Mittal cocok dijadikan sebagai salah satu tokoh terkaya didunia yang patut dikorek ilmu kesuksesannya bagi masyarakat Indonesia. Mittal yang terlahir di negara India yang tingkat kapadatan jumlah penduduknya di benua Asia menempati urutan kedua setelah China ini, dibesarkan dari keluarga yang fakir sebagimana banyak keluarga di Indonesia . Selain itu, proses kesuksesan Mittal dalam bisnis Baja-nya selama ini juga tidak jauh dari masyarakat Indonesia. Selama bertahun-tahun Mittal memulai bisnis dan menggalang strategi di tanah Indonesia, Surabaya.
Dari Keluarga Fakir dan Desa Miskin
Bagi kita, mungkin bisa tercengang dan tertawa sekaligus merasa mustahil ketika mendengar cita-cita seorang bocah yang sangat fakir, berkeinginan untuk menuai kesuksesan, apalagi kesuksesannya itu ingin diakui manusia diseluruh belahan dunia. Tetapi, melalui buku tipis ini kita akan dibuat lebih tercengang lagi, karena cita-cita yang didamba bocah-bocah yang menurut kita mutahil untuk terjadi, ternyata benar-benar terjadi.
Adalah Lakshmi Nivas Mittal, Seorang bocah yang lahir dari Sadulpur, India, yang dahulu tanahnya terkenal gersang, berpasir dan hanya ditumbuhi pohon-pohon berduri, sukses menanggalkan atribut kemiskinannnya dengan menyandang predikat sebagai orang Asia terkaya didunia. Berbagai perusahaan Baja yang dijadikan tempat memfokuskan diri untuk mengembangkan bakat dan menumpuk harta kekayaannya tersebar diberbagai pulau bahkan benua. Bocah yang terlahir dinegara India yang dahulu harga diri dan perekonomiannya diacak-acak dan dijungkir balikkan para kolonial penjajah, sekarang jumlah kekayaannya melejit jauh diatas keturunan oknum-oknum yang pernah menjajah nenek moyangnya.
Mengutamakan Pendidikan
Dibalik kesuksesan dan melimpahnya harta kekayaan yang dimiliki Mittal, ternyata tidak jauh dari peran dan komitmen Ayahnya, Mohan, yang menomor satukan pendidikan anak-anaknya. Bagi Mohan, pendidikan merupakan jembatan yang bisa mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan. Melalui pendidikan seseorang berpeluang luas untuk melakukan mobilitas vertikal, baik harta kekayaan maupun penghormatan sesama manusia dan 'ketentraman' spiritualitas secara pribadi.
Setelah lulus SMA, Mittal, remaja yang dikenal teman-teman dan keluarganya sebagai anak didik yang tergolong cerdas dan tekun itu, dengan berbagai usaha jerih payah ayahnya, dikuliahkan di universitas St. Xavier's College, sebuah universitas prestisius di Kolkata (dahulu bernama Calcutta) pada masa Mittal.
Semasa menimba ilmu disana, dia diberi kebebasan orang tuanya untuk menikmati dan menimba ilmu sebaik-baiknya, tetapi karena kecerdasannya yang tinggi dan ditumpuki realitas ekonomi keluarga yang belum begitu mapan, Mittal berusaha minta izin ayahnya untuk diperbolehkan membantu pekerjaan. Dengan argumentasi belajar secara langsung, Mittal membagi waktu belajarnya sebagian digunakan untuk turut berkecimpung dalam usaha ayahnya. Mulai pukul 06.30 – 09.30 digunakannya belajar secara serius didalam gedung pendidikan formal, sementara sisa waktunya digunakan belajar secara langsung dan membantu bisnis kecil-kecilan ayahnya yang semenjak pindah dari Sadulpur, Rajasthan ke Kolkata atau Calcutta pada tahun 1955 mengalami mobilitas ekonomi walaupun tidak begitu jauh (hlm. 3).
Pada tahun 1969, setelah lulus dari universitas St. Xavier's College, Mittal mulai benar-benar menenggelamkan diri dan kecerdasannya dibelantara dunia bisnis Baja. Dengan bergabung dibawah komando Ayahnya, Mittal tidak begitu lama mulai menunjukkan prestasi-prestasi yang begitu gemilang. Pada periode 1970-an, Mittal berperan aktiv dan turut mensukseskan usaha ayahnya ketika dituntut konsumen untuk menghasilkan produksi 20 ton Baja per tahun.
Surabaya Sebagai Landas Pacu
Bertepatan dengan prestasi-prestasi yang semakin diakui keluarga, Mittal merasa gelisah, ketika kesuksesan yang dicita-citakannya terancam oleh iklim usaha di India yang tidak kondusif. Pemerintah membebankan pajak perusahaan ayahnya hingga 97 % dari jumlah sebelumya. Bukan hanya itu, tentang kuota izin usaha Baja bagi perusahaan swasta dibatasi secara keras.
Dalam keadaan yang terjepit seperti itu, Mittal yang baru berusia 26 tahun mencoba memberontak keadaan dengan meminta izin orang tuanya untuk melanjutkan dan mengembangkan bakatnya, dengan cara menghindari peraturan permerintah yang dirasa dapat mengkerdilkan perusahaan bahkan gulung tikar.
Pada tahun 1976, dengan berbagai analisis situasi dan keadaan serta kecerdasan dalam memprediksi sesuatu, Mittal bersama istri dan anaknya hijrah ke Indonesia, Surabaya. Setelah beberapa lama di Surabaya, Mittal memilih Waru, salah satu daerah dipinggiran Surabaya, untuk mendidirikan pabrik Baja yang telah terencana sebelumnya.
Diatas tanah bekas persawahan seluas 16,5 hektar, Mittal mendirikan bangunan yang dijadikan pabrik bernama PT. Ispat Indo. Disinilah Mittal mulai menyingsingkan lengan sepenuhnya. Ia menanamkan modal US$ 15.000.000 (Rp. 135 Milliar) untuk mendirikan dan memulai mengoperasikannya.
