Ada kesan umum, bahwa wanita Sunda pemalas dan suka berdandan. Benarkah demikian?
Memang susah mencari pasangan atau istri ideal. Cantik, pintar bekerja, beretika, setia, jujur relegius
dan feminim. Akan sempurna hidup seorang pria, bila mendapatkan istri seperti ini. Barangkali pula itu hanya padangan utopis saja. Tapi, Amir Hamzah, seorang general manager perusahaan asuransi, selalu berusaha untuk mendapatkannya.
Akibatnya, Amir Hamzah sering gontaganti pasangan. Sekarang dia mempunyai dua kekasih. Pertama, keturunan )awa, bekerja sebagai coordinator public relations di perusahaan elektronik. Secara karier wanita ini cukup bagus, namun secara fisik kurang cantik. Kulitnya sedikit hitam dan tubuhnya biasa-biasa saja, pokoknya bukan tipe Amir. Pacar kedua, perempuan Sunda. Cantik, kulit halus bak bengkuang dan pintar pula berdandan. Tapi secara karier dan intelektual, biasa-biasa saja, dan hanya sebagai karyawan biasa.
Amir bingung, mana yang harus dipilih, sementara usia dan orangtua terus mendesak. Diakuinya, bahwa kedua pacarnya itu mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sebagai pria normal, ia ingin memiliki istri cantik. Masalahnya, kecantikan belum menjamin apakah si wanita akan menjadi mitra hidup yang baik nantinya.
Lingkungan & Alam
Sudah menjadi pengetahuan bagi sebagian orang, bahwa wanita Sunda cantikcantik. Alamnya yang elok memberikan andil dalam hal ini, terutama untuk kehalusan kulit. Tapi, di balik keindahan dan kecantikan yang dimiliki wanita Sunda, terdapat unsur buruk, yaitu pemalas, dengan hobi berdandan dan bergaya seperti orang kaya. Tidak itu saja, dipercayai pula oleh sebagian orang, bahwa dalam berumah tangga, wanita Sunda selalu mengandalkan pendapatan suami. Tentu saja ini hanya pandangan sebagian orang. Sebab bukan berarti semua perempuan Sunda seperti itu.
Secara antropologis, banyak faktor yang menyebabkan wanita Sunda setiap berinteraksi dengan pria selalu mengandalkan keindahan fisik. Bukan kemampuan intelektual dan kepribadian yang kuat seperti wanita Sumatera Utara, Jawa dan Bali, yang tegar dalam kehidupan. Wanita-wanita Jawa, Bali dan Sumatera Utara, terkenal sebagai wanita ulet. Mereka tidak memilih-milih pekerjaan, yang penting halal. Ini bisa dilihat di terminal-terminal, pasar, dan ladang.
Menurut Agus Wiyanto, budaya Sunda adalah budaya yang memiliki sisi erotisme tinggi, yang bisa dilihat dari kesenian tarinya, seperti tarian Jaipong. Jaipong kental dengan goyangan tubuh, yang menonjolkan bagian-bagian tubuh yang seksi. Berbeda dengan tarian-tarian Jawa yang lebih sarat dengan simbol dan makna kehidupan.
"Alam yang subur meninabobokan wanita Sunda sampai terlena, hingga tidak perlu bekerja keras. Alam sudah menjamin kelangsungan. kehidupan mereka. Cukup suami yang bekerja di ladang atau sawah, sementara istri di rumah mengurus dan merawat anak, mempercantik diri, melayani suami dan membersihkan rumah," tutur anggota Persatuan Cendekiawan Nasional Indonesia ini.
Agus menambahkan, keindahan dan kesuburan alam (dan kecantikan wanita) Jawa Barat ini sampai ke wilayah bagian pantai Jawa Barat, Banten (sebelum menjadi propinsi sendiri), yang termasuk bagi dari kota Paris in Java. Tidak jauh beda dengan Bogor yang pada zaman VOC dijadikan tempat peristirahatan kaum bangsawan Belanda.
Malah di sebagian daerah jawa Barat, ada pula wanita yang bangga menjadi janda. Ini terjadi karena adanya anggapan, bahwa wanita yang mampu menikah tiga atau empat kali, berarti wanita tersebut lebih bagus dibandingkan wanita lain yang hanya kawin satu kali. "Ini terjadi di Karawang, wilayah Pantai Utara dan Indramayu," kata Agus.
Bila kondisi sosial seperti ini dibiarkan, tentu saja akan berpengaruh pada generasi berikutnya. Secara tidak langsung mereka akan melakukan apa yang telah diperbuat generasi sebelumnya. Akibatnya, pandangan orang terhadap wanita Sunda bisa semakin buruk.
Berbeda dengan wanita Jawa yang dikesankan suka bekerja keras. Bagi mereka, bekerja merupakan kehormatan. Lebih baik bekerja walau hasilnya kecil, daripada menjual diri tapi tidak halal. Agus menjelaskan, kelemahan wanita jawa adalah tidak mempuyai ambisi dan rencana matang. Akibatnya, mereka selalu marjinal, menjadi pembantu rumah tangga, pedagang sayuran di pasar, dan perjual jamu. Ini akibat rendahnya pendidikan yang membuat pola pikir dan pengembangan hidup menjadi rendah.
Dosen IISIP ini menambahkan, ada pula pandangan di kalangan orangtua yang mengatakan, bahwa tidak ada gunanya wanita bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Pasalnya, wanita tetap akan kembali ke dapur mengurus dan merawat anak serta melayani suami. Pola pikir ini hanya bisa dihapus melalui pendidikan dan kesadaran akan fakta. Bahwa di era global kini, yang dibutuhkan dari wanita manapun (tidak hanya wanita Sunda) - bukan hanya kecantikan fisik - tapi juga kemampuan intelektual dan kemauan kerja yang tinggi.
Sumber: Male Emporium
No comments:
Post a Comment