multi info, hiburan, pengetahuan, dan aneka informasi

ORANG MISKIN SELALU ADA PADAMU

Tak perlu diragukan, kebanyakan di antara kita beritikad baik dalam hal menolong orang miskin. Kita suka memberi dan kita memberi dengan ikhlas. Tetapi bukan itu yang hendak dipersoalkan di sini. Yang menjadi soal adalah bagaimana sikap kita terhadap orang miskin. Sikap kita banyak dipengaruhi oleh konsep atau pandangan dasar kita tentang orang miskin.
Konsep kita tentang sesuatu biasanya berkaitan dengan istilah yang digunakan. Kadang-kadang istilah itu sudah begitu lazim sehingga kita tidak sadar laghi makna sebenarnya yang terkandung di dalam sitilah itu.
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal tiga istilah yang lazim untuk orang miskin, yaitu orang yang tidak berada atau kurang berada, orang yang tidak mampu, dan orang tidak punya (yang terakhir ini ada padanannya dalam bahasa Inggris: The Have-Nots).
Sadarkah kita bahwa ketiga istilah itu secara tidak langsung menggambarkan konsep kita tentang orang miskin?
Istilah pertama: orang tidak berada. Kalau diartikan secara sungguh, sebenarnya istilah itu berarti: a person who does not exist, orang yang tidak ekesis. Akibatnya, tanpa sadar kita cenderung menganggap bahwa orang miskin tidak masuk hitungan. Bisa saja kita banyak memberi kepada orang miskin, tetapi kita beranggapan bahwa tugas kita adalah sekedar memberi bantuan, bukan berada bersama mereka. Orang miskin diminta menjauh dari kita. Kita berada dalam lingkaran, padahal orang miskin diharapkan untuk berada di luar atau di pinggir lingkaran.
Istilah kedua: orang tidak mampu. Istilah ini sudah langsung mempersempit padangan kita tentang orang miskin. Memang mereka tidak mampu membeli ini-itu, tetapi apakah kemampuan dan arti hidup manusia hanya diukur dari kesanggupan membeli? Bukankah manusia mempunyai banyak kemampuan lain, seperti kemampuan berkarya, kemampuan berbuat baik, kemampuan berpikir, dan sebagainya.
Istilah ketiga: oramng yang tidak punya. maksudnya tidak punya uang. Tetapi mengapa hidup hanya diukur dengan uang? Walaupun kita tidak punya uang, namun kita bisa mempunyai rupa-rupa hal: punya harga diri, punya kegembiraan, punya iman, punya kepuasan, punya semangat, punya pengharapan, dan sebagainya.
Pada waktu kecil, saya tahu saya anak miskin. Orang tua saya menerima bantuan, diakonia dari Gereja Tionghoa Kie Tol Kauw Hwee, jalan Kebonjati, Bandung. Di kelas saya satu-satunya murid yang sepatunya berlubang-lubang. Tiap Rabu kelas kami pergi ke kolam renang dan untuk itu kami dipecah dalam kelompok-kelompok kecil untuk naik
delman (kendaraan roda dua yang ditarik kuda), padahal saya seorang diri berjalan kaki dari sekolah ke kolam renang selama hampir satu jam karena tidak pernah merasa diri sebagai anak kurang mampu. Siapa bilang bahwa saya tidak mampu? Justru saya yang lebih mampu daripada kawan-kawan lain. Saya mampu berjalan jauh. Saya mampu berprestasi dan berkreasi di kelas maupun di luar kelas. Saya mampu melontarkan gagasan. Saya mampu memimpin kawan-kawan sehingga pernah saya dipilih sebagai ketua kelas dan di kepanduan (pramuka) diangkat sebagai ketua regu.
Demikian pula saya tidak pernah merasa diri sebagai anak tidak punya. Memang saya tidak punya tas yang bagus atau pensil yang berwarna-warni atau pena yang modern seperti kawan-kawan di kelas, namun saya mempunyai rupa-rupa lain: punya rasa yakin diri, punya prakarsa, punya keberanian mengeluarkan pendapat, punya cita-cita, punya keuletan, dan sebagainya.
Jelas, konsep kita bahwa orang miskin adalah orang kurang mampu sehingga eksistensinya kurang diperhitungkan, merupakan pandangan yang keliru. Tetapi itulah pandangan yang sering kita anut. Dalam gereja, misalnya, jika mencari caloon pengurus, panitia, penatua, biasanya jarang kita ingat untuk memilih orang miskin.
Padahal ada di antara mereka yang cakap mengemban tugas-tugas pelayanan itu. Bukan mustahil bahwa di antara orang miskin ada orang yang bijak dan mempunyai hikmat. Tetapi kita cenderung meremehkan mereka, seperti dikatakan Pengkhotbah 9:16; ".....hikmat orang miskin dihina dan perkataannya tidak didengarkan orang".
Padahal di sepanjang Alkitab ada kesaksian bahwa Allah menghargai orang miskin. Allah tidak membedakan berdasarkan kaya-miskin. "Sebab Tuhan Allahmu.... tidak memandang bulu atau menerima suap; yang membela hak anak yatim dan janda; dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan makanan dan pakaian."
Sikap Allah yang menghargai martabat kemanusiaan orang miskin lebih nampak lagi dalam diri Yesus. Di Matius 25 orang lapar, orang haus, orang asing (orang yang ditolak), orang telanjang, orang sakit dan orang yang dipenjara disebut oleh Yesus sebagai perwujudan diri Yesus: "....segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (ayat 40). Kemudian di bab berikutnya Yesus berkata, "Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi aku tidak selalu bersama-sama dengan kamu (Matius 26:11). "Miskotte, pakar teologi Belanda, dalam bukunya De Vreemde Uitspraak mengartikan ucapan itu sebagai berikut: Yesus menerima baik pengharagaan dan pernyataan cinta Maria
Magdalena kepada-Nya, tetapi setelah Yesus pergi pengharagaan dan pernyataan cinta itu selanjutnya ditujukan kepada orang miskin.
Orang miskin selalu ada (eksis) pada kita. itulah yang pertama-tama menjadi dasar sikap kita: mengakui keberadaan orang miskin di antara kita, Mereka ada, karena itu perlu ada tempat bagi mereka dalam benak dan hati kita. Kita menerima mereka sebagai bagian dari hidup dan gereja kita. Gereja yang menyelenggarakan kebaktian di hotel-hotel berbintang atau di gedung-gedung pertemuan mewah di tempat yang susah dicapai dengan kendaraan umum, secara tidak langsung sudah menutup pintu bagi orang yang miskin, sebab orang miskin tidak bisa mencapai lokasi itu dan tidak berani memasuki gedung-gedung megah itu. Dalam prakteknya gereja seperti itu bisa menimbulkan kesan seakan-akan menjauhkan diri dari orang miskin, padahal Yesus justru mendekatkan diri kepada orang miskin.
"Orang-orang miskin selalu ada padamu.....," ujar Yesus. Mereka berada di antara kita. Mereka eksis. Bagaimana kita melihat keberadaan mereka? Apakah mereka kita rasakan sebagai gangguan yang mengotori pemandangan, atau dapatkan kita berada bersama-sama dengan mereka, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, sebagaimana Yesus menyamakan diri dengan orang-orang miskin pada zaman-Nya? (Andar Ismail "Selamat melayani Tuhan" 1996, hal 21-25)

Download klik: ORANG MISKIN SELALU ADA PADAMU

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive