Perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih "mendewakan" materi telah "memaksa" terjadinya permainan uang dan korupsi.
"Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian `terpaksa` korupsi kalau sudah menjabat," kata pengamat sosial politik dari IAIN Sumut, Drs Ansari Yamamah, MA di Medan, Senin.
Ansari mengatakan, masyarakat sedang "sakit" akibat perilaku konsumtif sehingga selalu menetapkan standard materi terhadap seseorang calon pemimpin.
Perilaku itu dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat yang sering meminta dan "mengemis" sesuatu kepada setiap orang yang punya hajat, seperti dalam Pemilu atau pemilihan kepala daerah (Pilkada).
"Masyarakat tidak lagi memperhatikan latar belakang dan mempertanyakan program atau visi-misi calon pejabat yang bersangkutan sebagai pertimbangan dalam memberikan pilihan politiknya.Masyarakat lebih sering bertanya apa yang akan mereka dapatkan," katanya.
Menurut Ansari, kondisi masyarakat yang materialistik dan konsumtif itu justru peluang bagi calon pejabat yang bermental kotor tetapi memiliki persediaan materi yang banyak.
"Akhirnya orang bodoh pun bisa menjadi pejabat asalkan mempunyai duit yang banyak," katanya.
Ia juga menyatakan hampir tidak ada partai politik (Parpol) yang mau mengusung calon pejabat yang tidak memiliki uang banyak, meski memiliki kapasitas, kualitas, program dan latar belakang yang baik.
Karena harus memuaskan "nafsu materialistik" masyarakat dan parpol itu, seorang calon pejabat yang ingin bertarung dalam pilkada harus menyiapkan dana yang sangat besar yang jumlahnya mencapai puluhan, bahkan ratusan miliar rupiah, katanya.
Karena itu, menurut dia, tidak mengherankan jika pejabat yang bersangkutan harus melakukan berbagai cara, termasuk korupsi dan kolusi untuk mengembalikan "modalnya" kalau sudah mendapatkan jabatan.
"Kalau sudah begini, sampai kiamat pun korupsi tidak akan berhenti," kata alumni Leiden University, Belanda tersebut.
"Dengan kondisi itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian `terpaksa` korupsi kalau sudah menjabat," kata pengamat sosial politik dari IAIN Sumut, Drs Ansari Yamamah, MA di Medan, Senin.
Ansari mengatakan, masyarakat sedang "sakit" akibat perilaku konsumtif sehingga selalu menetapkan standard materi terhadap seseorang calon pemimpin.
Perilaku itu dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat yang sering meminta dan "mengemis" sesuatu kepada setiap orang yang punya hajat, seperti dalam Pemilu atau pemilihan kepala daerah (Pilkada).
"Masyarakat tidak lagi memperhatikan latar belakang dan mempertanyakan program atau visi-misi calon pejabat yang bersangkutan sebagai pertimbangan dalam memberikan pilihan politiknya.Masyarakat lebih sering bertanya apa yang akan mereka dapatkan," katanya.
Menurut Ansari, kondisi masyarakat yang materialistik dan konsumtif itu justru peluang bagi calon pejabat yang bermental kotor tetapi memiliki persediaan materi yang banyak.
"Akhirnya orang bodoh pun bisa menjadi pejabat asalkan mempunyai duit yang banyak," katanya.
Ia juga menyatakan hampir tidak ada partai politik (Parpol) yang mau mengusung calon pejabat yang tidak memiliki uang banyak, meski memiliki kapasitas, kualitas, program dan latar belakang yang baik.
Karena harus memuaskan "nafsu materialistik" masyarakat dan parpol itu, seorang calon pejabat yang ingin bertarung dalam pilkada harus menyiapkan dana yang sangat besar yang jumlahnya mencapai puluhan, bahkan ratusan miliar rupiah, katanya.
Karena itu, menurut dia, tidak mengherankan jika pejabat yang bersangkutan harus melakukan berbagai cara, termasuk korupsi dan kolusi untuk mengembalikan "modalnya" kalau sudah mendapatkan jabatan.
"Kalau sudah begini, sampai kiamat pun korupsi tidak akan berhenti," kata alumni Leiden University, Belanda tersebut.
No comments:
Post a Comment