“PAK, apa yang Bapak ketahui tentang Prabowo? Siapa sebenarnya dia? Mohon info.” Itulah pesan singkat (SMS) yang masuk ke ponsel saya kira-kira setahun yang lalu. Waktu itu, partai yang bernama Gerindra dan di dalamnya ada Prabowo Subianto belum muncul ke ranah publik.
Pengirim SMS di atas adalah teman saya seorang rohaniwan? “Hari gini nggak tahu siapa Prabowo Subianto?” Dalam hati saya berpikir seperti itu?
Ada urusan apa seorang rohaniwan dengan Prabowo Subianto? Untuk menjawab rasa penasaran ini, beberapa hari kemudian saya ke rumahnya. Sang rohaniwan menceritakan bahwa dia baru saja mendapatkan penglihatan lewat mimpi. Dalam mimpinya itu dia melihat ada sosok Prabowo Subianto yang sedang berhadapan dengan orang-orang yang akan menyerang dia. Orang-orang yang disebutnya akan menyerang Prabowo Subianto itu berpakaian jubah putih dan berwajah beringas penuh dengan amarah.
Teman saya yang rohaniwan itu lantas mengaitkan sosok Prabowo Subianto dengan “mungkin tidak dia jadi presiden?” Dia bertanya dan minta pendapat kepada saya sebagai seorang wartawan, sekaligus ingin tahu siapa sesungguhnya Prabowo Subianto.
Prabowo Subianto jadi presiden? Mana mungkin? Ibarat kartu, Prabowo Subianto dengan tapakan sejarah yang dilaluinya di masa lalu adalah kartu mati. Ibarat orang sudah mati, Prabowo Subianto tidak mungkin bangkit lagi.
Itulah pandapat pribadi yang saya sampaikan kepada teman saya itu. Namun sang rohaniwan tetap berpegang teguh pada mimpinya bahwa segala sesuatu bisa berubah. Mendengar ini saya cuma tertawa, sebab dalam soal beginian saya lebih mengandalkan akal sehat (logika) daripada hal-hal yang berada di awang-awang dan (maaf) berbau mistik.
Bisa jadi, iman saya sangat dangkal, sehingga selalu menganggap enteng sesuatu yang di kalangan para rohaniwan atau agamawan disebut sebagai ‘penglihatan’ atau ‘mimpi’, meskipun saya tidak menutup mata banyak kisah di dalam kitab suci yang menjadi kenyataan setelah ada peristiwa penglihatan atau mimpi.
Kembali ke Prabowo Subianto. Bagaimana mungkin dia menjadi presiden jika ingatan banyak orang di sini belum hilang saat dia ikut ‘berperan’ dalam kerusuhan Mei 1998, terlepas benar atau tidak. Bagaimana mungkin Prabowo Subianto bisa menjadi presiden jika banyak orang mengenalnya sebagai sosok yang temperamental alias mudah marah dan emosional. Prabowo Subianto oleh teman-temannya juga dikenal sebagai sosok yang tanpa berpikir panjang jika akan melakukan sesuatu.
Lha, kalau karakter seperti itu sudah begitu tertanam kuat dalam dirinya, rakyat mana yang akan bersimpati mendukung jika Prabowo Subianto mencalonkan diri menjadi presiden?
PRABOWO SUBIANTO DITOLAK
Berita yang saya kutip dari koran Suara Merdeka Semarang yang terbit pada Oktober tahun 2003 adalah bukti bahwa Prabowo Subianto tidak disukai banyak orang saat mereka mengetahui dia akan mencalonkan diri menjadi presiden lewat konvensi Partai Golkar.
Berita itu berjudul: “Kompi Tolak Prabowo Jadi Capres.” Berita itu selengkapnya sebagai berikut: Nama Prabowo Subianto yang mencuat sebagai kandidat calon presiden dalam konvensi Partai Golkar, mendapat reaksi dari Komite Pengamen Indonesia (Kompi) Solo. Kemarin, mereka menggelar aksi di bundaran Gladag, Solo.
Aksi yang diikuti sekitar 50-an anggota Kompi tersebut, dilakukan dengan berjalan kaki dari kampus UNS Mesen Jl Urip Sumoharjo menuju Bundaran Gladag di Jl Sudirman. Di sepanjang jalan yang dilalui, mereka menyebarkan selebaran kepada pengguna jalan lain, berisi tentang kecaman terhadap sepak terjang mantan Pangkostrad itu. Aksi tersebut berlangsung sekitar dua jam dimulai pukul 10.00.