Semakin hari semakin tahun perusahaannya mulai muncul dan dikenal didunia bisnis Baja di Indonesia, walau auranya masih sedikit tertutupi oleh aura pesaing-pesaingnya yang lebih dahulu bertempat di Indonesia, semisal Nippon Steel (Jepang).
Tetapi dibalik kecerdasan dan pengalamannya yang besar serta kecerdasan dan kepiawaian sekertarisnya dalam berbahasa Inggris, tidak berapa lama PT. Ispat Indo mampu menggeser mereka dari urutan perusahaan Baja terbesar di Indonesia. Bahkan, konon dari sinilah PT. Ispat Indo mulai percaya diri dan semakin melebarkan sayapnya dengan membeli perusahan-perusahaan Baja yang hampir gulung tikar dijadikan alat meraih untung yang besar.
Hingga kini, semua juragan besi tua di Surabaya, umumnya orang Madura, mengenal Lakshmi Narayan Mittal, 65 tahun. Pabrik bajanya, Ispat Indo di Desa Kedungturi, Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur, adalah terminal akhir bagi para pengepul lokal di Jawa Timur itu. Bagi mereka, Mittal adalah partner sejati yang sepanjang 30 tahun telah membangun kepercayaan imbal balik. Kepiawaian Mittal dan orang Madura dalam bisnis besi tua membentuk kombinasi yang klop. Tanpa pasokan besi tua secara rutin, boleh jadi Ispat Indo tak berkembang secepat itu.
Pabrik besi itulah yang menjadi pijakan ekspansi bisnis baja Lakshmi Mittal ke seluruh dunia. Selama 13 tahun, pabrik baja itu dikelola dengan sentuhan tangannya secara langsung. Setelah membesarkan perusahaan pertamanya itu, sukses berikutnya datang susul-menyusul. Kini popularitas Lakshmi Mittal jauh meninggalkan Indonesia dan Sidoarjo. Puluhan industri baja berskala internasional yang tersebar di 17 negara kini ada di genggaman tangannya. Ia kini menjadi konglomerat baja terbesar di dunia.
Ispat Indo adalah debut Mittal di luar India. Pada 1976, alumnus St. Xavier's College, Calcutta, India, itu membeli pabrik baja tidak sehat, Andra Steel, yang areal pabriknya seluas delapan hektare. Pabrik yang kodisinya kembang-kempis itu kemudian digarapnya menjadi pabrik yang sehat, dengan kapasitas produksi 60.000 ton per tahun. Dalam perkembangannya, performa pabrik itu terus mengalami peningkatan, sehingga kini mampu memproduksi baja 700.000 ton per tahun.
Cerita manis Ispat Indo adalah awal yang indah bagi Lakshmi Mittal, yang ketika itu hanya anak kemarin sore dari Calcutta di bisnis baja. Mittal muda, yang bahasa Inggrisnya masih patah-patah, datang bersama istrinya, Usha, yang pada saat itu berusia 26 tahun. Bagi Mittal, pabriknya di Indonesia itu punya sejarah dan arti tersendiri karena merupakan pijakan pertamanya. Pabrik itu pula yang memberi arah hidup dan membuka jalan sukses baginya.
Setelah Ispat Indo, semua pabrik baja yang diakuisisinya diberi nama depan "Ispat", yang dalam bahasa India berarti baja. Perusahaan induknya kini bernama Arcelor-Mittal, yang kapasitas produksinya mencapai 14 juta ton per tahun, setara dengan 52 kali kapasitas produksi Krakatau Steel pada saat ini. Ayah dua anak, Aditya Mittal dan Vanisha Mittal, itu berhasil mendirikan dinasti baja kelas dunia. Ayahnya, Mohan Lal Mittal, sebelumnya merintis jalan di bidang ini di India, tapi kurang berhasil.
Dari Sidoarjo, Mittal terbang jauh ke Trinidad dan Tobago pada 1994. Di negara kepulauan yang terletak di pantai timur Amerika Tengah itu, ia mengakuisisi perusahaan baja milik pemerintah setempat, Iscoot, yang harganya jatuh, didera kesulitan likuiditas karena salah urus. Seperti biasa, rasionalisasi karyawan menjadi jurus pertamanya. Setelah itu, manajemen dibenahi, produksi dan pemasaran digenjot. Hasilnya, uang mengalir. Semuanya dikerjakan oleh tim yang diterbangkan khusus dari India.
Dari Trinidad dan Tobago, hoki Mittal berlanjut. Kali ini, sasaran ekspansinya ke Meksiko. Dengan cadangan pundi-pundinya yang makin melimpah, ia mengakuisisi Sicartsa, perusahaan baja milik pemerintah, yang juga tengah dirundung masalah. Di sinilah Mittal mendapat "jackpot".
Pabrik baja dengan teknologi tinggi dan investasi sebesar US$ 2,2 milyar itu jatuh ke tangannya hanya dengan mahar US$ 220 juta. Mittal memanfaatkan situasi perekonomian Meksiko yang sedang kolaps karena booming minyak mereka berakhir pada 1990. Akibatnya, pemerintah membutuhkan dana cash cepat dan memprivatisasi Sicartsa secara tergesa-gesa.
Setelah jatuh ke Grup Mittal, perusahaan itu kemudian diberi nama baru, Ispat Mexicana, yang berpusat di Lazaro Cardenas. Belakangan, namanya berubah menjadi Mittal Steel Lazaro Cardenas, yang menjadi tulang punggung produksi baja Kelompok Mittal Steel di seluruh dunia. Produksinya mencapai 6,7 juta ton per tahun. Daftar perusahaan baja yang dibelinya terus bertambah panjang, hingga menyebar ke 17 negara, seperti Meksiko, Kanada, Jerman, Irlandia, Inggris, Amerika Serikat, Kazakstan, dan Polandia.
