Mimpi Buruk Argentina dan Piala Dunia
Apa jadinya Piala Dunia tanpa Argentina? Jawaban pastinya, sebuah mimpi buruk! Seperti kata Kaka, bintang Brasil yang kini bermain untuk Real Madrid, Piala Dunia adalah pesta bola paling agung yang harus diikuti tim-tim terbaik di dunia. ”Piala Dunia tanpa Argentina pastilah bukan pesta yang meriah,” ujar Kaka.
Namun, seperti kekhawatiran semua pencinta sepak bola, kita barangkali akan kehilangan indahnya tarian tango di Piala Dunia mendatang di Afrika Selatan (Afsel). Saat tulisan ini dinaikkan, Argentina hampir kehilangan peluang ke Afsel setelah kalah 0-1 dari tuan rumah Paraguay di Stadion Defensores del Chaco, Asuncion.
Sepanjang ingatan kita pada kehebatan sepak bola Argentina, tidak akan pernah terbayangkan Piala Dunia tanpa mereka. Selama 40 tahun terakhir, ajang olahraga terbesar bagi umat manusia itu selalu dihebohkan oleh energiknya tarian tango, dan tentu saja rancaknya goyangan samba Brasil.
Ironisnya, semua kekhawatiran ini bermula dari Diego Armando Maradona, legenda, pahlawan, bahkan manusia yang disetarakan dengan dewa oleh orang Argentina. Sejak secara mengejutkan ditunjuk sebagai pelatih tim nasional, November tahun lalu, Argentina tiga kali kalah dari lima laga kualifikasi Piala Dunia, di antaranya dihancurkan Bolivia, 1-6, di ketinggian kota La Paz. Dan kekalahan 1-3 melawan Brasil di Rosario, Sabtu lalu, membuat tim Maradona berada di tubir jurang.
Bayang-bayang Piala Dunia tanpa kehadiran Argentina segera mengambang di pelupuk mata.
Sebagai pemain, ”kedewaan” Maradona yang tumbuh di wilayah kumuh di Buenos Aires itu tak perlu dipertanyakan lagi. Namun, sebagai pelatih, reputasi Maradona memang meragukan. Dia hanya punya pengalaman seujung kuku saat menangani klub tingkat provinsi Deportivo Mandiyu, sebelum melatih Racing Club, juga klub medioker.
Banyak orang mengernyitkan alisnya saat Presiden Asosiasi Sepak Bola Argentina Julio Grondona memintanya menangani tim ”Tango”. Reputasi Maradona sebagai pemakai kokain dan beberapa kali masuk rumah sakit khusus penderita stres membuat keraguan makin menyeruak. Sebagian khawatir, tingkat tekanan yang intens sebagai pelatih timnas akan memicu kembalinya Maradona ke masa-masa suram seperti beberapa tahun lalu.
Namun, Grondona bergeming. Dia hanya menunjuk Carlos Bilardo untuk mendampingi Maradona yang masih menderita obesitas sampai sekarang. Bilardo adalah pelatih yang bersama sang kapten Maradona memenangi Piala Dunia 1986 di Meksiko. Namun, Bilardo tak bisa berbuat banyak. Aksesnya ke pemain sangat dibatasi. Maradona tetap menjadi nakhoda utama pasukan Tango. Sejak berkuasa, Maradona mencoba tak kurang dari 62 pemain dan tak kunjung menemukan formasi paling ideal.
Sebagai ”dewa”, Maradona tak bisa dibantah meski secara pribadi dia sangat dekat dengan pemain-pemainnya. Dia kemudian berseteru dengan Juan Roman Riquelme, playmaker dan salah satu gelandang paling berpengalaman. Riquelme mengkritik gaya permainan arahan Maradona yang tidak sesuai dengan karakter cepat dan keras khas Argentina. Riquelme kemudian mundur dari timnas dan bersumpah tak ingin lagi bergabung selama Maradona masih berkuasa.
Namun, kehilangan Riquelme bukanlah masalah yang teramat rumit bagi Maradona dan juga Argentina. Dengan segudang pemain berkualitas tinggi di tiap lini, mereka tak seharusnya berada dalam posisi genting seperti sekarang.
Sebenarnya ini bukan kali pertama nasib Argentina begitu gawat. Tahun 1985, Argentina hanya ditolong gol menit terakhir saat menahan imbang Peru, 2-2, pada laga akhir kualifikasi. Mereka kemudian lolos dari lubang jarum untuk menjadi juara di Meksiko 1986. Di ajang itu, Maradona tampil memukau, mengecoh lima pemain Inggris, termasuk kiper Peter Shilton, setelah sebelumnya mencetak gol ”Tangan Tuhan” yang fenomenal.