“Prabowo Subianto penjegal aktivis. Karena itu, kami tak setuju bila dia jadi presiden,” teriak Korlap aksi Kostrad Nur Shanty. Dia menilai dosa-dosa Prabowo Subianto sangat besar dalam menghambat demokrasi di Indonesia. Karena itu, mencuatnya Prabowo sebagai kandidat presiden Partai Golkar sangatlah ironis, di mana bangsa Indonesa yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum (negara hukum) bisa meloloskan Prabowo Subianto.
“Kami, rakyat Indonesia masih ingat betul bahwa Prabowo dengan Tim Mawarnya pernah melakukan dosa-dosa politik, penculikan terhadap aktivis Prodemokrasi, dan penembakan para aktivis mahasiswa atau tragedi Semanggi,” katanya.
Dalam pernyataan sikap, Kompi menyatakan menolak Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Mereka juga menuntut Prabowo Subianto diadili, karena dinilai sebagai pelanggar HAM berat. “Seret Prabowo ke Mahkamah Internasional dan bubarkan Golkar,” tegas pernyataan sikap itu.
PRABOWO SUBIANTO DI MATA ORANG EKS-BAKIN
Anda mungkin bertanya, ah itu, kan aksi kecil. Kompi, apa pula itu? Di Solo lagi. Okelah itu hak Anda. Entah kebetulan atau tidak, dua pekan sebelum SMS kawan saya itu, untuk sebuah keperluan, saya bersama beberapa kawan berbincang-bincang dengan mantan petinggi di Bakin semasa lembaga intelijen itu dipimpin LB Moerdani.
Petinggi Bakin ini (untuk selanjutnya saya sebut saja dengan Mr X) bercerita banyak tentang Prabowo Subianto, mulai dari keluarganya, karakter pribadinya, saat Prabowo ‘ditugaskan’ di Timor Timur, saat Prabowo Subianto jadi taruna Akabri, juga peran Prabowo Subianto dalam kerusuhan Mei, dan alasan mengapa akhirnya Prabowo Subianto dicopot dari jabatannya sebagai Pangkostrad pasca kerusuhan Mei 1998.
Dari Mr X, saya dan teman-teman juga mendapat informasi tentang ilmu pendulum dikaitkan dengan situasi dan kondisi negara. Pendulum yang dimaksud Mr X adalah Pancasila. Namun dalam sejarah bangsa Indonesia, katanya, pendulum itu beberapa kali pernah terayun terlalu ke kiri (komunis) dan kanan (Islam).
Menurut dia, gerak pendulum ke kiri dan kanan merupakan sesuatu yang wajar. Namun jika terlalu (berlebihan) ke kanan atau ke kiri bisa berbahaya. Puncak gerakan pendulum ke kiri adalah saat G-30-S/PKI meletus. Beruntung, pendulum itu bisa ditarik ke tengah.
Pendulum Pancasila juga pernah melenceng terlalu ke kanan dan bisa ditarik lagi ke tengah. Namun belakangan ini, menurut Mr X, ada sinyal pendulum bergerak terlalu ke kanan. Celakanya, kata dia, tidak ada tokoh yang berani mengembalikan gerakan pendulum itu ke tengah.
PENGLIHATAN ITU BAKAL MENJADI KENYATAAN?
Saya kemudian menginformasikan soal gerakan pendulum ini ke teman saya yang rohaniwan. Untuk ‘menghibur’ teman saya, saya mengatakan ke depan Indonesia memang memerlukan sosok presiden yang tidak saja tegas, tapi juga berani. Bahkan negeri ini memerlukan presiden yang ‘tidak waras’ sebagaimana pernah saya baca di harian Kompas. Sangat mungkin sosok calon presiden yang memenuhi kriteria itu adalah Prabowo Subianto.
Boleh jadi, Prabowo Subianto-lah satu-satunya tokoh di Indonesia yang berani mengembalikan pendulum yang belakangan ini telah mengarah atau sengaja diarah-arahkan terlalu ke kanan.
Waktu itu Partai Gerindra — dan di dalamnya ada Prabowo Subianto –belum muncul. Bahwa kemudian (sekarang ini) lewat Gerindra, nama Prabowo Subianto melejit mengalahkan kandidat calon presiden dari partai lain menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), saya tidak tahu, apakah itu merupakan wujud ‘penglihatan’ dan mimpi teman saya tadi bakal menjadi kenyataan? Mohon bantu saya menjawabnya.
Gantyo Koespradono
Pengirim SMS di atas adalah teman saya seorang rohaniwan? “Hari gini nggak tahu siapa Prabowo Subianto?” Dalam hati saya berpikir seperti itu?
Ada urusan apa seorang rohaniwan dengan Prabowo Subianto? Untuk menjawab rasa penasaran ini, beberapa hari kemudian saya ke rumahnya. Sang rohaniwan menceritakan bahwa dia baru saja mendapatkan penglihatan lewat mimpi. Dalam mimpinya itu dia melihat ada sosok Prabowo Subianto yang sedang berhadapan dengan orang-orang yang akan menyerang dia. Orang-orang yang disebutnya akan menyerang Prabowo Subianto itu berpakaian jubah putih dan berwajah beringas penuh dengan amarah.
Teman saya yang rohaniwan itu lantas mengaitkan sosok Prabowo Subianto dengan “mungkin tidak dia jadi presiden?” Dia bertanya dan minta pendapat kepada saya sebagai seorang wartawan, sekaligus ingin tahu siapa sesungguhnya Prabowo Subianto.
Prabowo Subianto jadi presiden? Mana mungkin? Ibarat kartu, Prabowo Subianto dengan tapakan sejarah yang dilaluinya di masa lalu adalah kartu mati. Ibarat orang sudah mati, Prabowo Subianto tidak mungkin bangkit lagi.
Itulah pandapat pribadi yang saya sampaikan kepada teman saya itu. Namun sang rohaniwan tetap berpegang teguh pada mimpinya bahwa segala sesuatu bisa berubah. Mendengar ini saya cuma tertawa, sebab dalam soal beginian saya lebih mengandalkan akal sehat (logika) daripada hal-hal yang berada di awang-awang dan (maaf) berbau mistik.
Bisa jadi, iman saya sangat dangkal, sehingga selalu menganggap enteng sesuatu yang di kalangan para rohaniwan atau agamawan disebut sebagai ‘penglihatan’ atau ‘mimpi’, meskipun saya tidak menutup mata banyak kisah di dalam kitab suci yang menjadi kenyataan setelah ada peristiwa penglihatan atau mimpi.
Kembali ke Prabowo Subianto. Bagaimana mungkin dia menjadi presiden jika ingatan banyak orang di sini belum hilang saat dia ikut ‘berperan’ dalam kerusuhan Mei 1998, terlepas benar atau tidak. Bagaimana mungkin Prabowo Subianto bisa menjadi presiden jika banyak orang mengenalnya sebagai sosok yang temperamental alias mudah marah dan emosional. Prabowo Subianto oleh teman-temannya juga dikenal sebagai sosok yang tanpa berpikir panjang jika akan melakukan sesuatu.
Lha, kalau karakter seperti itu sudah begitu tertanam kuat dalam dirinya, rakyat mana yang akan bersimpati mendukung jika Prabowo Subianto mencalonkan diri menjadi presiden?
PRABOWO SUBIANTO DITOLAK
Berita yang saya kutip dari koran Suara Merdeka Semarang yang terbit pada Oktober tahun 2003 adalah bukti bahwa Prabowo Subianto tidak disukai banyak orang saat mereka mengetahui dia akan mencalonkan diri menjadi presiden lewat konvensi Partai Golkar.
Berita itu berjudul: “Kompi Tolak Prabowo Jadi Capres.” Berita itu selengkapnya sebagai berikut: Nama Prabowo Subianto yang mencuat sebagai kandidat calon presiden dalam konvensi Partai Golkar, mendapat reaksi dari Komite Pengamen Indonesia (Kompi) Solo. Kemarin, mereka menggelar aksi di bundaran Gladag, Solo.
Aksi yang diikuti sekitar 50-an anggota Kompi tersebut, dilakukan dengan berjalan kaki dari kampus UNS Mesen Jl Urip Sumoharjo menuju Bundaran Gladag di Jl Sudirman. Di sepanjang jalan yang dilalui, mereka menyebarkan selebaran kepada pengguna jalan lain, berisi tentang kecaman terhadap sepak terjang mantan Pangkostrad itu. Aksi tersebut berlangsung sekitar dua jam dimulai pukul 10.00.