Kini tak ada benua yang absen dari jaringan bisnis Arcelor-Mittal. Lewat kantor pusatnya di London, semua roda bisnisnya di seluruh dunia digerakkan. Arcelor-Mittal adalah nama baru holding company keluarga Mittal, yang semula bernama Ispat International dan Mittal Steel. Di holding baru itu, Lakshmi Mittal duduk sebagai chief executive officer. Nama Arcelor-Mittal didapat setelah Mittal mengakuisisi pabrik baja terbesar di Eropa, Arcelor, yang berlokasi di Luksemburg. Pabrik raksasa ini sebelumnya dimiliki bersama antara Pemerintah Prancis, Belgia, dan Spanyol.
Jaringan bisnis keluarga Mittal terbagi dua. Bila di luar India dikendalikan Arcelor-Mittal, yang di India dikelola dua adik laki-lakinya, Pramod Kumara Mittal dan Vinod K. Mittal, dengan nama Global Steel Holdings. Namun holding ini tidak lagi mau bermain di kandang. Ia telah pula menggurita ke Afrika dan Eropa. Dengan jaringan seluas itu, kemenangan Mittal di bisnis baja kini tak terbendung lagi. Majalah Forbes, New York, menempatkan Lakshmi Mittal di peringkat keempat orang terkaya di dunia, dengan hartanya senilai US$ 45 milyar.
Selain gelimang dolar, setumpuk apresiasi diraihnya dalam bidang baja dan bisnis. Antara lain Business Person of 2006 dari the Sunday Times, International Newsmaker of the Year 2006 dari majalah Time, dan Person of the Year 2006 dari koran Financial Times. Dari kalangan industri baja, ia mendapat penghargaan bergengsi, Willy Korf Steel Vision Award (1998) dan American Metal Market and PaineWeber's World Steel Dynamics.
Ciri utama kelompok bisnis Mittal dalam memperluas jaringannya adalah dengan mengakuisisi pabrik baja lain yang kondisinya tidak cukup bagus atau yang pertumbuhannya mandek. Setelah membeli dengan harga murah, Mittal melakukan penertiban dan mengelola dengan manajemen baru yang sangat disiplin. Di tangan timnya, perusahaan-perusahaan yang sebelumnya bermasalah disehatkan dalam waktu singkat. Dengan ekspansi yang agresif ke seluruh dunia, bisnis Mittal berkembang cepat.
Kelompok industri Mittal merambah negara-negara maju dan menguasai pabrik-pabrik terbesar di dunia. Mittal, yang dulu besar di rumah berlantai tanah, kini tinggal di Kensington Palace Gardens di London, kawasan yang dikenal sebagai kompleks jutawan dunia. Ia bertetangga dengan makhluk tajir lainnya, seperti Sultan Hasanal Bolkiah dari Brunei.
Layaknya konglomerat dunia, Mittal juga seorang filantropis. Ia mendirikan Yayasan LNM Group untuk memberikan bantuan di bidang pendidikan dan kesehatan bagi orang-orang miskin, terutama di India. Di Aceh, konglomerat ini pernah merogoh kocek US$ 500.000 untuk kemanusiaan setelah tragedi tsunami.
Tingginya pohon bisnis Mittal membuat angin makin kencang menerpa. Di berbagai tempat yang disentuhnya, muncul resistensi yang makin tinggi. Pada 2002, Lakshmi Mittal menjadi bahan berita dengan skandal “Garbagegate”. Ini skandal suap ke Perdana Menteri Inggris, Tony Blair. Pada saat itu, Mittal memerintahkan transfer sebesar US$ 2 juta ke rekening Partai Buruh pimpinan Tony Blair. Ini bukan sumbangan kemanusiaan. Kompensasinya, Tony mendorong Pemerintah Rumania agar mengeluarkan kebijakan melepas pabrik baja andalannya, Sidex, kepada Mittal Steel.
Skandal itu pertama kali diungkap anggota parlemen Inggris, Adam Price. Senator ini membeberkan copy surat Blair kepada pimpinan Rumania pada saat itu. Kepada pimpinan Rumania, Blair meminta industri baja nasional mereka, Sidex, dilepas ke Mittal's LNM Steel Company, yang ketika itu tengah mengajukan penawaran bersama beberapa peminat lainnya.
Kepada Perdana Menteri Rumania ketika itu, Adrian Nastase, Tony Blair memberi sinyal bahwa langkah melepas Sidex kepada Mittal's LNM itu akan makin mendekatkan Rumania sebagai anggota Uni Eropa. Dalam suratnya itu, Tony Blair menyebutkan bahwa Mittal adalah "seorang teman".
Di dalam negeri Inggris, skandal itu cukup menghebohkan, meski tak sampai menggulingkan rezim Tony Blair. Mittal Steel pada saat itu adalah perusahaan baja terbesar keempat di dunia dan merupakan saingan utama British Steel di pasar Eropa.
Langkah Perdana Menteri Tony Blair itu dianggap menodai nasionalisme. Namun kasus ini akhirnya redup, dan Sidex benar-benar jatuh ke tangan Mittal. Dalam menguasai industri yang dicaploknya, Mittal menggunakan modus yang sama. Dibeli pada saat harga jatuh, diobok-obok agar mitranya yang masih ada di perusahaan itu kelojotan, diambil alih penuh, baru disehatkan.
Skema itu biasanya didahului satu hal: lobi tingkat tinggi. Lihat saja Sidex. Sebelum dibeli Mittal dari Pemerintah Rumania, pabrik baja ini mampu berproduksi 5 juta ton per tahun. Denyut nadi pabrik ini menghidupi 150.000 warga kota Galati. Ketika terjadi krisis moneter pada 1990, Sidex rugi 175 juta poundsterling. Namun, menurut perhitungan, total asetnya masih mencapai US$ 1,1 milyar pada saat diakuisisi.
Melalui negosiasi intensif selama lebih dari lima bulan, Mittal LNM Holdings mengakuisisi 90% saham Sidex dengan komitmen pembayaran tunai. Namun pada akhirnya Mittal hanya membayar US$ 70 juta. Komitmen menyelamatkan 27.000 karyawan dan menggelontorkan dana segar ternyata tidak sepenuhnya ditepati. Sebanyak 7.400 pekerja Sidex dipecat setelah akuisisi itu. Anehnya, Perdana Menteri Rumania, Calin Popescu Tariceanu, mengatakan bahwa privatisasi Sidex merupakan contoh bagaimana privatisasi bisa mengubah "lubang hitam" menjadi rencana yang menguntungkan.
