah asing berkeliaran di mana-mana.
Cuaca cerah dan agak gerah sore itu. Tram tumpangan kami dipadati penumpang. Untung kami tak lama menumpang di dalamnya. Tujuan pertama kami, Karluv Most (Charles Bridge) dekat halte Malostranske Namesti.
Selain ramai pengunjung, ini adalah daerah macet. Mobil, sepeda, dan tram seakan berebut agar dapat lancar bergerak. Kafe dan toko-toko penjual souvenir dipadati manusia. Banyak juga tempat penukaran uang di daerah ini. Kami telah menukar uang kami di Jerman. Lebih aman untuk menghindari penipuan, demikian pesan seorang kerabat.
Kompleks istana Praha, terbesar di Eropa, terletak di atas bukit di daerah bernama Hradchin. Jalan kesana berupa tanjakan. Sekitarnya indah, namun membuat kami ngos-ngosan. Awalnya kami lewat trotoar di depan kafe-kafe mungil di rumah kuno. Atap bangunan rendah, mungkin dua meter lebih sedikit. Pintu dan jendelanya bagai gerbang dengan bagian atas membentuk setengah lingkaran. Trotoar sempit menjadi lebih sempit karena pemilik kafe menggelar kursi-kursi mereka di sana.
Memanjat bukit di atas jalan berbatu lengkap dengan kereta dorong bayi adalah tantangan. Berkali-kali kami berhenti melemaskan kaki. Tak lama, karena tak ada tempat duduk untuk umum di situ. Kami akhirnya bisa istirahat cukup lama di undakan di bawah istana. Diriingi alunan musik seorang pengamen.
Istana Praha, salah satu magnet pengunjung. Di mana-mana tampak wisatawan sedang memotret. Ada yang membidik temannya dengan latar belakang istana, ada pula yang memotret detail bangunan. Segerombolan turis muda Korea terlihat sedang berfoto dengan gaya lucu, dengan tangan membentuk huruf V. Dua orang penjaga bediri tegap di gerbang istana. Mereka berseragam biru. Menjadi obyek foto bagi wisatawan.
Segera setelah atraksi rampung, kami berempat langsung berjalan menuju obyek wisata selanjutnya, namun tertahan sebentar ketika kami melihat sebuah restauran masakan indonesia, Sate. Kami mampir sebentar untuk minum teh rasa lemon dan memesan nasi goreng untuk dibawa pulang. Tak lama badan terasa lebih segar dan siap untuk berjalan selama beberapa jam lagi.
Dengan sebuah tram, kami berpindah ke arah kota. Banyak sekali gedung-gedung tua kami lewati sekilas. Di Narodni Divadlo, teater nasional, kami berhenti. Memotret sebentar Karluv Most di senja hari. Saat lampu-lampunya mulai bersinar.
Menyusuri Masarykovo Nabrezi, kami sempat menikmati suasana malam di tepi Sungai Moldau sebelum akhirnya berbelok ke Myslikove dengan tujuan pusat kota baru (Stare Mesto). Kami sempat kebingungan di dekat balai kota baru saat mencari jalan ke arah Vaclavske Namesti sehingga seorang lelaki muda menginformasikan tram pembawa kami kesana. Kami melewati wilayah pusat perbelanjaan utama di jantung kota. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul delapan lebih. Namun kota masih terlihat sangat ramai.
Vaclavske Namesti adalah highlight Praha. Sebuahtempat terbuka, lengkap dengan boulevard, taman, hotel berarsitektur unik, pertokoan mahal, dan rumah makan di sekelilingnya. Lampu-lampu malam di sekitar museum dan patung Wenceslas membuatnya terlihat lebih spektakular. Daerah ini juga ramai pengunjung. Berbaur dengan para pemabuk dan gelandangan yang memenuhi bangku-bangku umum di sini.
Pukul setengah sepuluh malam, di Karluv Most masih saja terlihat ratusan orang hilir mudik. Dinginnya angin malam tak mampu mengusir para pelancong beranjak dari jembatan nan indah. Mereka memotret, dipotret, duduk-duduk sambil bercengkrama, dan berjalan berpasangan. Kami mampir di toko souvenir dekat gerbang jembatan. Semua cinderamata di kota ini terasa mahal bagi kami. Setelah lama menimbang, akhirnya saya hanya membeli sebuah gelas pajangan mini bergambar Karluv most.
Karluv most, jembatan teramai yang pernah saya lihat adalah tempat romantis. Temaram. Sebagian besar pengunjung berpasangan. Pemusik jalanan menambah melankoli suasana malam. Lampu-lampu berkelap-kelap di kejauhan. Barisan belasan patung di kedua dinding jembatan. Sejajar dengan belasan pengemis yang duduk bersimpuh di sepanjang jembatan. Sungguh pemandangan kontras.
Hari itu benar-benar melelahkan. Delapan jam lamanya kami menjelajahi kota, hampir tanpa waktu istirahat panjang. Berjalan kaki, naik bukit, naik turun tram. Semuanya kami lakoni hari itu.
No comments:
Post a Comment