“Prabowo Subianto penjegal aktivis. Karena itu, kami tak setuju bila dia jadi presiden,” teriak Korlap aksi Kostrad Nur Shanty. Dia menilai dosa-dosa Prabowo Subianto sangat besar dalam menghambat demokrasi di Indonesia. Karena itu, mencuatnya Prabowo sebagai kandidat presiden Partai Golkar sangatlah ironis, di mana bangsa Indonesa yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum (negara hukum) bisa meloloskan Prabowo Subianto.
“Kami, rakyat Indonesia masih ingat betul bahwa Prabowo dengan Tim Mawarnya pernah melakukan dosa-dosa politik, penculikan terhadap aktivis Prodemokrasi, dan penembakan para aktivis mahasiswa atau tragedi Semanggi,” katanya.
Dalam pernyataan sikap, Kompi menyatakan menolak Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Mereka juga menuntut Prabowo Subianto diadili, karena dinilai sebagai pelanggar HAM berat. “Seret Prabowo ke Mahkamah Internasional dan bubarkan Golkar,” tegas pernyataan sikap itu.
PRABOWO SUBIANTO DI MATA ORANG EKS-BAKIN
Anda mungkin bertanya, ah itu, kan aksi kecil. Kompi, apa pula itu? Di Solo lagi. Okelah itu hak Anda. Entah kebetulan atau tidak, dua pekan sebelum SMS kawan saya itu, untuk sebuah keperluan, saya bersama beberapa kawan berbincang-bincang dengan mantan petinggi di Bakin semasa lembaga intelijen itu dipimpin LB Moerdani.
Petinggi Bakin ini (untuk selanjutnya saya sebut saja dengan Mr X) bercerita banyak tentang Prabowo Subianto, mulai dari keluarganya, karakter pribadinya, saat Prabowo ‘ditugaskan’ di Timor Timur, saat Prabowo Subianto jadi taruna Akabri, juga peran Prabowo Subianto dalam kerusuhan Mei, dan alasan mengapa akhirnya Prabowo Subianto dicopot dari jabatannya sebagai Pangkostrad pasca kerusuhan Mei 1998.
Dari Mr X, saya dan teman-teman juga mendapat informasi tentang ilmu pendulum dikaitkan dengan situasi dan kondisi negara. Pendulum yang dimaksud Mr X adalah Pancasila. Namun dalam sejarah bangsa Indonesia, katanya, pendulum itu beberapa kali pernah terayun terlalu ke kiri (komunis) dan kanan (Islam).
Menurut dia, gerak pendulum ke kiri dan kanan merupakan sesuatu yang wajar. Namun jika terlalu (berlebihan) ke kanan atau ke kiri bisa berbahaya. Puncak gerakan pendulum ke kiri adalah saat G-30-S/PKI meletus. Beruntung, pendulum itu bisa ditarik ke tengah.
Pendulum Pancasila juga pernah melenceng terlalu ke kanan dan bisa ditarik lagi ke tengah. Namun belakangan ini, menurut Mr X, ada sinyal pendulum bergerak terlalu ke kanan. Celakanya, kata dia, tidak ada tokoh yang berani mengembalikan gerakan pendulum itu ke tengah.
PENGLIHATAN ITU BAKAL MENJADI KENYATAAN?
Saya kemudian menginformasikan soal gerakan pendulum ini ke teman saya yang rohaniwan. Untuk ‘menghibur’ teman saya, saya mengatakan ke depan Indonesia memang memerlukan sosok presiden yang tidak saja tegas, tapi juga berani. Bahkan negeri ini memerlukan presiden yang ‘tidak waras’ sebagaimana pernah saya baca di harian Kompas. Sangat mungkin sosok calon presiden yang memenuhi kriteria itu adalah Prabowo Subianto.
Boleh jadi, Prabowo Subianto-lah satu-satunya tokoh di Indonesia yang berani mengembalikan pendulum yang belakangan ini telah mengarah atau sengaja diarah-arahkan terlalu ke kanan.
Waktu itu Partai Gerindra — dan di dalamnya ada Prabowo Subianto –belum muncul. Bahwa kemudian (sekarang ini) lewat Gerindra, nama Prabowo Subianto melejit mengalahkan kandidat calon presiden dari partai lain menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), saya tidak tahu, apakah itu merupakan wujud ‘penglihatan’ dan mimpi teman saya tadi bakal menjadi kenyataan? Mohon bantu saya menjawabnya.
Gantyo Koespradono
No comments:
Post a Comment