Proses akuisisi oleh kelompok usaha Mittal, tak bisa dimungkiri, kerap menimbulkan efek samping. Di berbagai belahan dunia, gejolak selalu timbul mengiringi masuknya raksasa India ini. Di Afrika Selatan, LNM Holdings membeli perusahaan baja lokal milik pemerintah, Iscor, pada 2001. Namun, dalam proses akuisisinya, terjadi banyak keruwetan. Belakangan, Mittal South Africa diancam penalti US$ 96 juta karena dituding melakukan pengaturan harga (price fixing). Kasusnya kini masih ditangani otoritas setempat.
Di Indonesia, jejak Mittal juga dinodai isu miring. Di Surabaya, Ispat Indo mengakuisisi Pabrik Paku Sidoarjo, sehingga menyebabkan gangguan pada bagian hilir, yaitu industri paku. Di sebagian negara, manajemen Mittal menimbulkan benturan budaya. Di Aljazair, industri baja Sider, yang diakuisisi pada 2006, mendapat protes keras dari karyawannya. Pasalnya, Mittal menetapkan libur bagi karyawannya hari Jumat-Sabtu. Padahal, tradisi muslim lokal selama ini memilih Kamis-Jumat sebagai hari libur.
Protes dan ancaman mogok menguat setelah Mittal mengumumkan pengurangan 1.200 dari 8.000 karyawannya. Dengan beberapa kejadian yang ada, tak mengherankan jika resistensi terhadap Mittal timbul di mana-mana. Awal bulan ini, Presiden Nigeria, Umaru Yar'Adua, membatalkan penjualan pabrik bajanya, Ajaokuta Steel Company. Presiden Nigeria yang baru itu menggunting komitmen Mittal dengan Presiden Nigeria sebelumnya, Olusegun Obasanjo, karena menduga ada praktek tidak sehat dalam proses akuisisi itu.
Pramod Mittal, salah satu saudara Lakshmi Mittal, mengakuisisi pabrik baja yang telah berumur 27 tahun itu melalui bendera The Global Steel Infrastructures Holding Limited (GIHL). Namun pemerintah setempat mencium indikasi bahwa GIHL ternyata tidak menanamkan investasi. Ia hanya meminjam uang US$ 192 juta dari Bank Nigerian, dengan jaminan Ajaokuta Steel itu sendiri. Pihak Mittal juga akan melepas obligasi senilai US$ 3 juta. Selain itu, ada kecurigaan bahwa penguasaan ini akan menyebabkan monopoli dan merusak harga pasar baja Nigeria.
Di Indonesia, penolakan serupa juga terjadi. Ketika pemerintah memberi lampu hijau kepada Mittal untuk masuk ke Krakatau Steel (KS), manajemen perusahaan itu langsung menyatakan keberatan. Komisaris Utama KS, Taufiequrachman Ruki, menilai privatisasi KS ke pengusaha India itu mengandung bahaya. Menurut mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu, di Rumania, Aljazair, Prancis, dan Nigeria, tempat Mittal masuk dengan cara yang sama, menimbulkan masalah denasionalisasi industri baja mereka dan terjadi gejolak tenaga kerja.
Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy, kata Ruki, sampai harus mengeluarkan US$ 40 juta untuk menghidupkan kembali pabrik bajanya yang ditutup Mittal di Granrage. Langkah Mittal mengakuisisi sejumlah pabrik baja di dunia, kata dia, berdampak negatif pada buruh dan pertumbuhan ekonomi. Sekitar 3.600 karyawan baja di Rumania mogok karena pemotongan gaji oleh Mittal.
Ruki juga mengungkapkan keluh kesah Presiden Aljazair yang pernah diundang direksi dan komisaris KS, tahun lalu. Ruki mengajak semua pihak juga menilai bagaimana rekam jejak pengusaha India itu. "Di Bekasi, investasi mereka bermasalah, bahkan manajer mereka di- DPO (dimasukkan dalam daftar pencarian orang --Red.) oleh Polri," ujarnya.
Menurut Ruki, pengusaha India itu bukan ingin memajukan industri baja, melainkan hanya mau mengusai pasar untuk kepentingan pabriknya yang ada di India. Jangan sampai, lanjut Ruki, privatisasi KS bernasib seperti Indosat atau Jakarta Container Terminal, yang justru belakangan disesali. Namun teriakan Ruki agaknya kurang keras, sehingga tak terdengar sampai ke istana. Kamis pekan lalu, Lakshmi Mittal bertandang ke Istana Presiden.
Jutawan India itu mempresentasikan rencana pembangunan pabrik baja terintegrasi berkapasitas 5 juta ton per tahun, dan akuisisi KS masuk sebagai salah satu agendanya. Selain itu, Mittal berencana menginvestasikan sebagian kekayaannya untuk menggarap bisnis hulu, bekerja sama dengan PT Aneka Tambang. Keduanya akan menggarap industri tambah bijih besi sebagai bahan baku utama industri metal baja. Beberapa tempat di Kalimantan telah disurvei.
