multi info, hiburan, pengetahuan, dan aneka informasi

Dosa Tak Terampuni

Anette adalah nama pendekku dari kepanjangan Antonia Manuela. Aku menikah usia 23 tahun setamat Diploma 1. Pernikahanku telah menginjak usia keempat. Sebuah pernikahan yang tentram, hingga petaka itu tiba.

Pak Hasan adalah dosen Ilmu Komunikasi di mana aku kuliah dulu. Beliau adalah sorang dosen yang sangat memperhatikan mahasiswanya, juga dosen favorit perempuan di kampusku. Selain ganteng, Pak Hasan juga humoris, hingga hampir seluruh mahasiswi perempuan menyukainya.

Namun aku merasa ada perhatian khusus untukku. Pak Hasan selalu mencuri pandang ke arahku setiap mengajar. Tentu saja aku suka ditatap seperti itu, bahkan beberapa teman perempuanku mengatakan bahwa tatapan Pak Hasan tersebut sebagai “tatapan cinta”

Suatu hari usai kuliah, saat aku sedang menunggu bis di halte, sekonyong-konyong sebuah mobil berhenti. Pengendaranya menurunkan kaca sebelah kiri dan setengah berteriak ia memanggil namaku, “Anette, ayo masuk, sudah gerimis.” Dengan sedikit membungkuk aku menengok ke arah suara tadi, karena yakin namaku yang dipanggil.

“Masuk Net, gerimis nih, nanti kamu kehujanan,” teriaknya. Kaget bercampur senang, karena Pak Hasan yang memanggilku. Setelah masuk ke mobilnya, kuucapkan terima kasih brulang kali atas perhatiannya ini. Dan aku menawarkan diri turun di halte mana saja agar tak merepotkannya.

Pak Hasan tertawa, dan menanyakan arah rumahku. Aku tinggal di bilangan Tomang dan rumah Pak Hasan searah yaitu di seputaran Grogol, Jakarta. Sejak siang itu aku makin menyukainya. Selain pintar, Pak Hasan juga sangat sopan. Pak Hasan menawarkan pulang bersama setiap usai kuliah, asal aku mau menunggunya hingga semua pekerjaannya selesai.

Makin hari tumbuh subur benih cinta antara aku dan Pak Hasan hingga setamat Diploma 1, Pak Hasan melamarku. Mulanya ayah menentang hubungan kami setelah mengetahui bahwa Pak Hasan adalah duda dengan dua putra yang telah dewasa. Istrimya meninggal dunia sejak dua tahun lalu karena sakit. Ayah menanyakan kesiapan mentalku mengasuh dua anak Pak Hasan yang usianya terpaut hanya 4 tahun di bawahku.

Dengan penuh ketegasan aku menjawab siap menghadapi itu semua. Apalagi setelah mengenal kedua putra Pak Hasan yang tak terlalu mempermasalahakan hubunganku dengan ayahnya, bahkan mereka memanggilku dengan sebutan kakak. Pertimbangan lainnya, aku dibesarkan oleh keluarga sederhana. Aku bangga mendapatkan Pak Hasan. Meski jauh lebih tua namun memiliki materi yang cukup hingga aku tak perlu bersusah payah bekerja membanting tulang seperti dulu, menjadi SPG frelance produk kosmetik.

Pernikahanku diselenggarakan dengan sederhana, sekadar pemberitahuan untuk seluruh keluarga kami. Sejak menikah aku diboyong Pak Hasan tinggal dirumahnya yang memiliki tiga kamar yang cukup besar. Aku cukup nyaman tinggal bersama anak-anak Pak Hasan yang punya kesibukan tinggi. Setiap pulang sekolah langsung ikut kegiatan lain hingga menjelang petang mereka baru tiba dirumah, kadangkala mereka tiba bersamaan dengan ayahnya. Sementara kegiatanku rutin saja, mulai menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, belanja hingga menyiapkan makan malam dengan dibantu Mbok Nem pembantu kami.

Memasuki tahun ketiga pernikahanku, malapetaka itu bermula. Si Sulung sudah kuliah, tapi belum mengambil kegiatan apapun di luar jadwal kuliahnya. Setiap usai kuliah, ia langsung pulang dan mengurung diri di kamarnya. Kuperhatikan dengan baik perubahannya dan kukatakan pada ayahnya jika si Sulung sedang ada problem namun ia tak mau menceritakannya. Pak Hasan memintaku untuk lebih dekat dengannya, agar ia merasa bahwa aku juga memperhatikannya seperti ibunya dahulu.

Secara perlahan kudekati si Sulung, memintanya mengantarku belanja di super market atau aku membawa masuk makanan kesukaan ke kamarnya. Hingga kami berdua sering berlama-lama di kamarnya menikmati musik atau hanya sekedar ngobrol. Untungnya beberapa kesenangan kami cocok hingga aku dapat segera akrab dengannya.

Hingga suatu hari, saat kami sedang nonton tayangan televisi yang menceritakan tentang kisah asmara, sekonyong-konyong si Sulung berkata, “Kak, aku ingin mencium bibirmu,” seraya meraih kepalaku yang tiduran untuk dipagutnya. Aku terpaku dan seakan kehilangan kontrol. Lelaki muda ini tak hanya mencium bibirku, tapi juga leher dan bagian atas dadaku. Tangannya merayapi tubuhku dengan menyingkap daster yang kukenakan. Sejurus kemudian aku merasakan sensasi yang mulai menjalari otakku. Aku merasakan kenikmatan.

Entah bagaimana terjadinya, yang aku tahu kami sudah tidak berbusana lagi. Aku berlari ke kamar mandi dan mencuci seluruh tubuhku dengan sabun berkali-kali. Aku berharap ini bisa meluruhkan semua kotoran yang tersisa. Selesai mengenakan pakaian, aku tidak keluar kamar hingga Pak Hasan tiba.

Ritual makan malam bersama, jadi sedikit tegang, karena Pak Hasan berulang kali memanggil si Sulung yangmenolak makan malam bersama. Tidak lapar, demikian alasannya. Pak Hasan memandang bertanya ke arahku. Aku jawab dengan gelengan, bahwa aku tak mengerti dengan perubahan sikap si Sulung.

Ternyata kejadian pertama tersebut bukan kejadian terakhir. Berkali-kali kami melakukan hubungan badan terlarang. Aku tahu ini salah, namun tak bisa kutahan saat si Sulung mulai memelukku dan menyentuh bagian-bagian sensitifku. Ia melakukannya lebih baik dari ayahnya. Kini aku terjebak dalam dilema rumit yang kubuat sendiri. Aku merasa sangat bersalah pada suamiku. Aku sempat berkeinginan pergi dari kehidupannya. Namun tak ada alasan yang berarti agar aku bisa meninggalkan Pak Hasan, kecuali aku menceritakan kejadian yang sesungguhnya antara aku dan si Sulung. Kalau Pak Hasan sampai tahu, ini bakal membawa kebencian bukan hanya untukku tapi juga anak sulungnya sendiri. Duh, nasib...(pw)

Kisah nyata Sundari (nama samaran) khusus untuk www.perempuan.com

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive