multi info, hiburan, pengetahuan, dan aneka informasi

Pembelajaran Menulis Cerpen dengan Strategi Bersafari

Oleh

Anas Ahmadi, M.Pd.

Abstrak

Selama ini pembelajaran sastra disekolah kurang diminati. Padahal, pembelajaran sastra bisa memberikan kontribusi bagi perkembangan moral dan psikologi siswa. Kurangnya minat siswa terhadapt pembelajaran sastra tersebut diduga disebabkan oleh tiga faktor, antara lain (1) guru, (2) siswa, dan (3) strategi pembelajaran. Karena itu, hasil pembelajaran sastra di sekolah kurang memuaskan.

Bertolak dari fenomena tersebut, dalam tulisan ini dipaparkan pembelajaran menulis cerpen dengan strategi bersafari. Strategi bersafari ini terdiri atas lima unsur, yakni (1) berminat, (2) sangat menguasai, (3) fakta, (4) rabuk panca indra, dan (5) diksi. Strategi ini diupayakan dapat menggiatkan siswa terhadap sastra.

Kata kunci: menulis cerpen, strategi bersafari

Pengantar

Pembelajaran keterampilan berbahasa di Indonesia jika ditilik dengan saksama, rasanya kita sedih melihatnya. Berdasarkan laporan Bank Dunia, tingkat membaca siswa Indonesia menduduki peringkat terendah di Asia. Adapun untuk menulis, tingkat menulis siswa Indonesia menduduki peringkat yang memprihatinkan (Nurjannah, 2007: 88). Karena itu, tidak salah jika Taufiq Ismail menulis puisi berjudul Malu Aku Jadi Orang Indonesia (2000) sebagai ungkapan sinisme menjadi manusia Indonesia.

Berkaitan dengan pembelajaran menulis, Rahman (2007:2) menyatakan bahwa pembelajaran menulis merupakan hal yang kompleks dan kadang-kadang sulit diajarkan. Hal itu disebabkan menulis tidak hanya membutuhkan penguasaan ketatabahasaan, keretorikaan, melainkan juga unsur konseptual dan pertimbangan yang lain. Karena itu, rasional jika pembelajaran menulis sudah diterapkan dengan menggunakan strategi yang baik, tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran menulis “kurang memuaskan”.

Dalam kaitannya dengan pembelajaran sastra, ternyata banyak pembelajaran menulis sastra pun menyedihkan. Banyak siswa yang kurang menyukai pembelajaran sastra. Padahal, melalui sastra, mereka bisa mengetahui cara pandang dan representasi baru mengenai kehidupan (Faruk, 2000:403), filsafat, moral, dan psikologi (Darma, 1990:133: Wellek & Warren, 1990). Jika ditengarai, terdapat tiga faktor yang menyebabkan rendahnya pembelajaran sastra.

Pertama, guru Bahasa Indonesia jarang yang menyukai materi pembelajaran sastra dengan alasan (1) kurangnya literatur sastra yang mereka miliki, (2) kurangnya minat baca sastra, (3) sastra menurut mereka sulit dan membingungkan sebab menggunakan bahasa yang terpilih. Ketiga alasan tersebut rasional ketika di sekolah banyak guru yang meninggalkan materi kesastraan. Mereka lebih memilih materi kebahasan. Imbasnya, siswa kurang mendapatkan materi kesastraan.

Kedua, siswa kurang menyukai pembelajaran sastra dengan alasan (1) guru yang mengajarkan sastra kurang apresiatif dan kurang menarik, (2) materi sastra sulit dan membingungkan, (3) perpustakaan kurang menyediakan bacaan sastra yang bermutu. Karena itu, banyak siswa yang mencari “perpustakaan liar” sebagai alternatif (Setiawan, 1985), dan (4) keluarga kurang memfasilitasi anak dalam menyediakan buku bacaan, misal novel, cerpen, ataupun puisi.

Ketiga, strategi pembelajaran sastra sekarang ini sudah banyak dimunculkan. Bahkan, strategi pembelajaran sastra tersebut sudah banyak diterapkan di sekolah-sekolah, baik di jenjang sekolah dasar atapun menengah. Namun, hasil yang diharapkan ternyata kurang memuaskan. Bertolak dari fenomena tersebut, dalam tulisan ini ditawarkan pembelajaran menulis cerpen dengan strategi bersafari. Strategi ini merupakan alternatif dalam kaitannya untuk menggiatkan minat belajar sastra pada diri siswa.