Tahun 1990, Maradona kembali menjadi tokoh sentral di tim Tango. Ia memancing kemarahan publik Italia setelah mengalahkan pasukan ”Azzurri” di semifinal di Stadion San Paolo, Napoli. Uniknya, kala itu penonton San Paolo lebih ”memihak” Argentina ketimbang Italia. Maklum, Maradona sudah menjadi ”Santo”, orang suci bagi penduduk Napoli. Maradona dan timnya kemudian ”dikerjai” pada laga final dan kemenangan direbut Jerman.
Tahun 1994, Argentina kembali dalam kondisi kritis pada kualifikasi. Maradona yang praktis sudah pensiun diminta kembali ke tim untuk laga play-off melawan Australia. Terbukti Maradona kemudian menjadi penyelamat dan meloloskan Argentina ke putaran final di Amerika Serikat.
Di AS, tim Argentina terguncang hebat. Menjelang laga terakhir kualifikasi grup, Maradona terbukti menggunakan doping. Ia dikeluarkan dari tim, tetapi reputasinya sebagai pemain genius tak pernah pudar. Bahkan, setelah bolak-balik dirawat akibat kecanduan obat bius, nama Maradona tetap diucapkan dengan penuh rasa hormat. Di Buenos Aires, terutama di wilayah-wilayah kumuh, gambar wajah dan kostum nomor 10-nya mudah ditemukan di setiap sudut jalan.
Maka, meskipun mimpi buruk Piala Dunia 2010 benar-benar terjadi, reputasi Maradona tak akan pernah hancur. Kehebatannya di lapangan hijau selalu menjadi penyelamatnya. Kalaupun Argentina untuk pertama kalinya dalam 40 tahun absen di Piala Dunia, Maradona tetaplah sang idola. Sementara itu, jika Argentina bisa lolos ke Afsel, apalagi kemudian menjadi juara, itu semua hanyalah konfirmasi akan ”kedewaan” Maradona.
Kita hanya berharap mimpi buruk Piala Dunia tanpa Argentina tidak akan pernah terjadi.
Sumber : Bola.kompas.com
Apa jadinya Piala Dunia tanpa Argentina? Jawaban pastinya, sebuah mimpi buruk! Seperti kata Kaka, bintang Brasil yang kini bermain untuk Real Madrid, Piala Dunia adalah pesta bola paling agung yang harus diikuti tim-tim terbaik di dunia. ”Piala Dunia tanpa Argentina pastilah bukan pesta yang meriah,” ujar Kaka.
Namun, seperti kekhawatiran semua pencinta sepak bola, kita barangkali akan kehilangan indahnya tarian tango di Piala Dunia mendatang di Afrika Selatan (Afsel). Saat tulisan ini dinaikkan, Argentina hampir kehilangan peluang ke Afsel setelah kalah 0-1 dari tuan rumah Paraguay di Stadion Defensores del Chaco, Asuncion.
Sepanjang ingatan kita pada kehebatan sepak bola Argentina, tidak akan pernah terbayangkan Piala Dunia tanpa mereka. Selama 40 tahun terakhir, ajang olahraga terbesar bagi umat manusia itu selalu dihebohkan oleh energiknya tarian tango, dan tentu saja rancaknya goyangan samba Brasil.
Ironisnya, semua kekhawatiran ini bermula dari Diego Armando Maradona, legenda, pahlawan, bahkan manusia yang disetarakan dengan dewa oleh orang Argentina. Sejak secara mengejutkan ditunjuk sebagai pelatih tim nasional, November tahun lalu, Argentina tiga kali kalah dari lima laga kualifikasi Piala Dunia, di antaranya dihancurkan Bolivia, 1-6, di ketinggian kota La Paz. Dan kekalahan 1-3 melawan Brasil di Rosario, Sabtu lalu, membuat tim Maradona berada di tubir jurang.
Bayang-bayang Piala Dunia tanpa kehadiran Argentina segera mengambang di pelupuk mata.
Sebagai pemain, ”kedewaan” Maradona yang tumbuh di wilayah kumuh di Buenos Aires itu tak perlu dipertanyakan lagi. Namun, sebagai pelatih, reputasi Maradona memang meragukan. Dia hanya punya pengalaman seujung kuku saat menangani klub tingkat provinsi Deportivo Mandiyu, sebelum melatih Racing Club, juga klub medioker.
Banyak orang mengernyitkan alisnya saat Presiden Asosiasi Sepak Bola Argentina Julio Grondona memintanya menangani tim ”Tango”. Reputasi Maradona sebagai pemakai kokain dan beberapa kali masuk rumah sakit khusus penderita stres membuat keraguan makin menyeruak. Sebagian khawatir, tingkat tekanan yang intens sebagai pelatih timnas akan memicu kembalinya Maradona ke masa-masa suram seperti beberapa tahun lalu.
Namun, Grondona bergeming. Dia hanya menunjuk Carlos Bilardo untuk mendampingi Maradona yang masih menderita obesitas sampai sekarang. Bilardo adalah pelatih yang bersama sang kapten Maradona memenangi Piala Dunia 1986 di Meksiko. Namun, Bilardo tak bisa berbuat banyak. Aksesnya ke pemain sangat dibatasi. Maradona tetap menjadi nakhoda utama pasukan Tango. Sejak berkuasa, Maradona mencoba tak kurang dari 62 pemain dan tak kunjung menemukan formasi paling ideal.
Sebagai ”dewa”, Maradona tak bisa dibantah meski secara pribadi dia sangat dekat dengan pemain-pemainnya. Dia kemudian berseteru dengan Juan Roman Riquelme, playmaker dan salah satu gelandang paling berpengalaman. Riquelme mengkritik gaya permainan arahan Maradona yang tidak sesuai dengan karakter cepat dan keras khas Argentina. Riquelme kemudian mundur dari timnas dan bersumpah tak ingin lagi bergabung selama Maradona masih berkuasa.
Namun, kehilangan Riquelme bukanlah masalah yang teramat rumit bagi Maradona dan juga Argentina. Dengan segudang pemain berkualitas tinggi di tiap lini, mereka tak seharusnya berada dalam posisi genting seperti sekarang.
Sebenarnya ini bukan kali pertama nasib Argentina begitu gawat. Tahun 1985, Argentina hanya ditolong gol menit terakhir saat menahan imbang Peru, 2-2, pada laga akhir kualifikasi. Mereka kemudian lolos dari lubang jarum untuk menjadi juara di Meksiko 1986. Di ajang itu, Maradona tampil memukau, mengecoh lima pemain Inggris, termasuk kiper Peter Shilton, setelah sebelumnya mencetak gol ”Tangan Tuhan” yang fenomenal.
Tahun 1990, Maradona kembali menjadi tokoh sentral di tim Tango. Ia memancing kemarahan publik Italia setelah mengalahkan pasukan ”Azzurri” di semifinal di Stadion San Paolo, Napoli. Uniknya, kala itu penonton San Paolo lebih ”memihak” Argentina ketimbang Italia. Maklum, Maradona sudah menjadi ”Santo”, orang suci bagi penduduk Napoli. Maradona dan timnya kemudian ”dikerjai” pada laga final dan kemenangan direbut Jerman.
Tahun 1994, Argentina kembali dalam kondisi kritis pada kualifikasi. Maradona yang praktis sudah pensiun diminta kembali ke tim untuk laga play-off melawan Australia. Terbukti Maradona kemudian menjadi penyelamat dan meloloskan Argentina ke putaran final di Amerika Serikat.
Di AS, tim Argentina terguncang hebat. Menjelang laga terakhir kualifikasi grup, Maradona terbukti menggunakan doping. Ia dikeluarkan dari tim, tetapi reputasinya sebagai pemain genius tak pernah pudar. Bahkan, setelah bolak-balik dirawat akibat kecanduan obat bius, nama Maradona tetap diucapkan dengan penuh rasa hormat. Di Buenos Aires, terutama di wilayah-wilayah kumuh, gambar wajah dan kostum nomor 10-nya mudah ditemukan di setiap sudut jalan.
Maka, meskipun mimpi buruk Piala Dunia 2010 benar-benar terjadi, reputasi Maradona tak akan pernah hancur. Kehebatannya di lapangan hijau selalu menjadi penyelamatnya. Kalaupun Argentina untuk pertama kalinya dalam 40 tahun absen di Piala Dunia, Maradona tetaplah sang idola. Sementara itu, jika Argentina bisa lolos ke Afsel, apalagi kemudian menjadi juara, itu semua hanyalah konfirmasi akan ”kedewaan” Maradona.
Kita hanya berharap mimpi buruk Piala Dunia tanpa Argentina tidak akan pernah terjadi.
Sumber : Bola.kompas.com
No comments:
Post a Comment