Mereka kaya-raya, berambisi jadi presiden, dan mulai saling hantam. Kesejahteraan rakyat dijadikan ‘amunisi’. Tapi tak gampang memikat keluarga prajurit yang umumnya masih hidup miskin.
Meski belum diumumkan, puluhan miliar rupiah telah mereka habiskan untuk beriklan. Dan, masih puluhan, mungkin bahkan sampai trilunan rupiah, akan mereka habiskan untuk memenangi Pemilu 2009.
Jadi, jangan heran bila para eksekutif stasiun TV dan radio, media cetak, dan portal berita kini menjadikan mereka primadona. Sebab, kata beberapa eksekutif stasiun TV swasta, tak hanya nilai kontrak yang besar, tapi pembayarannya juga lancar.
Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo Subianto adalah tiga mantan jenderal yang kini sedang jadi buruan utama para account executive media-media massa. Maklum, mereka memiliki dana politik sangat besar dan boros dalam beriklan, baik yang bersifat langsung atau terselubung. Apalagi mereka juga tampak sangat berambisi menjadi Presiden RI periode 2009-2014.
Secara ideologis, para jenderal itu tak berbeda. Mereka semua mengaku Pancasialis sejati dan berpihak kepada wong cilik. Lawan utama mereka juga sama, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi yang membedakan mereka pada dasarnya adalah ambisi pribadi. Dan untuk ini mereka agaknya siap untuk saling libas.
Unsur dendam jelas tak bisa diabaikan dalam hal ini. Utamanya menyangkut Prabowo Subianto, yang dipecat pada 1999 ketika Wiranto masih menjadi Panglima TNI. Ketika dipecat, Prabowo adalah jenderal yang sedang naik daun berkat posisinya sebagai menantu Presiden Soeharto.
Pemecatan itu dadasari oleh dua kesalahan besar yang dilakukan oleh Prabowo. Pertama, terlibat dalam penculikan para aktifis. Kedua, mengerahkan pasukan secara liar di tengah kemelut politik 1998, yang diduga kuat terkait dengan ambisinya menjadi Presiden RI ketiga.
Bagaimana pun juga, meski kaya, para jenderal itu sampai sekarang hanya didukung oleh parpol baru dan gurem. Maka, agar bisa terus bertarung, mereka harus berkoalisi.
Di tengah kian maraknya politik uang, kenyataan ini jelas bakal memaksa mereka menghamburkan sangat banyak uang, atau tersingkir dari arena pertarungan. Ini tentu saja karena parpol dan politisi pada umumnya sedang haus dana.
Sejauh ini, satu-satunya harapan agar bisa irit terletak pada ‘keajaiban’ politik seperti dinikmati SBY pada Pilpres 2004. Hanya saja, keajaiban ini sampai sekarang belum menunjukkan pertanda akan muncul. Menurut banyak pengamat, keajaiban itu baru akan muncul bila ada pihak yang dizalimi.
Dalam Pilpres 2004, penzaliman ini berbentuk pemecatan SBY sebagai Menko Polkam tanpa alasan jelas oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah itu dia juga masih dicerca sebagai “Jendral cengeng yang seperti anak kecil” oleh suami Megawati, Taufik Kiemas.
Dalam soal massa pendukung, para jenderal itu tentu juga siap berebut simpati dari keluarga prajurit yang masih aktif dan pensiunan. Apalagi, jumlah mereka telah mencapai belasan juta orang, dan masih memiliki solidaritas tinggi sebagai warga keluarga besar TNI.
Hanya saja, seperti kebanyakan orang Indonesia, mereka umumnya hidup dengan kantong cekak dan telah berulang kali dikecewakan oleh berbagai janji politik. Maka, banyak dari mereka terkejut dengan hati kecut menyaksikan para mantan petinggi militer ternyata memiliki duit berlimpah untuk berpolitik.
Selain itu, tentunya juga masih sangat segar dalam ingatan mereka kasus-kasus korupsi yang melibatkan petinggi militer. Termasuk penyelewengan Dana Tabungan Wajib Perumahan Prajurit TNI bernilai ratusan miliar rupiah, yang sampai sekarang belum tuntas 100%.
Ingat, kasus ini hanya terjadi di salah satu bagian dari jaringan bisnis TNI yang bernilai triliunan rupiah, dan tidak pernah diaudit oleh lembaga berwenang. “Bisnis ini hanya menguntungkan sekelompok kecil perwira di Mabes TNI. Hal ini menyebabkan para prajurit tetap harus hidup seadanya,” tutur anggota F-PG Yuddy Chrisnandi beberapa waktu lalu.
Kenyataan yang memprihatinkan itu tentu bisa menjadi ganjalan besar bagi para mantan jenderal itu untuk menggaet dukungan politik dari keluarga besar TNI. Kecuali keluarga yang elit saja tentunya. (gigin Praginanto)
sumber: waspada.co.id
Meski belum diumumkan, puluhan miliar rupiah telah mereka habiskan untuk beriklan. Dan, masih puluhan, mungkin bahkan sampai trilunan rupiah, akan mereka habiskan untuk memenangi Pemilu 2009.
Jadi, jangan heran bila para eksekutif stasiun TV dan radio, media cetak, dan portal berita kini menjadikan mereka primadona. Sebab, kata beberapa eksekutif stasiun TV swasta, tak hanya nilai kontrak yang besar, tapi pembayarannya juga lancar.
Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo Subianto adalah tiga mantan jenderal yang kini sedang jadi buruan utama para account executive media-media massa. Maklum, mereka memiliki dana politik sangat besar dan boros dalam beriklan, baik yang bersifat langsung atau terselubung. Apalagi mereka juga tampak sangat berambisi menjadi Presiden RI periode 2009-2014.
Secara ideologis, para jenderal itu tak berbeda. Mereka semua mengaku Pancasialis sejati dan berpihak kepada wong cilik. Lawan utama mereka juga sama, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jadi yang membedakan mereka pada dasarnya adalah ambisi pribadi. Dan untuk ini mereka agaknya siap untuk saling libas.
Unsur dendam jelas tak bisa diabaikan dalam hal ini. Utamanya menyangkut Prabowo Subianto, yang dipecat pada 1999 ketika Wiranto masih menjadi Panglima TNI. Ketika dipecat, Prabowo adalah jenderal yang sedang naik daun berkat posisinya sebagai menantu Presiden Soeharto.
Pemecatan itu dadasari oleh dua kesalahan besar yang dilakukan oleh Prabowo. Pertama, terlibat dalam penculikan para aktifis. Kedua, mengerahkan pasukan secara liar di tengah kemelut politik 1998, yang diduga kuat terkait dengan ambisinya menjadi Presiden RI ketiga.
Bagaimana pun juga, meski kaya, para jenderal itu sampai sekarang hanya didukung oleh parpol baru dan gurem. Maka, agar bisa terus bertarung, mereka harus berkoalisi.
Di tengah kian maraknya politik uang, kenyataan ini jelas bakal memaksa mereka menghamburkan sangat banyak uang, atau tersingkir dari arena pertarungan. Ini tentu saja karena parpol dan politisi pada umumnya sedang haus dana.
Sejauh ini, satu-satunya harapan agar bisa irit terletak pada ‘keajaiban’ politik seperti dinikmati SBY pada Pilpres 2004. Hanya saja, keajaiban ini sampai sekarang belum menunjukkan pertanda akan muncul. Menurut banyak pengamat, keajaiban itu baru akan muncul bila ada pihak yang dizalimi.
Dalam Pilpres 2004, penzaliman ini berbentuk pemecatan SBY sebagai Menko Polkam tanpa alasan jelas oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah itu dia juga masih dicerca sebagai “Jendral cengeng yang seperti anak kecil” oleh suami Megawati, Taufik Kiemas.
Dalam soal massa pendukung, para jenderal itu tentu juga siap berebut simpati dari keluarga prajurit yang masih aktif dan pensiunan. Apalagi, jumlah mereka telah mencapai belasan juta orang, dan masih memiliki solidaritas tinggi sebagai warga keluarga besar TNI.
Hanya saja, seperti kebanyakan orang Indonesia, mereka umumnya hidup dengan kantong cekak dan telah berulang kali dikecewakan oleh berbagai janji politik. Maka, banyak dari mereka terkejut dengan hati kecut menyaksikan para mantan petinggi militer ternyata memiliki duit berlimpah untuk berpolitik.
Selain itu, tentunya juga masih sangat segar dalam ingatan mereka kasus-kasus korupsi yang melibatkan petinggi militer. Termasuk penyelewengan Dana Tabungan Wajib Perumahan Prajurit TNI bernilai ratusan miliar rupiah, yang sampai sekarang belum tuntas 100%.
Ingat, kasus ini hanya terjadi di salah satu bagian dari jaringan bisnis TNI yang bernilai triliunan rupiah, dan tidak pernah diaudit oleh lembaga berwenang. “Bisnis ini hanya menguntungkan sekelompok kecil perwira di Mabes TNI. Hal ini menyebabkan para prajurit tetap harus hidup seadanya,” tutur anggota F-PG Yuddy Chrisnandi beberapa waktu lalu.
Kenyataan yang memprihatinkan itu tentu bisa menjadi ganjalan besar bagi para mantan jenderal itu untuk menggaet dukungan politik dari keluarga besar TNI. Kecuali keluarga yang elit saja tentunya. (gigin Praginanto)
sumber: waspada.co.id
No comments:
Post a Comment