multi info, hiburan, pengetahuan, dan aneka informasi

Kata Pak Harto tentang Keluarganya - In Memoriam -

Keluarga Pak Harto selalu dirundung kontrovers sejak Pak Harto berkuasa, terlebih lagi setelah jatuh. Bahkan, Tommy sudah masuk penjara. Berita perceraian anak-anak Pak Harto juga tersiar. Tapi, apa kata Pak Harto tentang keluarganya? Dalam buku biografi Pak Harto, yakni Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), Pak Harto khusus bicara soal keluarganya di bab Ulang Tahun Pernikahan Kami yang Ke-40 (hal. 531-535). Termasuk, soal isu Bu Tien dan komisi, serta isu punya selir.
ULANG tahun pernikahan kami yang ke-40 kami rayakan dengan acara yang agak lain. Anak-anak kami yang menetapkan acaranya. Suasana waktu itu santai, penuh tawa riang. Maklumlah anak cucu saya semua kumpul.
 
Pda tanggal 26 Desember 197 itu, pagi hari saya meletakkan batu pertama pembanguan Museum Purna Bhakti Pertiwi yang akan dibangun di Kelurahan Pinangranti, Jakarta Timur, persis di samping kiri pintu masuk Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tanahnya seluas hampir 20 Ha.
 
Di Museum Purna Bhakti Pertiwi ini nanti akan saya simpan benda-benda yang ada hubungannya dengan pengabdian saya dan keluarga kepada bangsa dan negara. Menurut rencana, bangunan itu akan selesai pada tahun 1990.
 
Sebagian besar dari ide pembangunan museum berasal dari isteri saya, sebagai rasa syukuran kami sekeluarga kepada Yang Maha Kuasa yang telah memberkati perjuangan dan pengabdian kami.
 
Semula peletakkan batu pertama museum keluarga ini akan kami langsungkan pertengahan 1987. Tetapi karena sesuatu hal kami undurkan. Tutut, anak saya yang tertua, mengusulkan agar acara ini dilaksanakan pada peringatan ulang tahun pernikahan kami yang keempat puluh.
 
Lalu di siang harinya selamatan dilangsungkan di Sasana Adiguna, di TMII itu. Suasana waktu itu benar-benar santai.
 
Titiek Puspa hadir, diajak oleh Tutut, untuk meramaikan. Ia mengajukan pada saya sejumlah kuis keluarga yang menyebabkan tambah gembira. Pertanyaan pada saya diajukan, siapa yang membantu keluarga Soeharto pada penumpasan G-30-S/PKI. Saya ingat-ingat. Maka saya menjawabnya. Saya katakan, waktu itu saya sibuk menghadapi peristiwa pengkhianatan PKI. Ke rumah kami datang tamu perempuan yang mengaku keluarga. Isteri saya curiga. Lalu, tamu perempuan itu ditahan oleh Lettu Wahyudi. Tapi malamnya perempuan itu kabur dan meninggalkan kopornya yang ternyata berisi racun tikus. Rupanya tamu wanita yang tidak kami undang itu bermaksud meracuni kami sekeluarga. Maka, Lettu Wahyudi itulah orangnya yang saya anggap membantu kami sekeluarga pada masa penumpasan G-30-S/PKI.
 
Anak-anak dan cucu saya kumpul. Lalu kami makan bersama hadirin lainnya. Dan, acara ditutup dengan pementasan "Losmen" sandiwara yang teratur ditayangkan di layar TVRI dan disukai oleh banyak orang.
 
Suasana itu menarik saya mengenang apa yang telah terjadi dengan kami sekeluarga, dengan saya, dengan istri saya, dengan anak-anak dan cucu-cucu saya.
 
Sekarang (1989) anak-anak saya sudah pada besar, sudah dewasa. Lima dari mereka sudah berumah tangga dan kami sekarang sudah bercucu sebanyak sembilan orang. Yang sulung, Siti Hardijanti Hastuti Indra Rukmana memilih menjadi wiraswasta di samping menjadi ibu rumah tangga. Tetapi nampak sesekali ia lebih cenderung, lebih disibukkan oleh kegiatan-kegiatan sosial.
 
Yang bungsu, yang keenam, Siti Hutami Endang Adiningsih belum lama ini telah menjadi sarjana, menyelesaikan studinya di Institut Pertanian Bogor. Ia memilih menjadi ahli statistik pertanian.
 
Sigit Harjojudanto, anak saya kedua memilih menjadi pengusaha. Bambang Tri Hatmodjo, anak saya yang ketiga terjun ke dunia bisnis.
 
Siti Hediati Harijadi, keempat, selain menjadi ibu rumah tangga, anggota Persit tentunya karena suaminya anggota ABRI (istri Letjen TNI (Pur) Prabowo Subianto, tapi sudah cerai, Red), ia dibidang sosial, mengurus
Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Hutomo Mandala Putra, kelima, memilih menjadi pengusaha juga, melewati masa kesukaannya menjadi pembalap dan olah raga terbang.
 
Alhamdulillah, mereka semua menjadi manusia -begitu sebutannya di tengah-tengah kehidupan kita sekarang- sementara saya mengharuskan mereka untuk mengetahui akan kewajiban mereka sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat luas. Kami didik mereka terutama supaya ingat pada orang tua, supaya hormat dan mengerti kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat, dan selalu takwa kepada Tuhan.
 
