MIRIS benar memperhatikan prilaku negatif anggota DPR. Fasilitas yang telah diberikan kepada mereka ternyata tidaklah mampu menjadi wakil rakyat yang diharapkan. Simaklah pengakuan mantan anggota DPR yang kini menjadi hakim konstitusi Mahfud MD.
Dalam laporan kekayaan penyenyelenggaraan negara, Mahfud menceritakan pendapatan per bulan selama menjadi anggota DPR sebesar Rp 48 juta belum termasuk bantuan sewa rumah sebesar Rp 12 juta per bulan karena perumahan anggota DPR sedang direnovasi.
Tentu jauh dari pendapatan masyarakat umum yang diwakilinya. Itupun, para wakil rakyat tetap sering mengeluhkan minimnya fasilitas yang mereka nikmati. Mereka tidak jarang meminta fasilitas tambahan, hingga pembelian mesin cuci.
Ternyata semua fasilitas yang diberikan negara belumlah cukup, sehingga sebagian anggota DPR pun meminta ‘’fasilitas’’ tambahan kepada pihak lain.
Seperti yang terungkap dari kasus suap yang melibatkan Sekretaris Kabupaten Bintan Azirwan dengan anggota Komisi IV dari Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nur Nasution. Azirwan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi beberapa waktu lalu mengungkapkan setidaknya sembilan kali dirinya keluar masuk hotel berbintang dan karaoke menjamu anggota DPR.
Dia tidak hanya menjamu Al Amin, tetapi anggota Komisi IV lainnya. Sekali menjamu, dia harus merogoh kocek Rp 6 juta hingga Rp 9 juta. Tentu itu bukan uang pribadi, tetapi APBD kabupaten yang baru saja mengalami pemekaran. Bayangkan
uang APBD digunakan bukan untuk kesejahteraan masyarakatnya, tetapi untuk menjamu anggota DPR yang merasa dirinya terhormat itu.
Keheranan tersebut juga disampaikan ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus Azirwan, Mansyurdin Chaniago. Dia berulangkali mempertanyakan mengapa APBD digunakan untuk hal tersebut. Dia juga mempertanyakan, mengapa pertemuan untuk pembahasan atau lobi dilakukan tidak di Gedung DPR tetapi justru di hotel berbintang atau di tempat karaoke.
Dalam dakwaan jaksa penuntut umum, pertemuan antara Azirwan dengan anggota Komisi IV dilakukan setidaknya di ruang Karaoke Shanghai Hotel Borobudur, ruang KTV Emporium, Oak Room Hotel Nikko, dan Pub Mistere Hotel Ritz Charlton.
Namun Azirwan mengaku tidak punya pilihan. Yang dilakukannya untuk memuluskan proses alih fungsi hutan lindung untuk pusat pemerintahan Kabupaten Bintan. Dia bahkan mengaku, pemberian fasilitas kepada anggota DPR tidak hanya berupa hotel berbintang dan tempat karaoke, tetapi berupa uang yang jumlahnya cukup besar. Dalam dakwaan jaksa, Azirwan menjanjikan uang sebesar Rp 2 miliar. Kemudian Al Amin mengatakan akan membicarkan hal tersebut kepada anggota Komisi IV yang lain.
Tidak cukup dengan angka dua miliar, Al Amin minta ditambah menjadi Rp 3 miliar. Belum ditambah dana kunjungan kerja anggota DPR ke India sebesar Rp 100 juta. Padahal, menurut Mahfud, uang sisa kunjungan kerja ke luar negeri dipotong akomodasi dan biaya lainnya, setiap anggota dewan mengantongi bersih uang sebesar 7.500 dolar AS atau sekitar Rp 45 juta.
Contoh gamblang tidak hanya digambarkan dalam kasus Al Amin, tetapi juga semua anggota DPR yang terlibat kasus korupsi yang kini tengah di proses di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam kasus aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 juga terungkap, pembahasan dan lobi dilakukan di hotel berbintang.
Seperti di sebuah restoran China di Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan). Tidak tanggung-tanggung, dana yang dikucurkan ke DPR sebesar Rp 31,5 miliar yang berasal dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) milik BI. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka yang berasal dari DPR, Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin keduanya politisi Partai Golkar.
Selain berupa pelayanan hotel berbintang dan tempat karaoke berkelas, dalam kasus Al Amin pun terungkap dalam rekaman percakapan yang diputar di pengadilan tindak pidana korupsi beberapa waktu lalu bahwa dia juga minta ditemani seorang wanita cantik. Meski hal tersebut dibantah dengan tegas oleh Al Amin, secara terpisah Azirwan membenarkan rekaman percakapan tersebut merupakan suara dirinya dengan Al Amin Nur Nasution.
