Sejumlah pakar meyakini bahwa Perang Dunia III akan dimulai 100 tahun setelah yang pertama dan akan memakan korban ratusan juta jiwa. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa perang itu kini telah berlangsung, mendekati penyelesaian tahap pertamanya.
Konstantin Sivkov, wakil rektor pertama untuk Akademi Isu-isu Geopolitik Rusia, mengembangkan sebuah konsep ilmiah tentang alasan, tahapan, dan kerangka waktu dari Perang Dunia II. Ia berbagi prediksinya dengan Svobodnaya Pressa.
Sivkokv meyakini bahwa planet Bumi telah mengalami sebuah krisis peradaban global. Krisis itu disebabkan oleh beberapa ketidakseimbangan, antara lain: konflik antara pertumbuhan produksi/konsumsi dan ketersediaan sumber daya; konflik antara negara berkembang yang ’miskin’ dan negara maju industrialis yang ’kaya’, antar bangsa dan elit transnasional; konflik antara pasar bebas dengan kekuasaan uang dan akar spiritual dari berbagai peradaban, termasuk Ortodoks, Muslim, Budha, dan lainnya.
”Analisis tentang kemungkinan solusi dari ketidakseimbangan dan konflik ini memperlihatkan bahwa sifat mereka pada dasarnya antagonistik, dan krisis tersebut tidak dapat diselesaikan tanpa pelanggaran yang signifikan terhadap kepentingan sejumlah subyek geopolitik besar. Ini berarti bahwa partisipasi kekuatan militer tidak terhindarkan. Mengingat karakter global dari krisis ini, dapat kita asumsikan bahwa partisipasi militer juga akan bersifat global,” ujar Sivkov.
Ia memprediksikan bahwa Perang Dunia III akan bersifat koalisional. Negara-negara akan membentuk koalisi berdasarkan loyalitas mereka kepada salah satu dari dua model tatanan dunia.
Model pertama adalah dunia hirarki yang beradab. Sedikit brutalitas akan menghancurkan seluruh kemanusiaan. Model yang kedua adalah dukungan mutual yang beradab atau harmoni beradab.
”Dengan kata lain, perang akan dilakukan untuk menentukan basis spiritual dari tatanan dunia yang baru. Itu akan didasarkan pada individualisme, keegoisan dan penindasan, atau komunitas, dominasi kepentingan mutual untuk bertahan dan berkembang dan saling mendukung satu sama lain. Ini adalah perbedaan utama di antara perang yang akan terjadi dan perang-perang sebelumnya yang dilakukan untuk redistribusi ekonomi.”
Dua koalisi telah ada. Pertama adalah aliansi dari negara maju industrialis yang diwakili oleh peradaban Barat. Pondasi spirirtual dari koalisi ini didasarkan pada individualisme dan kepemilikan material yang menghasilkan kekuasaan uang. Inti politik dan militer dari koalisi ini diwakili oleh blok NATO.
Koalisi kedua meliputi negara-negara Ortodoks, Islam, dan peradaban-peradaban lain yang didasarkan pada dominasi spiritual atas material. Koalisi ini tertarik pada tatanan dunia yang multipolar. Namun, negara-negara ini belum menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan geopolitik yang saling menguntungkan, apalagi kebutuhan di dalam persatuan politik atau militer.
“Negara-negara yang bukan merupakan bagian dari peradaban Barat tidak siap untuk konfrontasi militer baik kesiapan organisasional maupun teknis. Di sisi lain, koalisi ini memiliki penduduk dan kontrol atas sumber daya alam dan wilayah dalam jumlah mayoritas. Hal ini sangat memperbesar peluang mereka untuk memenangkan perang yang panjang dan memiliki situasi yang menguntungkan untuk melawan agresor dalam tahap-tahap awal perang.”
“Potensi keuntungan lainnya adalah serangan simultan dari segala arah secara praktik mustahil dilakukan. Ini memberikan cadangan waktu untuk konsolidasi negara-negara ke dalam koalisi anti-imperialistik. Ada kemungkinan mendukung negara-negara yang akan menjadi korban pertama agresor,” ujar Sivkov.
Sang ilmuwan yakin bahwa perang telah dimulai. Sejauh ini masih dalam tahap yang relatif damai.
“Tahap pertama yang dapat kita sebut ‘upaya resolusi krisis penuh damai’ akan segera berakhir. Pertempuran konferensi tingkat tinggi 20G di medan tempur kini jelas tidak membawa hasil. Pernyataan provokatif Imedi dan Helsingin Sanomat menandai dimulainya tahapan kedua, yang dapat kita sebut ‘periode ketiga sebelum dimulainya perang dunia’.” Dalam tahap ini, peradaban Barat telah memulai persiapan untuk perang dan konflik bersenjata lokal untuk sumber-sumber daya.
Aksi utama di tahap ini adalah operasi informasi dan aksi dalam area ekonomi yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari sanksi ekonomi hingga serangan teroris terhadap fasilitas industri, serta berbagai aktivitas berbeda dari Pasukan Khusus,” ujar Sivkov.