Strategi Bersafari

Berminat

Unsur bersafari yang pertama adalah berminat. Ketika seseorang ingin meneliti sesuatu, pastilah dimulai dari hal yang paling diminati (Saud, 2007). Begitu pula dengan siswa, ketika mereka diajak menulis cerpen, mulailah dari sesuatu yang diminati. Jika siswa berminat dengan apa yang akan mereka tulis, pasti mereka merasa senang dan bebas dalam menulis. Mereka tidak merasa dibelenggu oleh cerpen yang temanya ditentukan oleh guru.

Perhatikan ilustrasi berikut. Pertama, Seorang guru meminta agar siswanya agar menulis cerpen yang bertemakan berlibur ke rumah nenek. Memang, semua anak mungkin mempunyai nenek. Namun, bayangkan jika ada salah satu siswa yang tidak mempunyai nenek. Dia mungkin bingung untuk menulis berlibur ke rumah nenek. Ia akan merasa terbelenggu dengan tema yang telah dipatok oleh gurunya.

Kedua, seorang guru meminta siswanya untuk menulis cerpen yang berkaitan dengan tema kepahlawanan. Guru memberikan gambaran tentang kepahlawanan tersebut berkaitan dengan kisah para pahlawan Indonesia. Siswa yang tidak berminat menulis tema kepahlawanan akan malas menulis cerpen sebab tidak sesuai dengan minat mereka. Ketiga, guru meminta siswa menulis cerpen dengan tema bebas. Anak-anak diminta menulis cerpen sesuai dengan minat mereka masing-masing. Jika guru memberikan petunjuk demikian, siswa merasa senang dan bebas berekspresi sebab tema yang ditentukan terserah mereka sendiri.

Sangat Menguasai

Unsur bersafari yang kedua adalah sangat menguasai. Dalam unsur ini, siswa diharapkan menulis cerpen dengan tema yang benar-benar dikuasainya. Jika siswa sangat menguasai tema yang ditulisnya, cerpen yang ditulis akan bagus. Ketika siswa membuat cerpen yang mengisahkan pengalamannya sewaktu berlibur ke Bali, ia akan menceritakan dengan bagus bagaimana kisah dirinya sewaktu di Bali. Hal tersebut rasional sebab ia menguasai dalam mengalami cerita tersebut.

Berbeda halnya dengan cerpen yang ditulis siswa dengan tema yang telah ditetapkan guru. Jika siswa kurang berminat, tulisannya kurang bagus. Seorang siswa kurang berminat terkadang disebabkan oleh faktor kurang dikuasainya materi yang akan dia tulis.

Fakta

Unsur bersafari yang ketiga adalah fakta. Ketika menulis cerpen siswa diharapkan menulis fakta, bukan rekalita. Fakta pada hakikatnya berkait dengan tulisan yang nyata, benar-benar terjadi, dan jarang terjadi. Adapun fakta ialah kejadian yang umum dan sering terjadi di masyarakat. Pada galibnya, manusia lebih menyukai tulisan yang bersifat fakta daripada realita. Hal tersebut tidak lepas dari apa esensi manusia sebagai homo ludens, makhluk yang suka bermain-main dan berimajinasi (Darma, 1995). Dengan begitu, manusia menyukai sesuatu yang “di luar umum”. Salah satu di antaranya adalah berita Ryan, sang penjagal, hampir semua stasiun televisi menayangkan berita Ryan. Media cetak juga tidak ketinggalan untuk memberitakan Ryan. Bahkan, daerah Ryan, Dusun Maijo, Desa Jati Wates, Kecamatan Tembelang, Jombang, menjadi tempat wisata kirminal. Banyak orang dari berbagai daerah mengunjungi tempat Ryan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan perbedaan tulisan realita dan fakta pada ilustasi berikut.

Tulisan realita

Seseorang menulis bahwa bus kota di Jakarta banyak yang sudah reyot dan kebersihannyapun tidak terpelihara. Di lantainya banyak debu dan berserakan sampah. Para penumpangnya berjubel dan orang-orang ini meludah seenaknya saja di lantai bus. Ada pula banyak tukang copet yang beraksi di dalam bus dan mereka tidak pandang bulu, lelaki, wanita, tua, muda, semua yang lengah pasti dicopet. Ada pula penjaja majalah yang menawarkan majalah aneka warna dengan harga yang murah pula tetapi ternyata majalah yang mereja jual adalah terbitan dua atau tiga tahun yang lalu.

Tulisan fakta

Seseorang lain menuliskan apa-apa yang diamatinya di dalam sebuah busyang ditumpanginya. Dekat pintu depan, tulisnya, ada dua tukang copet menghadang orang-orang yang naik turun. Mereka berpakaian parlente, salah-salah lihat seperti mahasiswa karena mereka membawa map dan buku, tetapi ketika penulisnya naik tadi, mereka mencoba meraba sakunya. Seorang wanita yang naik belakangan tiba-tiba saja menjerit kehilangan dompet. Di lantai bus dilihatnya banyak sampah yang berserakan. Udaranya panas sebab penumpang penuh sesak. Orang-orang yang duduk didekatnya batuk-batuk dan meludahkan dahaknya seenaknya ke lantai bus. Di halte bus, dari jendela terdapat seseorang yang menawarkan majalah. Murah, cuma dua ratus rupiah. Orang yang batuk-batuk membeli sebuah. Ketika bus sudah bergerak, tiba-tiba orang itu memaki, “sialan, terbitan tiga tahun yang lalu!”

Penulis pertama menuliskan hal-hal yang benar yang dapat dibuktikan dengan mudah kebenarannya. Tanpa dibuktikan pun banyak orang yang percaya bahwa memang demikianlah keadaan bus-bus kota yang terdapat di Jakarta pada umumnya. Memang tidak mungkin kita bisa mendapatkan bus yang bersih yang melegakan penumpangnya. Bus yang tidak ada tukang copetnya serta penjaja koran yang menipu penumpang. Namun, apa-apa yang ditulis oleh penulis pertama ini masih benar. Kata pada umumnya yang dicetak miring itulah yang menyebabkan tulisan tersebut dinamakan realita.

Adapun penulis kedua, sebaliknya. Ia hanya menuliskan apa-apa yang benar-benar dilihatnya atau yang diakuinya benar-benar dilihatnya, pada suatu tempat dan waktu tertentu. Kita harus percaya saja tanpa membantah, selama yang ditulis tersebut masih sesuai dengan realita (Marahimin, 1994). Di samping itu, penulis pun memunculkan efek emotif dalam cerita tersebut. Hal itu tampak pada penggalan …“sialan, terbitan tiga tahun yang lalu!”

Rabuk Panca Indra

Unsur keempat bersafari adalah rabuk panca indra. Kata rabuk berasal dari bahasa Jawa yang bermakna memupuk. Dengan demikian, rabuk panca indra pada hakikatnya memupuk dan menajamkan panca indra ketika menulis cerpen. Jika siswa menulis cerpen tanpa memupuk dan menajamkan panca indra, tulisannya kering. Namun, jika siswa menulis cerpen dengan menajamkan memupuk panca indra, tulisannya akan hidup. Perhatikan ilustrasi berikut.

Tulisan tanpa memupuk dan menajamkan panca indra

Sinar bulan keperakan menerobos masuk ke rumah bambu tersebut melalui sela-sela genting. Ibu itu mempersilakan aku duduk. Ia bersama bayi kecilnya terlihat bersedih. Sudah satu tahun suaminya tidak datang dari perantuan. Di atas meja yang sudah usang terdapat seonggok jagung bakar yang sudah beberapa hari belum dibuang. Tak lama kemudian, ibu itu membuatkan aku kopi panas.

Tulisan yang memupuk dan menajamkan panca panca indra

Sinar bulan keperakan menerobos masuk ke rumah bambu tersebut melalui sela-sela genting. Hawa dingin terasa menusuk pori-pori tulangku. Ibu yang sudah tampak gurat-gurat di wajahnya itu menyalamiku dan mempersilakan aku duduk. Tangan ibu tersebut terasa kasar dan terlihat jelas guratan yang menghiasi tangannya. Ia bersama bayi kecilnya yang dari tadi menangis meraung raung. Sudah satu tahun suaminya tidak datang dari perantuan. Trenyuh hatiku rasanya. Di atas meja yang sudah usang terdapat seonggok jagung bakar yang sudah beberapa hari belum dibuang. Aroma kebasian pun menusuk hidungku dengan perlahan. Tak lama kemudian, ibu itu membuatkan aku kopi panas. Pahit sekali rasanya kopi tersebut.