(Mahendra Bungalan /Suara Merdeka)
Dalam laporan kekayaan penyenyelenggaraan negara, Mahfud menceritakan pendapatan per bulan selama menjadi anggota DPR sebesar Rp 48 juta belum termasuk bantuan sewa rumah sebesar Rp 12 juta per bulan karena perumahan anggota DPR sedang direnovasi.
Tentu jauh dari pendapatan masyarakat umum yang diwakilinya. Itupun, para wakil rakyat tetap sering mengeluhkan minimnya fasilitas yang mereka nikmati. Mereka tidak jarang meminta fasilitas tambahan, hingga pembelian mesin cuci.
Ternyata semua fasilitas yang diberikan negara belumlah cukup, sehingga sebagian anggota DPR pun meminta ‘’fasilitas’’ tambahan kepada pihak lain.
Seperti yang terungkap dari kasus suap yang melibatkan Sekretaris Kabupaten Bintan Azirwan dengan anggota Komisi IV dari Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nur Nasution. Azirwan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi beberapa waktu lalu mengungkapkan setidaknya sembilan kali dirinya keluar masuk hotel berbintang dan karaoke menjamu anggota DPR.
Dia tidak hanya menjamu Al Amin, tetapi anggota Komisi IV lainnya. Sekali menjamu, dia harus merogoh kocek Rp 6 juta hingga Rp 9 juta. Tentu itu bukan uang pribadi, tetapi APBD kabupaten yang baru saja mengalami pemekaran. Bayangkan
uang APBD digunakan bukan untuk kesejahteraan masyarakatnya, tetapi untuk menjamu anggota DPR yang merasa dirinya terhormat itu.
Keheranan tersebut juga disampaikan ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus Azirwan, Mansyurdin Chaniago. Dia berulangkali mempertanyakan mengapa APBD digunakan untuk hal tersebut. Dia juga mempertanyakan, mengapa pertemuan untuk pembahasan atau lobi dilakukan tidak di Gedung DPR tetapi justru di hotel berbintang atau di tempat karaoke.
Dalam dakwaan jaksa penuntut umum, pertemuan antara Azirwan dengan anggota Komisi IV dilakukan setidaknya di ruang Karaoke Shanghai Hotel Borobudur, ruang KTV Emporium, Oak Room Hotel Nikko, dan Pub Mistere Hotel Ritz Charlton.
Namun Azirwan mengaku tidak punya pilihan. Yang dilakukannya untuk memuluskan proses alih fungsi hutan lindung untuk pusat pemerintahan Kabupaten Bintan. Dia bahkan mengaku, pemberian fasilitas kepada anggota DPR tidak hanya berupa hotel berbintang dan tempat karaoke, tetapi berupa uang yang jumlahnya cukup besar. Dalam dakwaan jaksa, Azirwan menjanjikan uang sebesar Rp 2 miliar. Kemudian Al Amin mengatakan akan membicarkan hal tersebut kepada anggota Komisi IV yang lain.
Tidak cukup dengan angka dua miliar, Al Amin minta ditambah menjadi Rp 3 miliar. Belum ditambah dana kunjungan kerja anggota DPR ke India sebesar Rp 100 juta. Padahal, menurut Mahfud, uang sisa kunjungan kerja ke luar negeri dipotong akomodasi dan biaya lainnya, setiap anggota dewan mengantongi bersih uang sebesar 7.500 dolar AS atau sekitar Rp 45 juta.
Contoh gamblang tidak hanya digambarkan dalam kasus Al Amin, tetapi juga semua anggota DPR yang terlibat kasus korupsi yang kini tengah di proses di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam kasus aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 juga terungkap, pembahasan dan lobi dilakukan di hotel berbintang.
Seperti di sebuah restoran China di Hotel Hilton (sekarang Hotel Sultan). Tidak tanggung-tanggung, dana yang dikucurkan ke DPR sebesar Rp 31,5 miliar yang berasal dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) milik BI. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua tersangka yang berasal dari DPR, Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin keduanya politisi Partai Golkar.
Selain berupa pelayanan hotel berbintang dan tempat karaoke berkelas, dalam kasus Al Amin pun terungkap dalam rekaman percakapan yang diputar di pengadilan tindak pidana korupsi beberapa waktu lalu bahwa dia juga minta ditemani seorang wanita cantik. Meski hal tersebut dibantah dengan tegas oleh Al Amin, secara terpisah Azirwan membenarkan rekaman percakapan tersebut merupakan suara dirinya dengan Al Amin Nur Nasution.
(Mahendra Bungalan /Suara Merdeka)
No comments:
Post a Comment