Daftar orang terkaya 2008 versi majalah Forbes :
1. warren buffet, U.S, $62bil
2. carlos slim helu, mexico, $60bil
3. bill gates, U.S, $58bil
4. lakshmi mittal, india, $45bil
5. mukesh ambani, india, $43bil
6. anil ambani, india, $42bil
7. ingvar kamprad, sweden $31bil
8. K.P. singh, india, $30bil
9. oleg deripaska, russia, $28bil
10. karl albrecht, germany, $27bil (
11. li ka shing, hong kong, $26bil
12. sheldon adelson, U.S, $26bil,
13. bernard arnault, france, $25.5bil
14. lawrence elison, U.S, $25bil
15. roman abramovich, russia, $23.5 bil
16. theo albrecht, germany, $23bil
17. liliane bettencourt, france, $22.9bil
18. alexei mordashov, russia, $21.2bil
19. prince alwaleed, saudi arabia, $21bil
20. mikhail fridman, russia, $20.8bi
sedotan.blogspot.com
Bagi kita, mungkin bisa tercengang dan tertawa sekaligus merasa mustahil ketika mendengar cita-cita seorang bocah yang sangat fakir, berkeinginan untuk menuai kesuksesan, apalagi kesuksesannya itu ingin diakui manusia diseluruh belahan dunia. Tetapi, melalui buku tipis ini kita akan dibuat lebih tercengang lagi, karena cita-cita yang didamba bocah-bocah yang menurut kita mutahil untuk terjadi, ternyata benar-benar terjadi.
Adalah Lakshmi Nivas Mittal, Seorang bocah yang lahir dari Sadulpur, India, yang dahulu tanahnya terkenal gersang, berpasir dan hanya ditumbuhi pohon-pohon berduri, sukses menanggalkan atribut kemiskinannnya dengan menyandang predikat sebagai orang Asia terkaya didunia. Berbagai perusahaan Baja yang dijadikan tempat memfokuskan diri untuk mengembangkan bakat dan menumpuk harta kekayaannya tersebar diberbagai pulau bahkan benua. Bocah yang terlahir dinegara India yang dahulu harga diri dan perekonomiannya diacak-acak dan dijungkir balikkan para kolonial penjajah, sekarang jumlah kekayaannya melejit jauh diatas keturunan oknum-oknum yang pernah menjajah nenek moyangnya.
Mengutamakan Pendidikan
Dibalik kesuksesan dan melimpahnya harta kekayaan yang dimiliki Mittal, ternyata tidak jauh dari peran dan komitmen Ayahnya, Mohan, yang menomor satukan pendidikan anak-anaknya. Bagi Mohan, pendidikan merupakan jembatan yang bisa mengentaskan mereka dari lembah kemiskinan. Melalui pendidikan seseorang berpeluang luas untuk melakukan mobilitas vertikal, baik harta kekayaan maupun penghormatan sesama manusia dan 'ketentraman' spiritualitas secara pribadi.
Setelah lulus SMA, Mittal, remaja yang dikenal teman-teman dan keluarganya sebagai anak didik yang tergolong cerdas dan tekun itu, dengan berbagai usaha jerih payah ayahnya, dikuliahkan di universitas St. Xavier's College, sebuah universitas prestisius di Kolkata (dahulu bernama Calcutta) pada masa Mittal.
Semasa menimba ilmu disana, dia diberi kebebasan orang tuanya untuk menikmati dan menimba ilmu sebaik-baiknya, tetapi karena kecerdasannya yang tinggi dan ditumpuki realitas ekonomi keluarga yang belum begitu mapan, Mittal berusaha minta izin ayahnya untuk diperbolehkan membantu pekerjaan. Dengan argumentasi belajar secara langsung, Mittal membagi waktu belajarnya sebagian digunakan untuk turut berkecimpung dalam usaha ayahnya. Mulai pukul 06.30 – 09.30 digunakannya belajar secara serius didalam gedung pendidikan formal, sementara sisa waktunya digunakan belajar secara langsung dan membantu bisnis kecil-kecilan ayahnya yang semenjak pindah dari Sadulpur, Rajasthan ke Kolkata atau Calcutta pada tahun 1955 mengalami mobilitas ekonomi walaupun tidak begitu jauh (hlm. 3).
Pada tahun 1969, setelah lulus dari universitas St. Xavier's College, Mittal mulai benar-benar menenggelamkan diri dan kecerdasannya dibelantara dunia bisnis Baja. Dengan bergabung dibawah komando Ayahnya, Mittal tidak begitu lama mulai menunjukkan prestasi-prestasi yang begitu gemilang. Pada periode 1970-an, Mittal berperan aktiv dan turut mensukseskan usaha ayahnya ketika dituntut konsumen untuk menghasilkan produksi 20 ton Baja per tahun.
Surabaya Sebagai Landas Pacu
Bertepatan dengan prestasi-prestasi yang semakin diakui keluarga, Mittal merasa gelisah, ketika kesuksesan yang dicita-citakannya terancam oleh iklim usaha di India yang tidak kondusif. Pemerintah membebankan pajak perusahaan ayahnya hingga 97 % dari jumlah sebelumya. Bukan hanya itu, tentang kuota izin usaha Baja bagi perusahaan swasta dibatasi secara keras.
Dalam keadaan yang terjepit seperti itu, Mittal yang baru berusia 26 tahun mencoba memberontak keadaan dengan meminta izin orang tuanya untuk melanjutkan dan mengembangkan bakatnya, dengan cara menghindari peraturan permerintah yang dirasa dapat mengkerdilkan perusahaan bahkan gulung tikar.
Pada tahun 1976, dengan berbagai analisis situasi dan keadaan serta kecerdasan dalam memprediksi sesuatu, Mittal bersama istri dan anaknya hijrah ke Indonesia, Surabaya. Setelah beberapa lama di Surabaya, Mittal memilih Waru, salah satu daerah dipinggiran Surabaya, untuk mendidirikan pabrik Baja yang telah terencana sebelumnya.
Diatas tanah bekas persawahan seluas 16,5 hektar, Mittal mendirikan bangunan yang dijadikan pabrik bernama PT. Ispat Indo. Disinilah Mittal mulai menyingsingkan lengan sepenuhnya. Ia menanamkan modal US$ 15.000.000 (Rp. 135 Milliar) untuk mendirikan dan memulai mengoperasikannya.
Semakin hari semakin tahun perusahaannya mulai muncul dan dikenal didunia bisnis Baja di Indonesia, walau auranya masih sedikit tertutupi oleh aura pesaing-pesaingnya yang lebih dahulu bertempat di Indonesia, semisal Nippon Steel (Jepang).
Tetapi dibalik kecerdasan dan pengalamannya yang besar serta kecerdasan dan kepiawaian sekertarisnya dalam berbahasa Inggris, tidak berapa lama PT. Ispat Indo mampu menggeser mereka dari urutan perusahaan Baja terbesar di Indonesia. Bahkan, konon dari sinilah PT. Ispat Indo mulai percaya diri dan semakin melebarkan sayapnya dengan membeli perusahan-perusahaan Baja yang hampir gulung tikar dijadikan alat meraih untung yang besar.
Hingga kini, semua juragan besi tua di Surabaya, umumnya orang Madura, mengenal Lakshmi Narayan Mittal, 65 tahun. Pabrik bajanya, Ispat Indo di Desa Kedungturi, Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur, adalah terminal akhir bagi para pengepul lokal di Jawa Timur itu. Bagi mereka, Mittal adalah partner sejati yang sepanjang 30 tahun telah membangun kepercayaan imbal balik. Kepiawaian Mittal dan orang Madura dalam bisnis besi tua membentuk kombinasi yang klop. Tanpa pasokan besi tua secara rutin, boleh jadi Ispat Indo tak berkembang secepat itu.
Pabrik besi itulah yang menjadi pijakan ekspansi bisnis baja Lakshmi Mittal ke seluruh dunia. Selama 13 tahun, pabrik baja itu dikelola dengan sentuhan tangannya secara langsung. Setelah membesarkan perusahaan pertamanya itu, sukses berikutnya datang susul-menyusul. Kini popularitas Lakshmi Mittal jauh meninggalkan Indonesia dan Sidoarjo. Puluhan industri baja berskala internasional yang tersebar di 17 negara kini ada di genggaman tangannya. Ia kini menjadi konglomerat baja terbesar di dunia.
Ispat Indo adalah debut Mittal di luar India. Pada 1976, alumnus St. Xavier's College, Calcutta, India, itu membeli pabrik baja tidak sehat, Andra Steel, yang areal pabriknya seluas delapan hektare. Pabrik yang kodisinya kembang-kempis itu kemudian digarapnya menjadi pabrik yang sehat, dengan kapasitas produksi 60.000 ton per tahun. Dalam perkembangannya, performa pabrik itu terus mengalami peningkatan, sehingga kini mampu memproduksi baja 700.000 ton per tahun.
Cerita manis Ispat Indo adalah awal yang indah bagi Lakshmi Mittal, yang ketika itu hanya anak kemarin sore dari Calcutta di bisnis baja. Mittal muda, yang bahasa Inggrisnya masih patah-patah, datang bersama istrinya, Usha, yang pada saat itu berusia 26 tahun. Bagi Mittal, pabriknya di Indonesia itu punya sejarah dan arti tersendiri karena merupakan pijakan pertamanya. Pabrik itu pula yang memberi arah hidup dan membuka jalan sukses baginya.
Setelah Ispat Indo, semua pabrik baja yang diakuisisinya diberi nama depan "Ispat", yang dalam bahasa India berarti baja. Perusahaan induknya kini bernama Arcelor-Mittal, yang kapasitas produksinya mencapai 14 juta ton per tahun, setara dengan 52 kali kapasitas produksi Krakatau Steel pada saat ini. Ayah dua anak, Aditya Mittal dan Vanisha Mittal, itu berhasil mendirikan dinasti baja kelas dunia. Ayahnya, Mohan Lal Mittal, sebelumnya merintis jalan di bidang ini di India, tapi kurang berhasil.
Dari Sidoarjo, Mittal terbang jauh ke Trinidad dan Tobago pada 1994. Di negara kepulauan yang terletak di pantai timur Amerika Tengah itu, ia mengakuisisi perusahaan baja milik pemerintah setempat, Iscoot, yang harganya jatuh, didera kesulitan likuiditas karena salah urus. Seperti biasa, rasionalisasi karyawan menjadi jurus pertamanya. Setelah itu, manajemen dibenahi, produksi dan pemasaran digenjot. Hasilnya, uang mengalir. Semuanya dikerjakan oleh tim yang diterbangkan khusus dari India.
Dari Trinidad dan Tobago, hoki Mittal berlanjut. Kali ini, sasaran ekspansinya ke Meksiko. Dengan cadangan pundi-pundinya yang makin melimpah, ia mengakuisisi Sicartsa, perusahaan baja milik pemerintah, yang juga tengah dirundung masalah. Di sinilah Mittal mendapat "jackpot".
Pabrik baja dengan teknologi tinggi dan investasi sebesar US$ 2,2 milyar itu jatuh ke tangannya hanya dengan mahar US$ 220 juta. Mittal memanfaatkan situasi perekonomian Meksiko yang sedang kolaps karena booming minyak mereka berakhir pada 1990. Akibatnya, pemerintah membutuhkan dana cash cepat dan memprivatisasi Sicartsa secara tergesa-gesa.
Setelah jatuh ke Grup Mittal, perusahaan itu kemudian diberi nama baru, Ispat Mexicana, yang berpusat di Lazaro Cardenas. Belakangan, namanya berubah menjadi Mittal Steel Lazaro Cardenas, yang menjadi tulang punggung produksi baja Kelompok Mittal Steel di seluruh dunia. Produksinya mencapai 6,7 juta ton per tahun. Daftar perusahaan baja yang dibelinya terus bertambah panjang, hingga menyebar ke 17 negara, seperti Meksiko, Kanada, Jerman, Irlandia, Inggris, Amerika Serikat, Kazakstan, dan Polandia.
Kini tak ada benua yang absen dari jaringan bisnis Arcelor-Mittal. Lewat kantor pusatnya di London, semua roda bisnisnya di seluruh dunia digerakkan. Arcelor-Mittal adalah nama baru holding company keluarga Mittal, yang semula bernama Ispat International dan Mittal Steel. Di holding baru itu, Lakshmi Mittal duduk sebagai chief executive officer. Nama Arcelor-Mittal didapat setelah Mittal mengakuisisi pabrik baja terbesar di Eropa, Arcelor, yang berlokasi di Luksemburg. Pabrik raksasa ini sebelumnya dimiliki bersama antara Pemerintah Prancis, Belgia, dan Spanyol.
Jaringan bisnis keluarga Mittal terbagi dua. Bila di luar India dikendalikan Arcelor-Mittal, yang di India dikelola dua adik laki-lakinya, Pramod Kumara Mittal dan Vinod K. Mittal, dengan nama Global Steel Holdings. Namun holding ini tidak lagi mau bermain di kandang. Ia telah pula menggurita ke Afrika dan Eropa. Dengan jaringan seluas itu, kemenangan Mittal di bisnis baja kini tak terbendung lagi. Majalah Forbes, New York, menempatkan Lakshmi Mittal di peringkat keempat orang terkaya di dunia, dengan hartanya senilai US$ 45 milyar.
Selain gelimang dolar, setumpuk apresiasi diraihnya dalam bidang baja dan bisnis. Antara lain Business Person of 2006 dari the Sunday Times, International Newsmaker of the Year 2006 dari majalah Time, dan Person of the Year 2006 dari koran Financial Times. Dari kalangan industri baja, ia mendapat penghargaan bergengsi, Willy Korf Steel Vision Award (1998) dan American Metal Market and PaineWeber's World Steel Dynamics.
Ciri utama kelompok bisnis Mittal dalam memperluas jaringannya adalah dengan mengakuisisi pabrik baja lain yang kondisinya tidak cukup bagus atau yang pertumbuhannya mandek. Setelah membeli dengan harga murah, Mittal melakukan penertiban dan mengelola dengan manajemen baru yang sangat disiplin. Di tangan timnya, perusahaan-perusahaan yang sebelumnya bermasalah disehatkan dalam waktu singkat. Dengan ekspansi yang agresif ke seluruh dunia, bisnis Mittal berkembang cepat.
Kelompok industri Mittal merambah negara-negara maju dan menguasai pabrik-pabrik terbesar di dunia. Mittal, yang dulu besar di rumah berlantai tanah, kini tinggal di Kensington Palace Gardens di London, kawasan yang dikenal sebagai kompleks jutawan dunia. Ia bertetangga dengan makhluk tajir lainnya, seperti Sultan Hasanal Bolkiah dari Brunei.
Layaknya konglomerat dunia, Mittal juga seorang filantropis. Ia mendirikan Yayasan LNM Group untuk memberikan bantuan di bidang pendidikan dan kesehatan bagi orang-orang miskin, terutama di India. Di Aceh, konglomerat ini pernah merogoh kocek US$ 500.000 untuk kemanusiaan setelah tragedi tsunami.
Tingginya pohon bisnis Mittal membuat angin makin kencang menerpa. Di berbagai tempat yang disentuhnya, muncul resistensi yang makin tinggi. Pada 2002, Lakshmi Mittal menjadi bahan berita dengan skandal “Garbagegate”. Ini skandal suap ke Perdana Menteri Inggris, Tony Blair. Pada saat itu, Mittal memerintahkan transfer sebesar US$ 2 juta ke rekening Partai Buruh pimpinan Tony Blair. Ini bukan sumbangan kemanusiaan. Kompensasinya, Tony mendorong Pemerintah Rumania agar mengeluarkan kebijakan melepas pabrik baja andalannya, Sidex, kepada Mittal Steel.
Skandal itu pertama kali diungkap anggota parlemen Inggris, Adam Price. Senator ini membeberkan copy surat Blair kepada pimpinan Rumania pada saat itu. Kepada pimpinan Rumania, Blair meminta industri baja nasional mereka, Sidex, dilepas ke Mittal's LNM Steel Company, yang ketika itu tengah mengajukan penawaran bersama beberapa peminat lainnya.
Kepada Perdana Menteri Rumania ketika itu, Adrian Nastase, Tony Blair memberi sinyal bahwa langkah melepas Sidex kepada Mittal's LNM itu akan makin mendekatkan Rumania sebagai anggota Uni Eropa. Dalam suratnya itu, Tony Blair menyebutkan bahwa Mittal adalah "seorang teman".
Di dalam negeri Inggris, skandal itu cukup menghebohkan, meski tak sampai menggulingkan rezim Tony Blair. Mittal Steel pada saat itu adalah perusahaan baja terbesar keempat di dunia dan merupakan saingan utama British Steel di pasar Eropa.
Langkah Perdana Menteri Tony Blair itu dianggap menodai nasionalisme. Namun kasus ini akhirnya redup, dan Sidex benar-benar jatuh ke tangan Mittal. Dalam menguasai industri yang dicaploknya, Mittal menggunakan modus yang sama. Dibeli pada saat harga jatuh, diobok-obok agar mitranya yang masih ada di perusahaan itu kelojotan, diambil alih penuh, baru disehatkan.
Skema itu biasanya didahului satu hal: lobi tingkat tinggi. Lihat saja Sidex. Sebelum dibeli Mittal dari Pemerintah Rumania, pabrik baja ini mampu berproduksi 5 juta ton per tahun. Denyut nadi pabrik ini menghidupi 150.000 warga kota Galati. Ketika terjadi krisis moneter pada 1990, Sidex rugi 175 juta poundsterling. Namun, menurut perhitungan, total asetnya masih mencapai US$ 1,1 milyar pada saat diakuisisi.
Melalui negosiasi intensif selama lebih dari lima bulan, Mittal LNM Holdings mengakuisisi 90% saham Sidex dengan komitmen pembayaran tunai. Namun pada akhirnya Mittal hanya membayar US$ 70 juta. Komitmen menyelamatkan 27.000 karyawan dan menggelontorkan dana segar ternyata tidak sepenuhnya ditepati. Sebanyak 7.400 pekerja Sidex dipecat setelah akuisisi itu. Anehnya, Perdana Menteri Rumania, Calin Popescu Tariceanu, mengatakan bahwa privatisasi Sidex merupakan contoh bagaimana privatisasi bisa mengubah "lubang hitam" menjadi rencana yang menguntungkan.