“Dalam beberapa tahun, tahapan ketiga akan dimulai, tahap ‘perang terbatas’ yang kemudian akan berubah menjadi perang dunia skala penuh dengan berbagai jenis senjata.”
Satu-satunya faktor pembatas saat ini adalah potensi nuklir Rusia. Menurut prediksi sang ilmuwan, Barat akan berusaha menyingkirkan tameng nuklir Rusia.
“Mempertimbangkan situasi di Rusia, ketika kolom kelima Barat secara signifikan mempengaruhi keputusan dalam sektor pertahanan Rusia, terutama arah yang akan diambil oleh pasukan bersenjata Rusia, dapat kita harapkan bentuk kontrak SNF yang akan menghilangkan tameng nuklir Rusia. Tentu saja, itu akan dilakukan dengan kedok perjuangan indah untuk dunia tanpa senjata nuklir.”
“Rusia mungkin akan mengalami eliminasi fisik dari potensi nuklirnya dalam tahapan pertama perang dunia dengan transisi lebih jauh dari koalisi neo-imperialistik untuk membatasi penggunaan senjata nuklir, yang akan membawakannya kemenangan di dalam perang,” ujar Sivkov.
Ia meyakini bahwa agresor tidak akan berhenti dengan kemungkinan jatuhnya korban jiwa ratusan juta orang.
“Sejarah menunjukkan bahwa elit peradaban ‘egois’ tidak akan dihentikan oleh pengorbanan manusia bila ada jaminan mereka sendiri akan selamat di dalam bunker-bunker. Analisis ini memperlihatkan bahwa jika perang dunia yang baru terjadi, itu akan menyentuh mayoritas penduduk dunia, semua benua, lautan, dan samudera. Lebih dari 100 juta orang akan berpartisipasi dalam perang ini. Total kehilangan demografis mungkin akan melebihi beberapa ratus juta orang. Karena itu, semua orang jujur di muka Bumi, termasuk mereka yang membentuk koalisi ‘egois’ harus melakukan segala yang mereka bisa untuk tidak membiarkan itu terjadi. Untuk melakukannya, kita harus memitigasi dengan kekuatan hukum atau metode-metode lain, keserakahan para konglomerat nasional dan transnasional dari sektor finansial. Kita harus menghentikan politisi mereka yang ambisius, serakah, tidak tahu malu, dan terkadang bodoh itu. Ini hanya dapat dilakukan berdasarkan upaya konsolidasi internasional,” ujar sang ahli merangkum analisisnya.
Sumber: Suara Media
Konstantin Sivkov, wakil rektor pertama untuk Akademi Isu-isu Geopolitik Rusia, mengembangkan sebuah konsep ilmiah tentang alasan, tahapan, dan kerangka waktu dari Perang Dunia II. Ia berbagi prediksinya dengan Svobodnaya Pressa.
Sivkokv meyakini bahwa planet Bumi telah mengalami sebuah krisis peradaban global. Krisis itu disebabkan oleh beberapa ketidakseimbangan, antara lain: konflik antara pertumbuhan produksi/konsumsi dan ketersediaan sumber daya; konflik antara negara berkembang yang ’miskin’ dan negara maju industrialis yang ’kaya’, antar bangsa dan elit transnasional; konflik antara pasar bebas dengan kekuasaan uang dan akar spiritual dari berbagai peradaban, termasuk Ortodoks, Muslim, Budha, dan lainnya.
”Analisis tentang kemungkinan solusi dari ketidakseimbangan dan konflik ini memperlihatkan bahwa sifat mereka pada dasarnya antagonistik, dan krisis tersebut tidak dapat diselesaikan tanpa pelanggaran yang signifikan terhadap kepentingan sejumlah subyek geopolitik besar. Ini berarti bahwa partisipasi kekuatan militer tidak terhindarkan. Mengingat karakter global dari krisis ini, dapat kita asumsikan bahwa partisipasi militer juga akan bersifat global,” ujar Sivkov.
Ia memprediksikan bahwa Perang Dunia III akan bersifat koalisional. Negara-negara akan membentuk koalisi berdasarkan loyalitas mereka kepada salah satu dari dua model tatanan dunia.
Model pertama adalah dunia hirarki yang beradab. Sedikit brutalitas akan menghancurkan seluruh kemanusiaan. Model yang kedua adalah dukungan mutual yang beradab atau harmoni beradab.
”Dengan kata lain, perang akan dilakukan untuk menentukan basis spiritual dari tatanan dunia yang baru. Itu akan didasarkan pada individualisme, keegoisan dan penindasan, atau komunitas, dominasi kepentingan mutual untuk bertahan dan berkembang dan saling mendukung satu sama lain. Ini adalah perbedaan utama di antara perang yang akan terjadi dan perang-perang sebelumnya yang dilakukan untuk redistribusi ekonomi.”
Dua koalisi telah ada. Pertama adalah aliansi dari negara maju industrialis yang diwakili oleh peradaban Barat. Pondasi spirirtual dari koalisi ini didasarkan pada individualisme dan kepemilikan material yang menghasilkan kekuasaan uang. Inti politik dan militer dari koalisi ini diwakili oleh blok NATO.
Koalisi kedua meliputi negara-negara Ortodoks, Islam, dan peradaban-peradaban lain yang didasarkan pada dominasi spiritual atas material. Koalisi ini tertarik pada tatanan dunia yang multipolar. Namun, negara-negara ini belum menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan geopolitik yang saling menguntungkan, apalagi kebutuhan di dalam persatuan politik atau militer.
“Negara-negara yang bukan merupakan bagian dari peradaban Barat tidak siap untuk konfrontasi militer baik kesiapan organisasional maupun teknis. Di sisi lain, koalisi ini memiliki penduduk dan kontrol atas sumber daya alam dan wilayah dalam jumlah mayoritas. Hal ini sangat memperbesar peluang mereka untuk memenangkan perang yang panjang dan memiliki situasi yang menguntungkan untuk melawan agresor dalam tahap-tahap awal perang.”
“Potensi keuntungan lainnya adalah serangan simultan dari segala arah secara praktik mustahil dilakukan. Ini memberikan cadangan waktu untuk konsolidasi negara-negara ke dalam koalisi anti-imperialistik. Ada kemungkinan mendukung negara-negara yang akan menjadi korban pertama agresor,” ujar Sivkov.
Sang ilmuwan yakin bahwa perang telah dimulai. Sejauh ini masih dalam tahap yang relatif damai.
“Tahap pertama yang dapat kita sebut ‘upaya resolusi krisis penuh damai’ akan segera berakhir. Pertempuran konferensi tingkat tinggi 20G di medan tempur kini jelas tidak membawa hasil. Pernyataan provokatif Imedi dan Helsingin Sanomat menandai dimulainya tahapan kedua, yang dapat kita sebut ‘periode ketiga sebelum dimulainya perang dunia’.” Dalam tahap ini, peradaban Barat telah memulai persiapan untuk perang dan konflik bersenjata lokal untuk sumber-sumber daya.
Aksi utama di tahap ini adalah operasi informasi dan aksi dalam area ekonomi yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari sanksi ekonomi hingga serangan teroris terhadap fasilitas industri, serta berbagai aktivitas berbeda dari Pasukan Khusus,” ujar Sivkov.
“Dalam beberapa tahun, tahapan ketiga akan dimulai, tahap ‘perang terbatas’ yang kemudian akan berubah menjadi perang dunia skala penuh dengan berbagai jenis senjata.”
Satu-satunya faktor pembatas saat ini adalah potensi nuklir Rusia. Menurut prediksi sang ilmuwan, Barat akan berusaha menyingkirkan tameng nuklir Rusia.
“Mempertimbangkan situasi di Rusia, ketika kolom kelima Barat secara signifikan mempengaruhi keputusan dalam sektor pertahanan Rusia, terutama arah yang akan diambil oleh pasukan bersenjata Rusia, dapat kita harapkan bentuk kontrak SNF yang akan menghilangkan tameng nuklir Rusia. Tentu saja, itu akan dilakukan dengan kedok perjuangan indah untuk dunia tanpa senjata nuklir.”
“Rusia mungkin akan mengalami eliminasi fisik dari potensi nuklirnya dalam tahapan pertama perang dunia dengan transisi lebih jauh dari koalisi neo-imperialistik untuk membatasi penggunaan senjata nuklir, yang akan membawakannya kemenangan di dalam perang,” ujar Sivkov.
Ia meyakini bahwa agresor tidak akan berhenti dengan kemungkinan jatuhnya korban jiwa ratusan juta orang.
“Sejarah menunjukkan bahwa elit peradaban ‘egois’ tidak akan dihentikan oleh pengorbanan manusia bila ada jaminan mereka sendiri akan selamat di dalam bunker-bunker. Analisis ini memperlihatkan bahwa jika perang dunia yang baru terjadi, itu akan menyentuh mayoritas penduduk dunia, semua benua, lautan, dan samudera. Lebih dari 100 juta orang akan berpartisipasi dalam perang ini. Total kehilangan demografis mungkin akan melebihi beberapa ratus juta orang. Karena itu, semua orang jujur di muka Bumi, termasuk mereka yang membentuk koalisi ‘egois’ harus melakukan segala yang mereka bisa untuk tidak membiarkan itu terjadi. Untuk melakukannya, kita harus memitigasi dengan kekuatan hukum atau metode-metode lain, keserakahan para konglomerat nasional dan transnasional dari sektor finansial. Kita harus menghentikan politisi mereka yang ambisius, serakah, tidak tahu malu, dan terkadang bodoh itu. Ini hanya dapat dilakukan berdasarkan upaya konsolidasi internasional,” ujar sang ahli merangkum analisisnya.
Sumber: Suara Media
No comments:
Post a Comment