Tulisan pertama hanya mengandalkan indra penglihatan saja. Karena itu, tulisan tersebut rasanya kering dan tidak hidup. Dalam tulisan pertama, digambarkan sang tokoh aku yang melihat sinar bulan, melihat ibu bersama bayinya, melihat jagung di atas meja, dan melihat sang ibu membuatkan kopi untuk dirinya. Berbeda halnya dengan tulisan yang kedua, indra penglihatan dimunculkan dengan digambarkan sang tokoh aku yang melihat sinar bulan, melihat ibu bersama bayinya, melihat jagung di atas meja, dan melihat sang ibu membuatkan kopi untuk dirinya. Indra peraba digambarkan dengan peristiwa dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang tokoh aku dan jabat tangan antara tokoh aku dan ibu, indra pembau digambarkan dengan aroma kebasian yang menusuk hidung tokoh aku. Indra pendengaran digambarkan dengan tangisan bayi yang meraung raung. Indra pencecap/perasa digambarkan ketika tokoh aku merasakan kopi yang pahit. Dengan demikian, tulisan kedua lebih hidup dan menurut istilah Bird (2000), pembaca seolah-olah diajak untuk benar berempati kejadian dalam tulisan tersebut

Diksi

Unsur kelima bersafari adalah diksi. Menurut Keraf (2000), diksi mempunyai tiga definisi. Pertama, diksi ialah kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan gagasan bagaimana membentuk pengelompokan kata–kata yang tepat atau menggunakan gagasan-gagasan yang tepat dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi ialah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menentukan bentuk yang sesuai dengan nilai rasa dan situasi masyarakat. Ketiga, diksi ialah penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Pada galibnya, ketiga definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa diksi ialah kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan ide/gagasan secara tepat sesuai dengan konteks sosiopsikoantropologis. Dengan demikian, jika diksi yang kita pilih bagus, tulisan yang kita buat akan bagus pula. Simaklah cerpen berjudul “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu” karya Hamsad Rangkuti. Judul tersebut menggunakan diksi yang mempunyai nilai rasa. Mengapa? Karena dalam judul tersebut terdapat tiga kata yang sama berderetan, yaitu bibir. Simak pula tulisan berikut.

Dalam malam pekat, sebuah bayangan berkelebat, dan melesat secepat kilat.

Pemunculan diksi pekat, berkelebat, melesat, secepat kilat pada tulisan di atas menimbulkan efek ritmis yang indah. Diksi yang dimunculkan dalam tulisan sebaiknya yang unik, menarik, dan mempunyai nilai kebaruan. Simaklah cerpen berjudul “Derabat” karya Budi Darma (1997). Pembaca akan penasaran dengan judul tersebut. Mengapa? Karena kata derabat masih asing ditelinga kita. Simak pula judul cerpen “Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga” karya Nawal el Saadawi (2004). Bagi para perempuan, mereka akan tergelitik dan penasaran untuk membaca cerpen tersebut. Mana mungkin tak ada tempat bagi perempuan di surga!

Penutup

Pembelajaran menulis cerpen dengan strategi bersafari bukanlah strategi yang kaku. Strategi bersafari merupakan strategi pembelajaran yang lentur. Karena itu, bagi para guru bisa menambahi ataupun mengurangi strategi pembelajaran tersebut sesuai dengan konteks siswa di sekolah masing-masing dengan harapan siswa bisa menelurkan hasil yang memuskan.



DAFTAR RUJUKAN

Bird, C. 2000. Menulis dengan Emosi. Diindonesiakan oleh Eva Y. Bandung: Kaifa.

Darma, B. 1990. “Sastra Indonesia Mutakhir”. Dalam Aminuddin (Ed). Sekitar Masalah Sastra. Malang: YA3.

__________.1995. Harmonium. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________.1997. Derabat. Jakarta: Gramedia.

Faruk, H.T. 2000. “Mutu Sastra Kita”. Dalam Alwi, H. (Ed). Bahasa Indonesia di Era Globalisasi. Pemantapan Peran Bahasa Sebagai Sarana Pembangunan Bangsa. Risalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta: Pusat Bahasa & Depdiknas.

Keraf, G. 2000. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Nurjannah, N. 2007. “Model Pembelajaran Konstruktivisme dalam Pembelajaran Menulis”. Dalam Sunandar, D. (Ed). Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajaran:Forum Ilmiah I & II UPI. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Ismail, T. 2000. Malu (Aku) jadi Orang Indonesia. Yogyakarta: YOI.

Rahman. 2007. “Pemberdayaan Gambar dan kartu Kata dalam Pembelajaran Menulis”. Dalam Sunandar, D. (Ed). Pemikiran-pemikiran Inovatif dalam Kajian Bahasa, Sastra, Seni, dan Pembelajaran:Forum Ilmiah I & II UPI. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Saadawi, el-Nawal.2004. Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saud, S. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: UPI.

Setiawan. 1985. “Analisis Esktrinsik-Intrinsik Novel Olenka Karya Budi Darma dan Pengajarannya bagi Pengajaran Sekolah di SMA”. Surabaya: IKIP Surabaya.

Suparno, dkk. 2007. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: UT.

Wellek, W. & Warren, A. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan Oleh Melani B. Jakarta: Gramedia.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive