BATUSANGKAR - Rumah gadang yang menyimpan batu angkek-angkek di Nagari Tanjuang, Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, sudah beberapa kali direnovasi. Namun, tonggak utamanya harus tetap memancang di posisi yang sama seperti saat kali pertama rumah itu dibangun.
Untuk mengangkat batu magis itu, anggota adat terlebih dahulu melakukan ritual untuk menjaga keseimbangannya.
Meski sarat dengan aroma mistis, Alpi Putra (40), generasi ke-8 dari keturunan penemu batu, Datuak Bandaro Kayo, meminta agar batu tersebut tidak dianggap berlebihan. Menurutnya, batu berbentuk kura-kura tersebut hanya sebagai media untuk meminta dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Untuk mengangkat batu, terlebih dulu harus berwudu sesuai dengan ajaran Islam. Lalu berdoa kepada Tuhan meminta apa yang diinginkan, misalnya jodoh. Kemudian, badan membungkuk dan tangan kanan dan kiri menarik batu ke atas pangkuan. Kalau bisa ditarik ke pangkuan, maka apa yang diminta akan terkabul.
Usai ritual mengangkat batu itu, memberi sumbangan ala kadarnya di tempat yang telah ditentukan. Hal yang penting dilakukan saat mengadakan ritual posisi menghadap kiblat atau searah dengan bagian depan rumah gadang tersebut.
Batu ditempatkan pada alas permadani. Di bagian bawah, ditambah kain putih. Sekeliling batu diberi tirai dan di bagian samping diberi kasur berukuran satu meter.
Menurut Alpi, ada sesosok pria memakai pakaian serba putih, janggut putih, serta sorban putih yang menjaga batu tersebut. Tentu, sosok itu hanya bisa dilihat orang yang memiliki indra keenam. “Kata orang pintar itu adalah Syek yang dimimpikan Datuak Bandaro Kayo,” jelas Alpi.
Dia melanjutkan, ada ahli yang sudah meneliti mengapa batu tersebut tidak memiliki bobot yang konstan, namun sampai saat ini belum terungkap. Terkadang beratnya lima kilogram, kemudian berubah tujuh, bahkan bisa lebih berat lagi.
Meski wujudnya berbentuk batu, namun saat akan keluar bau logam besi. Misteri itu juga belum bisa dikuak.
Sumber
No comments:
Post a Comment