Proses akuisisi oleh kelompok usaha Mittal, tak bisa dimungkiri, kerap menimbulkan efek samping. Di berbagai belahan dunia, gejolak selalu timbul mengiringi masuknya raksasa India ini. Di Afrika Selatan, LNM Holdings membeli perusahaan baja lokal milik pemerintah, Iscor, pada 2001. Namun, dalam proses akuisisinya, terjadi banyak keruwetan. Belakangan, Mittal South Africa diancam penalti US$ 96 juta karena dituding melakukan pengaturan harga (price fixing). Kasusnya kini masih ditangani otoritas setempat.
Di Indonesia, jejak Mittal juga dinodai isu miring. Di Surabaya, Ispat Indo mengakuisisi Pabrik Paku Sidoarjo, sehingga menyebabkan gangguan pada bagian hilir, yaitu industri paku. Di sebagian negara, manajemen Mittal menimbulkan benturan budaya. Di Aljazair, industri baja Sider, yang diakuisisi pada 2006, mendapat protes keras dari karyawannya. Pasalnya, Mittal menetapkan libur bagi karyawannya hari Jumat-Sabtu. Padahal, tradisi muslim lokal selama ini memilih Kamis-Jumat sebagai hari libur.
Protes dan ancaman mogok menguat setelah Mittal mengumumkan pengurangan 1.200 dari 8.000 karyawannya. Dengan beberapa kejadian yang ada, tak mengherankan jika resistensi terhadap Mittal timbul di mana-mana. Awal bulan ini, Presiden Nigeria, Umaru Yar'Adua, membatalkan penjualan pabrik bajanya, Ajaokuta Steel Company. Presiden Nigeria yang baru itu menggunting komitmen Mittal dengan Presiden Nigeria sebelumnya, Olusegun Obasanjo, karena menduga ada praktek tidak sehat dalam proses akuisisi itu.
Pramod Mittal, salah satu saudara Lakshmi Mittal, mengakuisisi pabrik baja yang telah berumur 27 tahun itu melalui bendera The Global Steel Infrastructures Holding Limited (GIHL). Namun pemerintah setempat mencium indikasi bahwa GIHL ternyata tidak menanamkan investasi. Ia hanya meminjam uang US$ 192 juta dari Bank Nigerian, dengan jaminan Ajaokuta Steel itu sendiri. Pihak Mittal juga akan melepas obligasi senilai US$ 3 juta. Selain itu, ada kecurigaan bahwa penguasaan ini akan menyebabkan monopoli dan merusak harga pasar baja Nigeria.
Di Indonesia, penolakan serupa juga terjadi. Ketika pemerintah memberi lampu hijau kepada Mittal untuk masuk ke Krakatau Steel (KS), manajemen perusahaan itu langsung menyatakan keberatan. Komisaris Utama KS, Taufiequrachman Ruki, menilai privatisasi KS ke pengusaha India itu mengandung bahaya. Menurut mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu, di Rumania, Aljazair, Prancis, dan Nigeria, tempat Mittal masuk dengan cara yang sama, menimbulkan masalah denasionalisasi industri baja mereka dan terjadi gejolak tenaga kerja.
Presiden Prancis, Nicholas Sarkozy, kata Ruki, sampai harus mengeluarkan US$ 40 juta untuk menghidupkan kembali pabrik bajanya yang ditutup Mittal di Granrage. Langkah Mittal mengakuisisi sejumlah pabrik baja di dunia, kata dia, berdampak negatif pada buruh dan pertumbuhan ekonomi. Sekitar 3.600 karyawan baja di Rumania mogok karena pemotongan gaji oleh Mittal.
Ruki juga mengungkapkan keluh kesah Presiden Aljazair yang pernah diundang direksi dan komisaris KS, tahun lalu. Ruki mengajak semua pihak juga menilai bagaimana rekam jejak pengusaha India itu. "Di Bekasi, investasi mereka bermasalah, bahkan manajer mereka di- DPO (dimasukkan dalam daftar pencarian orang --Red.) oleh Polri," ujarnya.
Menurut Ruki, pengusaha India itu bukan ingin memajukan industri baja, melainkan hanya mau mengusai pasar untuk kepentingan pabriknya yang ada di India. Jangan sampai, lanjut Ruki, privatisasi KS bernasib seperti Indosat atau Jakarta Container Terminal, yang justru belakangan disesali. Namun teriakan Ruki agaknya kurang keras, sehingga tak terdengar sampai ke istana. Kamis pekan lalu, Lakshmi Mittal bertandang ke Istana Presiden.
Jutawan India itu mempresentasikan rencana pembangunan pabrik baja terintegrasi berkapasitas 5 juta ton per tahun, dan akuisisi KS masuk sebagai salah satu agendanya. Selain itu, Mittal berencana menginvestasikan sebagian kekayaannya untuk menggarap bisnis hulu, bekerja sama dengan PT Aneka Tambang. Keduanya akan menggarap industri tambah bijih besi sebagai bahan baku utama industri metal baja. Beberapa tempat di Kalimantan telah disurvei.
Daftar orang terkaya 2008 versi majalah Forbes :
1. warren buffet, U.S, $62bil
2. carlos slim helu, mexico, $60bil
3. bill gates, U.S, $58bil
4. lakshmi mittal, india, $45bil
5. mukesh ambani, india, $43bil
6. anil ambani, india, $42bil
7. ingvar kamprad, sweden $31bil
8. K.P. singh, india, $30bil
9. oleg deripaska, russia, $28bil
10. karl albrecht, germany, $27bil (
11. li ka shing, hong kong, $26bil
12. sheldon adelson, U.S, $26bil,
13. bernard arnault, france, $25.5bil
14. lawrence elison, U.S, $25bil
15. roman abramovich, russia, $23.5 bil
16. theo albrecht, germany, $23bil
17. liliane bettencourt, france, $22.9bil
18. alexei mordashov, russia, $21.2bil
19. prince alwaleed, saudi arabia, $21bil
20. mikhail fridman, russia, $20.8bi
sedotan.blogspot.com
No comments:
Post a Comment