Nampaknya mereka mengerti akan kewajiban mereka untuk menaruh hormat kepada kami sebagai orang tua. Mereka mengerti akan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat. Mengikuti petunjuk saya dan petunjuk ibu mereka, mereka giat di bidang sosial.
 
Tutut menjadi Ketua Umum Himpunan Pekerja Sosial Indonesia (HIPSI) sejak organisasi itu berdiri pada tanggal 11 Maret 1987. Maksudnya untuk meningkatkan mutu pelayanan sosial. Ia pun jadi Bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (YDGRK). Ia berkunjung ke berbagai daerah yang tertimpa bencana alam dan menyampaikan bantuan yayasan itu.
 
Siti Hediati Prabowo -begitu namanya sekarang- adik Tutut, terpilih sebagai bendahara umum HIPSI. Gantian dengan Tutut ia menyerahkan bantuan pada orang-orang yang tertimpa bencana alam di berbagai daerah.
 
Tutut juga menjadi ketua umum Yayasan Tiara Indah, membantu upaya perajin kecil, misalnya penenun dalam memasarkan produksinya. Yayasan ini telah diberi hadiah Upakarti oleh pemerintah yang diserahkan
langsung oleh presiden (Pak Harto sendiri, Red).
 
Tutut juga menjadi pimpinan PT Citra Lamtoro Gung Persada. Ia juga anggota Majelis Pemuda Indonesia. Ia memang tertarik pada pekerjaan sosial. Ia katakan, sejak lahir sampai mati kita ditolong orang lain.
Itu ajaran yang kami berikan padanya, agar tidak hidup sendirian, tetapi bermasyarakat.
 
Mereka gerakkan organisasi sosial itu, sehingga sekarang sudah ada empat ratus ribu orang anggotanya, lulusan sekolah kesejahteraan sosial atau sukarelawan yang mendapat latihan khusus di bidang kesejahteraan sosial. Tentang ini Tutut berpikir -sesuai dengan ajaran yang diberikan ibunya-pekerja sosial harus profesional jangan setengah-setengah. Anak-anak kami juga mengagumi cara kami membina dan mendidik mereka.
 
Saya tidak ingin anak-anak saya mendewakan harta dan pangkat. Yang saya harapkan, mereka meningkatkan ketaqwaan dan patuh kepada Tuhan, mengabdi kepada orang tua, negara dan bangsa.
 
Pepatah Jawa menyebutkan, mempunyai harta benda itu tandanya dapat menguasai dunia, hanya saja usahakanlah ketentraman lahir batin, yaitu lahir seimbang dengan batin.
 
Bagaimana pandangan saya mengenai seseorang yang mendapat riski cukup di tengah pembangunan kita sekarang?
 
Memang kita mempunyai hak untuk memohon pada Tuhan Yang Maha Kuasa agar mendapat riski yang cukup, berusaha dengan memperoleh pentunjuk dari Tuhan agar kita mendapat keberuntungan. Kalau keinginan kita itu sampai terwujud, jelas kita harus bersyukur. Kalau kita berhasil lagi, patut kita mensyukurinya lagi. Tapi ingat, kita tidak boleh mendewakan harta, melainkan menggunakannya untuk melaksanakan kewajiban kita, ialah berbuat baik kepada sesama manusia.
 
Kebahagiaan itu tidak terletak pada pangkat dan kedudukan, tetapi pada amal yang baik. Itulah ajaran yang saya berikan pada anak-anak saya.
 
Tutut menyatakan pada sementara media -juga anak-anak kami lainnya saya kira- bahwa ia mengagumi keharmonisan antara ayah dan ibunya.
 
Kami -istri saya dan saya- memang sama-sama setia, saling mencintai, penuh pengertian dan saling mempercayai.
 
Saya ingat-ingat apa yang telah terjadi di tengah-tengah kami selama ini. saya teringat akan pihak yang mencoba mendongkel saya. Terdengar isu yang menggugah saya untuk menjawabnya, untuk menerangkan yang sebenarnya.
 
Isu itu berkaitan dengan komisi dan tender. Katanya, istri saya selalu menerima komisi dan menentukan kemenangan suatu tender. Seolah-olah rumah di Jalan Cendana itu, tempat tinggal kami merupakan markas besar untuk menentukan kemenangan tender dan komisi.
 
Sewaktu memberikan sambutan pada HUT Kompasandha (Baret Merah) di Cijantung sekian waktu kebelakang, saya jelaskan yang sebenarnya, "Hal itu tidak sama sekali terjadi, jangankan untuk memikirkan itu,
memikirkan kegiatan sosial saja waktunya tidak mencukupi."
 
Ada lagi isu lain. Isu itu menyebutkan seolah-olah saya, presiden RI, mempunyai selir atau simpanan seorang bintang film terkenal. Isu itu rupanya sudah lama beredar dan dibangkitkan lagi menjelang pemilu 1982.
Isu itu berkembang di tengah mahasiswa dan ibu-ibu. Padahal dan jumpa pun saya tidak pernah dengannya. Isu-isu semacam itu cuma upaya buruk dari sementara pihak yang tidak suka pada saya.(*)
 

 

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Blog Archive